Residen Anestesi Undip Akui 'Dipalak' Senior Rp 20 Juta Tiap Bulan

Residen Anestesi Undip Akui 'Dipalak' Senior Rp 20 Juta Tiap Bulan

Arina Zulfa Ul Haq - detikJateng
Rabu, 18 Jun 2025 14:11 WIB
Ilustrasi Putusan Hakim
Ilustrasi sidang kasus bullying di PPDS Anestesi Undip. (Foto: detikcom/Ari Saputra)
Semarang -

Sidang pemeriksaan saksi kasus perundungan Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) Universitas Diponegoro (Undip) menghadirkan teman seangkatan dokter Aulia. Ia mengungkap soal budaya senioritas dan beban finansial para residen.

Sidang pemeriksaan saksi kasus yang menewaskan mahasiswa PPDS, dokter Aulia Risma, itu dilaksanakan di Pengadilan Negeri (PN) Semarang, Kecamatan Semarang Barat. Sidang menghadirkan mahasiswa PPDS angkatan 77, dr. Herdaru.

Herdaru mengungkap adanya pungutan bulanan hingga Rp 20 juta per orang serta kewajiban melayani berbagai kebutuhan senior. Herdaru yang menjadi peserta PPDS Anestesi Undip Juli 2022 bersama 10 rekan seangkatannya, mengaku sudah mendapat pembekalan dari pihak kampus dan rumah sakit. Namun, rutinitas mereka bukan hanya akademik.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Semester pertama siang bertugas semacam kurir antar-jemput, misal ada sarapan, itu list dari pagi, misal fotokopi itu kegiatan rutin," kata Herdaru di PN Semarang, Rabu (18/6/2025).

Ia mengatakan perintah tersebut datang dari senior langsung maupun dari angkatan atas, yakni angkatan 76.

ADVERTISEMENT

"(Perintah) Paling tinggi diberikan semester delapan. Biasanya disuruh print thesis," jelasnya.

Bahkan, ada pengarahan melalui Zoom yang dipimpin oleh senior dan juga terdakwa Zara Yupita Azra. Dalam pertemuan itu dibahas peraturan ketat, termasuk soal 'pasal anestesi', serta perlengkapan yang wajib disiapkan junior.

"Ada operan tugas, peraturan anestesi mulai dari yang sudah viral 'pasal anestesi', tata tertib, larangan residen," ungkapnya.

Wajib Bayar Kas Rp 20 Juta per Bulan

Lebih jauh, Herdaru mengungkap, setiap residen angkatan 77 diwajibkan menyetor kas Rp 20 juta per bulan. Dana itu digunakan untuk menggaji 'helper' dan 'mafia', yakni sebutan untuk pihak ketiga yang mereka rekrut untuk menyelesaikan tugas dari senior.

"Kesepakatan kami per bulan Rp 20 juta, sebulan biasanya dua-tiga kali. Setiap residen Rp 20 juta. Dengan jumlah 11 orang, berarti Rp 200 juta satu bulan," jelasnya.

"Salah satunya untuk ke mafia, misalnya menggaji helper. Helper itu ada 5 orang untuk mengerjakan tugas kasar membelikan makanan ke luar, misal beli ke warteg A, kami kan nggak bisa keluar," lanjutnya.

Ia menjelaskan para helper merupakan mahasiswa S1 yang digaji untuk mengerjakan jurnal dan PowerPoint untuk tugas dari senior. Selain bertugas membelikan makanan, helper juga mengantar senior ke rumah sakit, bahkan memastikan mobil senior siap digunakan lengkap dengan bensinnya.

Herdaru menyebut sistem ini adalah warisan dari angkatan sebelumnya. Meski cuti, pungutan kas pun tetap berjalan.

"Tetap ditarik. Kalau saya nggak bantu teman saya kasihan. Masih ditarik Rp 20 juta," jelasnya.

Dia memerinci struktur organisasi internal angkatan juga dibentuk dengan ketua, bendahara, dan seksi-seksi seperti seksi keilmuan dan seksi insul (instrumen alat medis). Semua bertujuan agar kerja-kerja informal antarangkatan bisa terorganisasi.

Herdaru juga menyampaikan almarhumah Aulia, sempat beberapa kali mengeluh soal beban tugas, dan perilaku senior.

"Jadi awal masuk sampai sempat cuti, saya rasa nggak ada perbedaan perlakuan. Tugasnya nggak jauh berbeda, masih ngasih makan, ngangkat kasur," jelasnya.

"Kemudian off lagi kedua, baru saya masuk lagi, itu sudah ada perubahan. Ada peristiwa instruksi menteri kalau nggak salah," lanjutnya.

Sebelumnya diberitakan, sidang perdana kasus PPDS Undip telah dilaksanakan Senin (26/5). Terdakwa Taufik Eko Nugroho dan Sri Maryani yang memungut BOP sebesar Rp 80 juta per mahasiswa didakwa melanggar Pasal 368 ayat (1) KUHP tentang Pemerasan dan Pasal 378 KUHP tentang penipuan.

Sementara Terdakwa Zara, yang merupakan senior sekaligus 'kambing' alias kakak pembimbing angkatan Aulia, didakwa melakukan pemaksaan dan pemerasan terhadap juniornya di PPDS Anestesi Undip. Atas perbuatannya, Zara didakwa melanggar Pasal 368 ayat (1) KUHP tentang Pemerasan dan Pasal 335 ayat (1) KUHP tentang Pemaksaan dengan Kekerasan.




(ams/ahr)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads