Alumni Ungkap 'Pasal Anestesi' PPDS Undip Harus Ada, Ini Alasannya

Alumni Ungkap 'Pasal Anestesi' PPDS Undip Harus Ada, Ini Alasannya

Tim detikJateng - detikJateng
Kamis, 14 Agu 2025 08:43 WIB
Para saksi meringankan untuk Terdakwa Taufik Eko Nugroho dan Zara Yupita Azra dalam sidang pemeriksaan saksi kasus PPDS Anestesi Undip, di PN Semarang, Rabu (13/8/2025).
Para saksi meringankan untuk Terdakwa Taufik Eko Nugroho dan Zara Yupita Azra dalam sidang pemeriksaan saksi kasus PPDS Anestesi Undip, di PN Semarang, Rabu (13/8/2025). Foto: Arina Zulfa Ul Haq/detikJateng
Solo -

Lima alumni Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) Anestesi Universitas Diponegoro (Undip) hadir jadi saksi dalam lanjutan sidang dugaan perundungan yang membuat dr Aulia Risma meninggal. Mereka mengungkap alasan adanya 'Pasal Anestesi'.

Residen Anestesi PPDS Undip angkatan tahun 2011, Jerry, menganggap keberadaan Pasal Anestesi penting. Menurutnya, aturan itu supaya junior mematuhi senior terkait pemberian resep obat dan perlakuan kepada pasien.

"(Pasal PPDS) Harus ada karena kalau tidak ada, bahaya untuk pasien," ujarnya dalam sidang di Pengadilan Negeri (PN) Semarang, Rabu (13/8/2025).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Diketahui, Jerry dan empat alumnus lainnya menjadi saksi yang meringankan Terdakwa Taufik Eko Nugroho serta Zara Yupita Azra.

ADVERTISEMENT

Sementara peserta PPDS Anestesi Undip angkatan 2004, Imam Suyudi, menyatakan 'Pasal Anestesi' sudah ada sejak dirinya masuk. Bahkan, sejak zaman seniornya juga telah diperkenalkan.

"Seingat saya, kan itu sudah 20 tahun yang lalu, (isinya) pasal satu senior selalu benar, kalau senior salah maka ingat pasal satu, pasal selanjutnya saya lupa," kata Imam saat ditanya terdakwa Taufik.

Terdakwa Taufik kemudian menanyakan apakah pasal tersebut berkaitan dengan pengelolaan pasien, Imam menjawab tidak.

Taufik bertanya lagi apakah aturan itu terkait dengan instruksi senior yang harus dipatuhi junior, karena senior yang bertanggung jawab jika junior salah, Imam membenarkannya.

"Betul yang menanggung kesalahan selalu senior, karena kita tidak tahu apa-apa," tuturnya.

Benarkan soal Iuran BOP

Imam kemudian memberi kesaksian terkait iuran Biaya Operasional Pendidikan (BOP) yang dipermasalahkan. Ia menerangkan iuran tersebut sudah ada sejak dirinya masuk.

Residen PPDS Anestesi Undip pada 2004 sampai 2007 itu berkata, sejak awal masuk dia sudah diinformasikan adanya iuran untuk keperluan ujian dan kegiatan akademik lain di luar SPP.

"Waktu itu besarnya perkiraan Rp 40-50 juta, itu terpisah, di luar SPP. Waktu wawancara disampaikan di bendahara. Tapi di pelaksanaannya kami membayar ke bendahara residen," kata Imam.

Imam mengatakan iuran itu digunakan untuk membiayai pemberangkatan simposium, ujian nasional, hingga kongres ilmiah.

Senada dengan Imam, Jerry yang merupakan alumnus tahun 2011 menjelaskan sudah mendapat informasi adanya sesi khusus keuangan yang meminta calon residen membuat pernyataan kesanggupan biaya. Uang itu dipakai untuk ujian nasional, simposium, transportasi, serta akomodasi.

"Membuat surat pernyataan dan menghitung sendiri, saat itu di angkatan kami Rp 50 juta harus disiapkan," ungkapnya.

Menurut Jerry, biaya itu ditujukan untuk persyaratan kelulusan. Jerry mengaku tidak merasa dipaksa untuk membayar biaya tersebut.

"Sebagai dokter umum yang mendaftar PPDS sudah mengetahui terlebih dahulu berapa yang harus disiapkan. Bahkan ketika saya wawancara, dihitung sekitar Rp 300-400 juta," ungkapnya.

Diketahui, kasus ini berkaitan dengan perundungan yang diduga menyebabkan kematian dokter residen Aulia Risma Lestari. Ada tiga terdakwa dalam kasus ini yakni Kaprodi PPDS Anestesi Undip dr Taufik Eko Nugroho, staf administrasi PPDS Anestesi Undip Sri Maryani, dan senior PPDS Anestesi Zara Yupita Azra.

Taufik dan Maryani didakwa melakukan memungut BOP sebesar Rp 80 juta yang ternyata ilegal. Jaksa menilai perbuatan itu melanggar Pasal 368 ayat (1) KUHP tentang Pemerasan dan Pasal 378 KUHP tentang penipuan.

Sementara terdakwa Zara, yang merupakan senior sekaligus 'kambing' alias kakak pembimbing angkatan Aulia, didakwa melakukan pemaksaan dan pemerasan terhadap juniornya di PPDS Anestesi Undip. Zara didakwa melanggar Pasal 368 ayat (1) KUHP tentang Pemerasan dan Pasal 335 ayat (1) KUHP tentang Pemaksaan dengan Kekerasan.




(apu/rih)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads