Fakta-fakta Residen Anestesi Undip Kena 'Palak' Senior Rp 20 Juta Sebulan

Round-Up

Fakta-fakta Residen Anestesi Undip Kena 'Palak' Senior Rp 20 Juta Sebulan

Tim detikJateng - detikJateng
Kamis, 19 Jun 2025 07:06 WIB
Suasana sidang pemeriksaan saksi kasus perundungan PPDS Undip, di Pengadilan Negeri (PN) Semarang, Kecamatan Semarang Barat, Rabu (4/6/2025).
Suasana sidang pemeriksaan saksi kasus perundungan PPDS Undip, di Pengadilan Negeri (PN) Semarang, Kecamatan Semarang Barat, Rabu (4/6/2025). Foto: Arina Zulfa Ul Haq/detikJateng
Solo -

Sidang kasus perundungan Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) Universitas Diponegoro (Undip) kembali memeriksa saksi-saksi. Kali ini, saksi yang dihadirkan adalah teman seangkatan mendiang dr Aulia Risma dari PPDS 77, dr Herdaru.

Dalam sidang, Herdaru mengungkapkan adanya budaya senioritas hingga beban finansial yang harus dialami para residen. Salah satunya, pungutan bulanan hingga Rp 20 juta per orang.

Selain itu, mereka juga harus melayani berbagai kebutuhan senior. Berikut fakta-faktanya seperti dirangkum detikJateng:

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

1. Jadi Kurir Saat Semester Pertama

Herdaru yang menjadi peserta PPDS Anestesi Undip sejak Juli 2022 bersama 10 dokter yang lain, termasuk dr Aulia, menuturkan sudah menerima pembekalan dari pihak kampus maupun rumah sakit. Hanya, dia bercerita saat semester pertama, mereka menjadi semacam kurir.

"Semester pertama siang bertugas semacam kurir antar-jemput, misal ada sarapan, itu list dari pagi, misal fotokopi itu kegiatan rutin," kata Herdaru di PN Semarang, Kecamatan Semarang Barat, Rabu (18/6/2025).

ADVERTISEMENT

Herdaru mengungkap perintah itu datang tidak hanya dari senior langsung. Namun juga dari angkatan PPDS Anestesi di atasnya, 76.

"(Perintah) Paling tinggi diberikan semester delapan. Biasanya disuruh print thesis," jelasnya.

Bahkan, ada pengarahan melalui Zoom yang dipimpin oleh senior dan juga terdakwa Zara Yupita Azra. Dalam pertemuan itu dibahas peraturan ketat, termasuk soal 'pasal anestesi', serta perlengkapan yang wajib disiapkan junior.

"Ada operan tugas, peraturan anestesi mulai dari yang sudah viral 'pasal anestesi', tata tertib, larangan residen," ungkapnya.

2. Singgung Adanya Iuran Kas Rp 20 Juta Per Bulan

Herdaru melanjutkan, setiap residen di Angkatan 77 diwajibkan menyetor kas Rp 20 juta per bulan. Uang tersebut dipergunakan membayar 'helper' dan 'mafia', yakni sebutan untuk pihak ketiga yang mereka rekrut untuk menyelesaikan tugas dari senior.

"Kesepakatan kami per bulan Rp 20 juta, sebulan biasanya dua-tiga kali. Setiap residen Rp 20 juta. Dengan jumlah 11 orang, berarti Rp 200 juta satu bulan," jelasnya.

"Salah satunya untuk ke mafia, misalnya menggaji helper. Helper itu ada 5 orang untuk mengerjakan tugas kasar membelikan makanan ke luar, misal beli ke warteg A, kami kan nggak bisa keluar," lanjutnya.

Herdaru menerangkan helper adalah mahasiswa S1 yang biasanya dibayar untuk mengerjakan jurnal maupun PowerPoint untuk tugas dari senior. Selain harus membelikan makanan, helper juga bertugas mengantarkan senior ke rumah sakit, bahkan memastikan mobil senior siap digunakan lengkap dengan bensinnya.

Ia menambahkan sistem tersebut merupakan warisan dari angkatan sebelumnya. Meski tengah cuti, dia juga menyerahkan iuran kas.

"Tetap ditarik. Kalau saya nggak bantu teman saya kasihan. Masih ditarik Rp 20 juta," jelasnya.

Tersangka kasus PPDS Undip, Zara Yupita Azra dan Sri Maryani di ruang tahanan wanita PN Semarang, Kecamatan Semarang Barat, Senin (26/5/2025)Tersangka kasus PPDS Undip, Zara Yupita Azra dan Sri Maryani di ruang tahanan wanita PN Semarang, Kecamatan Semarang Barat, Senin (26/5/2025) Foto: Arina Zulfa Ul Haq/detikJateng

3. Mendiang dr Aulia Sempat Keluhkan Perilaku Senior

Dia memerinci struktur organisasi internal angkatan juga dibentuk dengan ketua, bendahara, dan seksi-seksi seperti seksi keilmuan dan seksi insul (instrumen alat medis). Semua bertujuan agar kerja-kerja informal antarangkatan bisa terorganisasi.

Herdaru juga menyampaikan almarhumah Aulia, sempat beberapa kali mengeluh soal beban tugas, dan perilaku senior.

"Jadi awal masuk sampai sempat cuti, saya rasa nggak ada perbedaan perlakuan. Tugasnya nggak jauh berbeda, masih ngasih makan, ngangkat kasur," jelasnya.

"Kemudian off lagi kedua, baru saya masuk lagi, itu sudah ada perubahan. Ada peristiwa instruksi menteri kalau nggak salah," lanjutnya.

4. Dipakai Bayar Joki Jurnal hingga Sewa Lapangan Futsal Senior

Saksi lain, dr Deslia, dalam kesempatan terpisah bercerita peruntukan uang kas itu dipakai untuk berbagai kebutuhan senior. Mulai dari mencari jurnal hingga menyewa lapangan futsal.

"Satu angkatan 14 residen. Satu bulan ratusan juta. Untuk makan dari situ, kalau ada yang cari jurnal, senior membutuhkan jurnal. Karena saya tak mengurusi itu saya nggak kerjakan. Saya hanya bagian transfer untuk joki, ada 20 kali," ungkap Deslia.

Tak hanya itu, ia menyebut uang dari mahasiswa semester awal juga digunakan untuk kebutuhan senior. Mulai dari makanan, olahraga bahkan transportasi ke luar kota.

"Kalau ada acara keluar yang membiayai semester satu (walaupun yang berangkat senior)," jelasnya.

Deslia menjelaskan pada semester awal, residen diwajibkan membayar sejumlah uang, yang disebut sebagai 'kas angkatan'. Uang tersebut dipakai untuk berbagai kebutuhan non-akademik.

Jaksa Penuntut Umum (JPU), Sandhy Handika, lalu menanyakan soal rincian kegiatan non-akademik digunakan untuk futsal, kaus, dan konsumsi para senior. Deslia pun membenarkan hal itu, dan tak ada residen yang berani membantah.

"Semester satu untuk sewa lapangan dan snack," tutur Deslia menjawab pertanyaan jaksa soal siapa yang menyiapkan kebutuhan untuk futsal dan snack.

5. Ada Hukuman bagi Peserta yang Tak Melakukan

Deslia menjabarkan mereka harus menyiapkan segala yang diperintahkan senior. Saat JPU bertanya, dia mengiyakan ada hukuman bagi yang tak melakukan.

"Tidak ada (yang membantah) waktu itu. Iya (ada hukuman), hukuman tambah jaga, ikut operasi malam," sambung Deslia menjawab soal hukuman bagi junior yang membantah perintah.

Sanksi-sanksi ini, menurutnya, sudah menjadi kebiasaan turun-temurun di lingkungan residen. Dia lalu mengungkap adanya alokasi sebesar Rp 90 juta milik angkatannya yang digunakan untuk membayar ujian OSC angkatan lain.

"Rp 90 juta dari pendidikan angkatan 72 digunakan untuk pembayaran OSC angkatan 69," ujarnya.

"Saya nggak tanya, saya kira itu suatu sistem, artinya sudah bergiliran," terangnya.

Sebagai bendahara, Deslia mengaku bertugas membuat laporan jumlah saldo dan dilaporkan kepada Kaprodi Anestesiologi Taufik Eko Nugroho. Ia juga menyebut dirinya rutin menyetor uang kepada terdakwa Maryani, atas permintaan sejumlah dosen, dan pejabat pendidikan.

"(Yang memerintahkan minta duit siapa?) Itu Mbak Maryani. (Yang minta mengumpulkan siapa?) Mbak Maryani," terangnya.

"(Bentuk permintaan seperti apa?) Ada yang telepon, WhatsApp dan ketemu langsung. Cuma bilang minta uang untuk BOP. Untuk penyerahan uang, ambil cash dari bank terus diserahkan ke Mba Maryani secara tunai," lanjutnya.

Uang itu disebut berasal dari tiga sumber, yakni pembayaran ke universitas, BOP, dan kas angkatan. Saat ditanya apakah pernah mendapat tekanan atau ancaman nilai terkait pengumpulan uang, Deslia menegaskan tidak pernah mengalami hal itu.

Halaman 2 dari 2
(apu/afn)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads