Sidang pemeriksaan saksi dalam kasus perundungan Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) Universitas Universitas Diponegoro (Undip) dilaksanakan hari ini. Saksi mengungkapkan konsekuensi yang diterima junior jika tak menuruti senior berlaku bahkan setelah lulus.
Sidang pemeriksaan saksi kasus yang menewaskan mahasiswa PPDS, dokter Aulia Risma itu dilaksanakan di Pengadilan Negeri (PN) Semarang, Kecamatan Semarang Barat.
Sidang dipimpin Hakim Ketua Djohan Arifin dan menghadirkan enam saksi yaitu Nusmatun Malinah yakni ibu dokter Aulia, Nadia selaku adik dokter Aulia, Akwal dan Nur Diah selaku kerabat dokter Aulia, serta Yunan dan Pamor Nainggolan dari Kementerian Kesehatan (Kemenkes) RI.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Para saksi dimintai keterangan satu per satu. Pamor Nainggolan menjadi orang pertama yang dimintai keterangannya dalam sidang kedua itu. Ia mengungkapkan, ada perundungan di PPDS Undip dan para residen dibuat tak berkutik lantaran ada banyak konsekuensi.
"Bisa dapat last man, pulang paling akhir di stase IBS (Instalasi Bedah Sentral). (Pulangnya) Dini hari," kata Pamor di PN Semarang, Rabu (4/6/2025).
"Kemudian ada hukumannya berdiri setengah jam dan dilakukan evaluasi. Angkatan sering melakukan itu, mereka dapat saat awal-awal studi," lanjutnya.
Pamor mengaku pihaknya pernah bertanya kepada dokter residen PPDS Anestesi Undip, apakah konsekuensi tersebut yang membuat mereka menurut. Mahasiswa disebut membenarkan hal itu
Bahkan, jika tak menurut, dokter residen PPDS Anestesi Undip terancam tak mendapat ilmu dari senior mereka karena dikucilkan.
"Artinya tidak diikutkan kegiatan atau mereka lebih banyak dikucilkan, tidak diajak kegiatan dengan seniornya. (Itu hukuman berat?) Iya, karena tujuan mereka kan menimba ilmu. (Kalau dikucilkan tidak diberi pengetahuan?) Iya," jelasnya.
Konsekuensi itu pun tak hanya diterima residen selama mengikuti PPDS Anestesi Undip di RSUP Dr Kariadi. Pamor mengatakan, konsekuensi itu melekat kepada mahasiswa bahkan setelah mereka lulus.
"Yang perundungan itu, jadi ketika mereka lulus pun bisa dihambat, karena itu menyangkut Kolegium (Anestesi dan Terapi Intensif Indonesia)," tuturnya.
"Jadi ada semacam kesatuan profesi yang ada orang-orang tertentu itu di situ. Jadi mungkin bisa berkaitan jika mereka tidak menjalankan tugas dari seniornya," lanjutnya.
Selengkapnya di halaman berikutnya...
Pamor mengungkapkan, fenomena itu tak hanya terjadi di PPDS Undip. Hal itu juga terjadi di beberapa fakultas kedokteran yang ditangani Kemenkes. Pasal anestesi dan sistem kasta dimungkinkan terjadi meski menggunakan istilah lain.
"Hampir seluruh mahasiswa di seluruh prodi dan di seluruh fakultas kedokteran yang pernah kami tangani," ungkapnya.
Ia menduga, hal itu dilanggengkan akibat sudah dinilai sebagai tradisi turun temurun. Meski ada perlawanan terhadap tradisi itu, terdapat pihak lain yang merasa dirugikan jika tradisi itu dihilangkan.
"Ada resistensi, ada beberapa konsulen-konsulen, para pejabat, yang merasa tidak sesuai dengan pikiran dia. Terus ada juga orang-orang yang kalau misalnya tiba-tiba disetopkan, senior-senior lain merasa dirugikan," ungkapnya.
Pamor pun menjelaskan beberapa bentuk perundungan yang dialami dokter Aulia serta dokter residen PPDS Anestesi Undip.
"Terdapat perundungan atas nama Almarhum Aulia Risma dan adanya BOP (Biaya Operasional Pendidikan), pungutan iuran dari PPDS dari 2018-2024 dan itu saya ketahui ketika di dalam penyidikan," kata Pamor di PN Semarang, Rabu (4/6/2025).
"Pak TE banyak berinteraksi dengan Almarhum sebelum meninggal, dengan Zara memang menurut kami ada kata-kata verbal, termasu perundungan," lanjutnya.
Ia mengungkapkan, bwrdasarkan keterangan mahasiswa PPDS dalam penyelidikan, terdapat iuran BOP sebesar Rp 80 juta yang harus dikeluarkan mahasiswa. Hal itu dinilai tak memiliki dasar hukum.
"Dari kebijakan iuran BOP kami tahu, ada biaya-biaya. Saya untuk BOP ini tahu dalam proses penyidikan, setelah saya tahu, ada iuran sekitar Rp 80 juta per mahasiswa, tapi terakhir turun (nominalnya)," ungkapnya.
Ia juga mengungkap adanya bentuk perundungan lain yakni operan tugas berupa penyediaan makanan prolong untuk dokter residen dan DPJP yang masih bertugas di RSUP Dr Kariadi di atas pukul 18.00 WIB.
Tak hanya itu, terdapat sistem kasta yang diterapkan di PPDS Undip yang mengkategorikan mahasiswa mulai dari mahasiswa tingkat satu sebagai 'kuntul', kakak pembimbing, middle senior, senior, chief of chief, dewan suro, hingga DPJP. Diketahui, masing-masing kasta memiliki julukan hingga rincian tugas-tugasnya selama menjalani proses pendidikan dokter spesialis.
Sebelumnya diberitakan, sidang perdana kasus PPDS Undip telah dilaksanakan Senin (26/5/2025). Terdakwa Taufik Eko Nugroho dan Sri Maryani yang memungut BOP sebesar Rp 80 juta per mahasiswa didakwa melanggar Pasal 368 ayat (1) KUHP tentang Pemerasan dan Pasal 378 KUHP tentang penipuan.
Sementara Terdakwa Zara, yang merupakan senior sekaligus 'kambing' alias kakak pembimbing angkatan Aulia, didakwa melakukan pemaksaan dan pemerasan terhadap juniornya di PPDS Anestesi Undip. Atas perbuatannya, Zara didakwa melanggar Pasal 368 ayat (1) KUHP tentang Pemerasan dan Pasal 335 ayat (1) KUHP tentang Pemaksaan dengan Kekerasan.