Hukuman Fisik
Shandy menyebut, senioritas yang didoktrinkan Zara melalui pasal anestesi dan tata krama anestesi itu merupakan bentuk identifikasi psikologis dan ancaman terselubung kepada angkatan 77.
Kemudian, Zara dan angkatan 76 sempat melakukan evaluasi kepada angkatan 77 pada Juli 2022 lalu. Ia disebut melontarkan kata-kata kasar serta menghukum dokter Aulia dan kawan-kawan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Mengumpulkan angkatan 77 di basecamp 76 setiap mereka melakukan kesalahan di mana angkatan 77 diberikan hukuman berupa berdiri kurang lebih selama 1 jam dan difoto. Foto tersebut kemudian dilaporkan kepada grup 23 anestesi," paparnya.
"Setelah hukuman berdiri, angkatan 77 dipersilakan duduk untuk dilakukan evaluasi dari jam 02.00 WIB sampai dengan jam 03.00 WIB," lanjutnya.
Ia mengungkapkan, jika angkatan 77 terus melakukan kesalahan, mereka akan terus dihukum di waktu istirahat mereka. Zara juga disebut mengutarakan pesan teks yang intimidatif, termasuk akan mempersulit hidup Aulia.
"Terdakwa mengancam akan mempersulit hidup almarhum Aulia Risma hingga keluar dari program anestesi jika terdakwa atau seniornya sampai mendapat hukuman karena kesalahan almarhum Aulia Risma," ujarnya.
"Jika terdakwa sampai kena hukuman tambah jaga dan jaga full satu bulan, maka tidak hanya almarhum Aulia Risma yang akan diajukan ke senior untuk menerima hukuman tapi semua angkatan," imbuhnya.
Shandy menyampaikan, relasi kuasa antara senior dan junior memiliki pengaruh signifikan terhadap perjalanan akademik junior di PPDS Anestesi Undip. Doktrin dan sistem senioritas ini secara efektif berfungsi sebagai ancaman kekerasan psikologis.
"Yang membuat angkatan 77 terpaksa menyerahkan sejumlah uang untuk memenuhi kebutuhan keinginan senior," tuturnya.
Setor ke Senior Total Rp 864 Juta
Angkatan 77 tidak memiliki pilihan lain selain mematuhi perintah terdakwa Zara karena penolakan dapat berakibat pada hambatan dalam pelajaran akademik mereka. Perbuatan Zara itu dinilai bertentangan dengan etika dan kode etik profesi kedokteran.
"Akibat perbuatan terdakwa Dr. Zara Yupita, mahasiswa PPDS Anestesi Undip angkatan 77 terpaksa secara bertahap mengumpulkan dan mengeluarkan uang dengan jumlah total sebesar Rp 864 juta," ungkapnya.
Shandy mengatakan, mahasiswa angkatan 77 tidak ada yang berani menanyakan biaya untuk makan prolong, logistik, transportasi, karena pakem di lingkungan PPDS anestesi Undip Semarang membatasi cara komunikasi di antara senior-junior.
Rangkaian ancaman kekerasan dari pasal anestesi dan tata krama anestesi juga dikatakan berdampak buruk terhadap mendiang Aulia, yang kata Shandy, meregang nyawa akibat kekerasan psikis selama di PPDS Anestesi Undip.
"Dapat disimpulkan kalau faktor utama yang ditemukan pada almarhum dokter Aulia Risma adalah hilangnya rasa kepercayaan diri, frustrasi, ketakutan yang mendalam, hilangnya kemampuan untuk bertindak dan berkontrol serta penghayatan ketidakberdayaan," terangnya.
"Dampak ini menjadi masalah psikologis yang serius, mengarah pada gangguan suasana hati depresi yang berujung pada tindakan mengakhiri hidupnya sendiri," lanjutnya.
Akibat perbuatannya, Zara didakwa Pasal 368 ayat (1) KUHP tentang Pemerasan, Pasal 335 ayat (1) KUHP tentang Pemaksaan dengan Kekerasan.
Terdakwa Tak Ajukan Eksepsi
Adapun, atas dakwaan tersebut, kuasa hukum terdakwa, Kaerul Anwar menyatakan tidak akan mengajukan eksepsi atau keberatan.
"Kita ingin cepat disidangkan pokok perkaranya, yang kita uji adalah faktanya di persidangan," kata Kaerul, ditemui usai sidang.
Simak Video "Video Polisi Tetapkan Tersangka Kasus Kematian Dokter Aulia PPDS Undip"
[Gambas:Video 20detik]
(rih/ahr)