Eks Kaprodi PPDS Anestesi Undip Didakwa Pungut Rp 80 Juta ke Tiap Mahasiswa

Eks Kaprodi PPDS Anestesi Undip Didakwa Pungut Rp 80 Juta ke Tiap Mahasiswa

Arina Zulfa Ul Haq - detikJateng
Senin, 26 Mei 2025 16:41 WIB
Sidang perdana terdakwa kasus bullying PPDS Undip dengan terdakwa Taufik Eko Nugroho dan Sri Maryani di Pengadilan Negeri (PN) Semarang, Senin (26/5/2025).
Sidang perdana terdakwa kasus bullying PPDS Undip dengan terdakwa Taufik Eko Nugroho dan Sri Maryani di Pengadilan Negeri (PN) Semarang, Senin (26/5/2025). Foto: Arina Zulfa Ul Haq/detikJateng
Semarang -

Sidang perdana kasus bullying, yang menyebabkan mahasiswa Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) Anestesi Undip dr Aulia Risma meninggal, digelar di Pengadilan Negeri (PN) Semarang hari ini. Jaksa mengungkap residen atau mahasiswa PPDS 'wajib' membayar iuran Rp 80 juta.

Pantauan detikJateng, sidang dimulai sekitar pukul 13.05 WIB. Terdakwa dr Taufik Eko Nugroho dan Sri Maryani menjalani sidang terlebih dahulu di ruang sidang Prof Oemar Seno Aji.

Jaksa Penuntut Umum (JPU) Sandhy Handika membacakan dakwaan terhadap keduanya. Dalam dakwaan itu disebutkan bahwa tersangka Taufik yang merupakan eks Kaprodi PPDS Anestesi Undip sempat menyebut bahwa residen harus membayar biaya operasional pendidikan (BOP) hingga puluhan juta.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Terdakwa dr Taufik Eko Nugroho secara konsisten menyatakan bahwa setiap residen atau mahasiswa PPDS semester 2 ke atas wajib membayar iuran biaya operasional pendidikan (BOP) sampai dengan sebesar kurang lebih Rp 80 juta per orang," kata Sandhy di PN Semarang, Senin (26/5/2025).

Sandhy mengatakan, uang tersebut diklaim untuk memenuhi keperluan ujian CBT, OSS, proposal tesis, konferensi nasional, CPD, jurnal reading, dan publikasi ilmiah serta kegiatan lainnya yang berujung dengan persiapan akademik.

ADVERTISEMENT

"Mahasiswa PPDS lintas angkatan sejak tahun 2018-2023 sebenarnya merasa keberatan, tertekan dan khawatir atas iuran yang diwajibkan oleh terdakwa dr Taufik Eko Nugroho itu," ujarnya.

"Namun, mereka tidak berdaya karena terdakwa dr Taufik Eko Nugroho dalam kedudukannya sebagai KPS (Kepala Program Studi) menciptakan persepsi bahwa kepesertaan dalam ujian dan kelancaran proses pendidikan sangat ditentukan oleh ketaatan membayar iuran BOP," sambungnya.

Dalam dakwaan itu, Taufik disebut juga menekankan soal iuran BOP dalam pertemuan dengan para bendahara angkatan. Disebutkan bahwa perbuatan Taufik dipahami sebagai ancaman nyata terhadap keberlanjutan pendidikan para mahasiswa PPDS. Untuk melancarkan penerimaan uang iuran itu, Taufik disebut memanfaatkan kasta di tengah lingkungan PPDS anestesi.

Dijelaskan dalam dakwaan itu bahwa sistem kasta secara formal membagi residen atau mahasiswa PPDS ke dalam tujuh tingkatan hirarki. Mulai dari mahasiswa tingkat satu, kakak pembimbing (kambing) atau mahasiswa tingkat dua, middle senior yakni mahasiswa tingkat tiga-empat, senior atau mahasiswa tingkat lima, shift of shift atau mahasiswa tingkat 6-7, dewan suro atau mahasiswa tingkat 8 atau akhir, hingga dokter penanggung jawab pelayanan (DPJP).

"Sistem tingkatan atau kasta antartingkatan ini diberlakukan secara turun-temurun dan dikuatkan melalui doktrin internal yang dikenal sebagai pasal anestesi," kata Sandhy.

Sandhy mengatakan, pasal anestesi yang dijalankan residen baru itu secara eksplisit menempatkan mahasiswa baru dalam posisi tunduk tanpa pilihan terhadap senior, termasuk dalam hal keuangan.

Disebutkan bahwa isi pasal anestesi tersebut yakni 'senior selalu benar, bila senior salah kembali ke pasal 1', hanya ada 'ya' dan 'siap', yang enak hanya untuk senior, bila junior dikasih enak tanpa tanya 'kenapa' mencerminkan kondisi bahwa junior seharusnya tidak mendapatkan kemudahan, jangan pernah mengeluh karena semua pernah mengalami.

"Junior tidak dibolehkan mengeluh karena pelakuan yang diterimanya. Jika masih mengeluh, siapa suruh masuk anastesi? Jika Junior terus mengeluh, mereka seolah-olah disalahkan atas tindakan mereka," ujar Sandhy.

Tak hanya itu, ada pula tata krama anastesi yang harus ditaati mahasiswa. Mulai dari izin bila bicara dengan senior, semester nol hanya bisa bicara dengan semester satu, dilarang bicara dengan semester di atasnya, harus senior yang bertanya langsung, haram hukumnya semester nol bicara dengan semester dua tingkat ke atas.

"Doktrin ini disampaikan pada masa orientasi awal oleh senior termasuk melalui pertemuan virtual Zoom dan diperkuat dalam interaksi harian di ruang operasi maupun lingkungan pendidikan," jelasnya.

Selengkapnya di halaman selanjutnya.

Sandhy melanjutkan, hal itu dinilai tidak manusiawi karena menumbuhkan atmosfer relasi kuasa absolut yang membuat junior terpaksa, takut, cemas, hingga stress. Namun, Taufik selaku Kepala Program Studi (KPS) tak pernah membongkar sistem itu dan justru menyetujuinya.

"Secara tidak langsung membiarkan dan memanfaatkan sistem kekuasaan ini menjadi sistem dengan pemaksaan dalam pelaksanaan pungutan residen yang dipimpinnya," terangnya.

Sandhy menambahkan, terdapat ancaman kekerasan nonfisik dan psikologis bagi para residen mahasiswa PPDS.

"Karena setiap bentuk pembangkangan dan ketidakpatuhan dapat berdampak pada evaluasi akademik dan pengucilan dari kegiatan pembelajaran," lanjutnya.

Sementara dalam pengumpulan dana BOP residen, Taufik diduga menunjuk bendahara utama residen untuk mengkoordinir pengumpulan dana dari para mahasiswa melalui bendahara angkatan. Taufik kemudian memerintahkan Maryani untuk menarik uang BOP.

"Bendahara angkatan meminta uang BOP dari mahasiswa PPDS. Setelah uang BOP terkumpul, bendahara angkatan dapat menyerahkan uang BOP secara tunai kepada terdakwa Sri Maryani secara langsung atau melalui bendahara utama residen," ungkapnya.

Dana yang terkumpul itu tidak disimpan dalam rekening fakultas atau universitas, melainkan dalam rekening pribadi Sri Maryani.

"Terdakwa Sri Maryani menerima dana dari berbagai bendahara angkatan dan bendahara utama secara tunai dengan jumlah total mencapai Rp 2,49 miliar," tuturnya.

Dana itu berasal dari para residen lintas angkatan sejak tahun 2018-2023. Kemudian, saat uang di rekening Maryani telah menipis, Maryani akan melapor kepada Taufik yang kemudian memerintahkan mengumpulkan dana tambahan.

Uang itu pun lantas digunakan Taufik dan Maryani untuk berbagai keperluan yang hanya menguntungkan beberapa pihak dan seharusnya tidak menjadi tanggungan residen atau mahasiswa PPDS.

"(Untuk) Uang saku undangan pelatihan soal kompre, penginapan, pelatihan soal kompre, uang saku pembimbing dan moderator, uang lembur sekretariat, pembelian buku neuroanestesi PPDS, uang saku penilai tesis, uang saku pembimbing tesis, konsumsi pembacaan, konsumsi rapat, uang saku pembimbing tiga, uang saku penilai, konsumsi rapat," kata Sandhy.

Taufik dan Maryani pun disebut secara aktif menerima sejumlah uang secara langsung dari dana tersebut.

"Total dana BOP yang telah diterima oleh terdakwa dr Taufik yang selama jabatan sebagai KPS mencapai setidak-tidaknya Rp 177 juta," jelasnya.

"Terdakwa Sri Maryani mendapatkan keuntungan berapa honor sebesar Rp 400 ribu per bulan dari sumber keuangan BOP residen dengan total sebesar Rp 24 juta," imbuh dia.

Usai adanya isu internal mengenai pengelolaan dana BOP mencuat pada 4 Agustus 2023, Taufik memerintahkan Maryani untuk menghentikan pengelolaan dana BOP dan menyerahkan seluruh sisa uang yang masih dikuasainya kepada bendahara utama residen.

Sandhy menjelaskan, tak ada dasar hukum yang sah selama pengumpulan dan pemanfaatan dana BOP tersebut. Biaya resmi PPDS anestesi dan terapi intensif unimed telah ditetapkan dalam keputusan Rektor Unimed Nomor 483/UN7.TP/HK/2022, sehingga tindakan keduanya disebut merupakan pungutan liar (pungli).

"Tindakan terdakwa Taufik bersama-sama dengan terdakwa Sri Maryani merupakan bentuk pungutan liar atau ilegal karena pungutan di luar biaya sumbangan pengembangan pendidikan atau SPP hanya dikenal dalam bentuk sumbangan pengembangan institusi atau SPI dan tidak pernah dalam bentuk BOP sebagaimana dilakukan oleh terdakwa Taufik dan terdakwa Sri Maryani," paparnya.

"Perbuatan para terdakwa adalah tidak pidana sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam pasal 368 ayat 2 KUHP juncto pasal 64 ayat 1 KUHP," tuturnya.

Menanggapi dakwaan yang dibacakan jaksa penuntut umum, uasa hukum kedua tersangka, Kaerul Anwar, menyatakan tidak melanjutkan eksepsi.

"Dalam hal ini kami memutuskan tidak melanjutkan eksepsi," kata Kaerul Anwar dalam persidangan.



Hide Ads