Menengok Putaran Miring Gerabah Klaten yang Jadi Warisan Budaya Tak Benda

Menengok Putaran Miring Gerabah Klaten yang Jadi Warisan Budaya Tak Benda

Arina Zulfa Ul Haq - detikJateng
Senin, 20 Mei 2024 17:23 WIB
Putaran Miring Gerabah
Foto: Arina Zulfa Ul Haq/detikJateng
Klaten -

Desa Melikan, Kecamatan Wedi, Kabupaten Klaten terkenal dengan potensi kerajinan gerabahnya yang membawa berkah bagi masyarakat setempat. Ternyata, pembuatan gerabah di sana pun terbilang unik karena menggunakan teknik putaran miring.

Jika berjalan menyusuri Desa Melikan, akan terlihat banyak rumah industri gerabah yang menjamur di sepanjang Jalan Sunan Pandanaran. Berbagai jenis gerabah akan dengan mudah ditemukan di toko-toko milik warga setempat.

Kepala Desa Melikan, Sukanta mengatakan, ada kurang lebih 225 perajin gerabah di Desa Melikan. Selama ratusan tahun, mereka senantiasa melestarikan tradisi pembuatan gerabah menggunakan teknik putaran miring.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Bahkan, putaran miring kini sudah ditetapkan menjadi warisan budaya tak benda (WBTB) nasional oleh Kementerian Pendidikan Kebudayaan Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek) sejak tahun 2022 lalu.

"Waktu itu setiap daerah diminta mengajukan keunggulan atau potensi yang langka atau di daerah lain belum ada, terutama di Indonesia. Karena putaran miring diyakini memang di tempat lain kalau ada pun sedikit, kita ajukan ke status WBTB," kata Sukanta kepada detikJateng, Minggu (19/5/2024).

ADVERTISEMENT

Sukanta mengatakan putaran miring ini tak banyak ditemui di daerah-daerah lain, sehingga akhirnya bisa menyandang status WBTB dari Kemendikbudristek. Putaran miring di Desa Melikan, diketahui sudah diwariskan dari nenek moyang sekitar 300 tahun yang lalu.

Hingga kini, masyarakat setempat masih menggunakan teknik putaran miring untuk membuat berbagai jenis gerabah. Ada lebih dari 10 jenis gerabah yang bisa dibuat menggunakan teknik putaran miring yang terbilang unik.

"Kalau tidak salah tahun '90-an itu ada perajin yang diajak ke Jepang oleh profesor Chitaru Kawasaki untuk demo putaran miring di Jepang," jelasnya.

detikJateng pun sempat menemui salah satu perajin gerabah yang sudah menggunakan putaran miring selama ratusan tahun, Siswanti (51). Ia mengaku sudah mempelajari teknik putaran miring sejak duduk di kelas 5 SD.

Hal itu dapat dibuktikan dengan kelihaian tangan Siswanti yang membuat poci sembari mengayunkan kakinya untuk menggerakkan putaran miring. Siswanti yang awalnya hanya bisa membuat celengan itu kini sudah bisa membuat segala jenis gerabah untuk kemudian dijual hingga berbagai daerah.

Saat detikJateng berkunjung ke rumah produksi miliknya yang terletak di Sayangan, Dusun I, Desa Melikan, tepat di belakang Balai Desa Melikan itu, tampak puluhan gerabah terpajang di rak-rak lemari. Foto-foto yang terpajang di dinding menjadi bukti, rumah produksinya itu telah dikunjungi berbagai tokoh publik, artis, hingga wisatawan luar negeri.

Sembari membuat poci Siswanti menjelaskan, putaran miring ini dulunya dibuat untuk memudahkan pekerjaan para perajin perempuan. Sebab, teknik putaran miring ini membuat perempuan bisa tetap membuat gerabah meski menggunakan rok.

"Filosofinya dulu itu kan perempuan pakai kebaya, kalau pakai putaran tegak susah karena kakinya harus mengangkang. Kemudian dibuat putaran miring, jadi perempuan nggak perlu membuka kakinya," terang Siswanti.

Siswanti menjelaskan, putaran miring sendiri lebih sering digunakan untuk membuat gerabah dengan ukuran kecil. Sementara untuk membuat gerabah berukuran besar seperti gentong, perajin biasa menggunakan teknik putaran tegak.

Selain bisa memudahkan para perajin perempuan, putaran miring ini, menjadi bentuk emansipasi perempuan. Sebab, dengan turut diberdayakan, perempuan bisa memiliki peran untuk meningkatkan perekonomian keluarga.

"Perajin gerabah di Desa Melikan ini hampir 80 persen perempuan, ibu-ibu semuanya, dan bapak-bapak itu juga mendukung biasanya untuk finishing," jelas Siswanti.

Hal itu pun tampak dengan kehadiran suami Siswanti, Rumanto (54) yang saat itu tengah membentuk gerabah yang sudah agak kering. Siswanti mengatakan, adanya putaran miring ini telah berhasil memberdayakan para perempuan yang sebelumnya tak bekerja.

Lebih lanjut, Siswanti mengungkapkan, kerajinan gerabah di Desa Melikan diperkirakan sudah ada sejak Sunan Pandanaran mulai menyebarkan agama Islam di wilayah setempat pada abad ke-15. Keyakinan itu didasarkan oleh keberadaan Gentong Sinogo berukiran naga yang terletak di gapura Makam Sunan Pandanaran.

Kini, kerajinan gerabah Desa Melikan yang terus dilestarikan itu pun telah digadang-gadang sebagai potensi desa yang berhasil meningkatkan perekonomian warga serta memperkenalkan Desa Melikan kepada khalayak luas.

Ia berharap, kerajinan gerabah Desa Melikan ini nantinya bisa terus dipromosikan dan mendapat perhatian dari pemkab serta masyarakat Klaten. Dengan begitu, berbagai inovasi pun bisa muncul dan membuat kerajinan gerabah semakin diminati masyarakat luas.

(anl/ega)


Hide Ads