Tak jauh dari Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat atau Keraton Solo, terdapat salah satu bangunan bersejarah bernama Ndalem Sasana Mulya. Bangunan bersejarah yang awalnya diperuntukkan bagi putra Raja Solo ini kini tampak mengenaskan dengan ditutupi pita pembatas.
Pantauan detikJateng di Sasana Mulya yang terletak di Baluwarti, Pasar Kliwon itu, tampak bangunan diberi pita pembatas. Pita itu dililitkan di antara tiang-tiang bangunan berbentuk joglo tersebut.
Puluhan bambu tampak dipasang untuk menyangga susunan balok blandar atau tumpang sari yang rapuh dan rawan roboh.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kerabat Keraton Solo, Gusti Kanjeng Ratu (GKR) Wandansari Koes Moertiyah atau yang sering disapa Gusti Moeng mengatakan kondisi Sasana Mulya sudah sangat memprihatinkan. Sehingga, dipasang pita pembatas sebagai peringatan agar tak ada lagi warga setempat yang berkegiatan di dalamnya.
"Bangunan itu sudah sangat mengkhawatirkan. Sementara kan di situ banyak magersari, kadang-kadang anak-anak itu pada di situ, dan untuk arisan juga. Terus untuk latihan nari anak-anak di kampung itu," kata Gusti Moeng saat dihubungi detikJateng, Minggu (31/12/2023).
"Jadi karena kemarin hujan, yang awal itu blandarnya di sisi utara itu lepas, tapi masih nggandhul (menggantung) 2," sambungnya.
Gusti Moeng mengungkapkan, keadaan Sasana Mulya sudah memprihatinkan sejak hujan pertama tahun ini. Hujan disertai angin membuat penyangga-penyangga di pendapa roboh.
"Memang sudah berapa tahun yang lalu itu kan tumpang sarinya itu juga sudah lepas-lepas gitu, rontok, gapuk (rapuh). Khususnya yang di pendapa. Kalau ndalem sama pringgitan, yang parah itu talangnya," terangnya.
Kondisi Sasana Mulya yang sudah lama memang perlu dibenahi itu pun membuat Gusti Moeng melapor ke Wali Kota Solo Gibran Rakabuming Raka. Saat itu, ia meminta agar Sasana Mulya dan bangunan Keraton yang sudah rusak lainnya untuk segera dibenahi.
"Sebetulnya waktu kami bertemu dengan Wali Kota, Mas Gibran, yang saya usulkan secara lisan itu Sasana Mulya. Terus panggung Sangga Buwana, pendapa Siti Hinggil yang tempatnya Nyai Setomi," ungkapnya.
"Sama kanan kiri Sasana Mulya itu kan ada kereta yang sudah nggak ada atapnya semua, ambrol semua, jadi itu tinggal tembok dan pintu. Itu bahaya sekali juga sebetulnya, tapi nggak tahu kok yang didahulukan penataan Alun-alun yang sebetulnya tidak ada urgensinya," sambung Gusti Moeng.
Melihat keadaan Sasana Mulya yang semakin memburuk dari waktu ke waktu, membuatnya menutup bangunan Sasana Mulya. Selain itu, telah dipasang bambu-bambu sebagai penyangga tumpang sari agar tidak ambruk, apalagi sampai memakan korban.
"Jadi sudah kita tutup, tidak boleh untuk kegiatan ya. Kami sendiri ini yang copot-copot dari tumpang sarinya itu kita sangga dengan bambu-bambu. Baru kita mau menurunkan gentengnya," jelas Gusti Moeng.
Rumah Era Pakubuwana IV
Gusti Moeng mengatakan, Sasana Mulya terakhir kali dibenahi pada tahun 2015. Sasana Mulya sendiri merupakan bangunan bersejarah yang sudah didirikan sejak era Pakubuwana IV. Namun, tercatat bahwa Sasana Mulya baru ditinggali oleh Pangeran Adipati Hangabehi, putra Sinuhun Kanjeng Sunan Pakubuwana IV dan selir Mas Ayu Ratnasari.
"Sasana Mulya itu kan bangunan zaman Pakubuwono IV, tapi catatan yang ada di Keraton itu kami dapatkan, mulai yang tinggal di situ itu Pakubuwana ke-8, waktu masih Hangabehi, yang akhirnya jadi Pakubuwono ke-11, jadi kakek saya. Terus sekarang sisi timur itu kan dipakai Hangabehi calon Pakubuwono ke-14," terangnya.
Lebih lanjut, ia menjelaskan bahwa dalam sejarahnya, Sasana Mulya sempat digunakan untuk Akademi Seni Karawitan Indonesia (ASKI) dan Proyek Pengembangan Kesenian Jawa Tengah (PKJT).
"Jadi untuk pembelajaran, dan dipakainya juga di Siti Hinggil itu untuk kelasnya, teorinya. Terus untuk tarinya, karawitannya, pedalangannya, itu di Sasana Mulya semua," terangnya.
![]() |
Taman Budaya Jawa Tengah (TBJT) yang kini berada di Jalan Ir Sutami, Kecamatan Jebres, Solo pun dulunya berada di Sasana Mulya dan disebut Taman Budaya Solo.
"Waktu ASKI pindah ke Kentingan, di situ dipakai Taman Budaya. Tahun 84 atau 85, lama kok, kemudian pindah ke Kentingan," tuturnya.
Usai TBJT yang rutin digunakan sebagai tempat pagelaran seni tradisional itu pindah lokasi ke Jebres, Sasana Mulya digunakan untuk kegiatan Keraton Solo dan warga Baluwarti.
"Jadi di situ untuk Keraton setelah Pakubuwana ke-XII itu untuk kalau ada kerabat kita yang terutama anak Sinuhun, istri Sinuhun, itu kalau meninggal disemayamkannya di Sasana Mulya," ungkapnya.
"Terus untuk manten (menikah) juga. Seperti saya juga temunya di situ. Biasanya temu sekalian resepsi gitu ada di situ. Jadi untuk gedung pertemuannya Keraton kalau punya kerja (hajat) sama kesripahan (musibah)," imbuhnya.
Karena kondisi Sasana Mulya yang kini sudah memprihatinkan, kegiatan-kegiatan pun tak bisa lagi digelar di Sasana Mulya. Seperti untuk latihan sejumlah sanggar tari hingga untuk Tempat Pemungutan Suara (TPS) warga Baluwarti.
Sangat disayangkan, bangunan bersejarah yang menjadi tempat berkegiatan para kerabat Keraton Solo dan warga Baluwarti itu kini harus ditutup dan tampak memprihatinkan. Gusti Moeng pun berharap Sasana Mulya bisa lebih mendapat perhatian dari Pemerintah Kota Solo dan bisa segera direnovasi.
Bangunan Bagi Putra Raja
Dikutip dari situs resmi Pemkot Solo, fungsi Ndalem Sasono Mulya diperuntukkan bagi para putra Raja. Bangunan ini didirikan pada masa pemerintahan PB IV.
Bangunan Sasono Mulya memiliki kelengkapan bagian-bagian bangunan Jawa, terdiri dari 4 (empat) unsur yang biasa terdapat pada rumah tradisional Jawa, yaitu pendopo, pringgitan, ndalem dan gandhok.
Bangunan pendopo berupa joglo dengan 36 saka. Adapun pringgitan bercirikan atap limasan dengan 8 saka. Tiang/saka pada bangunan ini memiliki penampilan khas karena dibuat dengan cara bukan diketam melainkan dipethel atau ditatal/dikampak.
(aku/apu)