Slamet Riyadi merupakan pahlawan nasional yang lahir dan besar di Kota Solo. Di usianya yang masih muda, ia berkontribusi besar dalam melawan penjajah demi memperjuangkan kemerdekaan Indonesia.
Melalui perjuangannya tersebut, Slamet Riyadi dipilih sebagai salah satu ikon Kota Solo. Namanya kini dijadikan sebagai nama jalan utama, rumah sakit, hingga universitas.
Alasan Slamet Riyadi Menjadi Ikon Kota Solo
Penggunaan nama Slamet Riyadi untuk beberapa tempat di Solo tentunya menimbulkan pertanyaan bagi beberapa orang. Mengingat banyaknya pahlawan nasional yang berasal dari Solo selain Slamet Riyadi, tapi kenapa yang terkenal hanya Slamet Riyadi?
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dikutip dari buku Dari Jokowi Hingga Pandemi (2021), Slamet Riyadi sebagai Komandan Batalion XIV di bawah Divisi IV Panembahan Senopati, yang membawahi wilayah Solo dan sekitarnya, tentu banyak tempat yang menorehkan namanya selama berlangsungnya perang kemerdekaan (1947-1949). Namanya melekat sebagai pimpinan Serangan Umum Surakarta, 7-10 Agustus 1949.
Untuk mengenang perjuangan Slamet Riyadi, pada 12 November 2007 diresmikanlah Patung Slamet Riyadi oleh Jenderal Djoko Santoso, saat itu Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD). Selain itu, Slamet Riyadi juga diabadikan menjadi nama rumah sakit, yakni Rumah Sakit Tentara (RST) Slamet Riyadi di Jalan Slamet Riyadi.
Dilansir dari laman resmi Pemkot Solo, surakarta.go.id juga menyebutkan alasan dibangunnya beberapa tempat menggunakan nama Slamet Riyadi. Untuk mengenang sosok perjuangan dan keberanian dari Slamet Riyadi, maka dibangunlah beberapa landmark di Kota Solo. Salah satunya, yaitu dibangun sebuah monumen bernama Monumen Slamet Riyadi yang berlokasi di Kota Solo.
Mengingat besarnya dedikasi yang ia berikan kepada bangsa Indonesia, sudah sepatutnya masyarakat Indonesia mengenang namanya. Berikut ini adalah gambaran singkat perjalanan heroik Slamet Riyadi, seorang tokoh yang berjuang dengan gigih hingga namanya diabadikan di beberapa tempat.
Nama Kecil Slamet Riyadi
Slamet Riyadi lahir di Kota Solo pada tanggal 26 Juli 1927 dari pasangan Idris Prawiropralebdo dan Soekati. Ayahnya merupakan seorang perwira anggota legiun Kasunanan Surakarta. Sedangkan ibunya adalah seorang penjual buah.
Dikutip dari buku Ignatius Slamet Riyadi: Dari Mengusir nyamuk Kempeitai Sampai Menumpas RMS karya Julius Pour, Slamet Riyadi dulunya bernama Soekamto. Namun, nama Soekamto membuatnya sering terkena berbagai macam penyakit sehingga tubuhnya menjadi kurus kering dan fisiknya lemah.
Kondisi tersebut menyebabkan keprihatinan kedua orang tuanya hingga akhirnya mengikuti tradisi masyarakat Jawa. Ayah dan ibunya sepakat untuk 'menjual' atau memberikan Soekamto kepada pamannya yang bernama Warnenhardjo. Setelah itu, pamannya menyelenggarakan acara slametan yang dihadiri semua pinisepuh dan para tetangga.
Kemudian nama Soekamto pun diubah menjadi Slamet. Beberapa tahun kemudian, ketika Slamet sudah mulai beranjak remaja, Idris Prawiropralebdo menebus kembali anaknya dari keluarga Warnenhardjo. Slamet Riyadi tumbuh besar dan menimba ilmu di sekolah milik Belanda bernama Hollandsch-Inlandsche School (HIS) pada tahun 1940, setelah itu ia melanjutkan pendidikannya ke MULO Afd B. Setelah Jepang menduduki Indonesia, beliau melanjutkan pendidikannya di Pendidikan Sekolah Pelayaran Tinggi (SPT), di mana beliau berhasil mendapatkan predikat sebagai lulusan terbaik dan melanjutkan untuk bekerja sebagai navigator kapal kayu yang berlayar antar pulau di Nusantara.
![]() |
Benci Penjajah dari Kecil
Sejak kecil sosok Slamet dikenal sebagai anak yang tidak menyukai sifat penjajah. Bahkan, ketika duduk di bangku SD, ia sering bertengkar dengan teman Belandanya.
Cucu dari kakak Slamet Riyadi, Gunawan Wibisono mengatakan Slamet Riyadi sangat dekat dengan ibunya.
"Pak Slamet itu dekat sekali dengan ibunya, sebelum berangkat ke Ambon ia mengunjungi makam ibunya, bahkan dia tidur di samping makam ibunya," ujar Gunawan, saat ditemui tim detikJateng di rumah Slamet Riyadi, Rabu (6/12/2023).
Tak hanya keluarga, beberapa sahabatnya pun juga menceritakan mengenai sosok Slamet Riyadi. Lantas bagaimana sosok Slamet Riyadi di mata para sahabat?
Melansir dari buku Slamet Riyadi Jejak Langkah Hingga Internalisasi Nilai-nilai Perjuangannya (2023), Slamet Riyadi dikenal sebagai sosok yang berani, tegas, cermat, disiplin, jujur, dan mementingkan kepentingan luas. Dalam buku tersebut pun beberapa sahabat mengungkapkan sosok Slamet Riyadi yang mereka kenal.
Presiden Indonesia era Orde Baru, Soeharto, pernah berkata bahwa "Slamet Riyadi kuwi kendel tenan. Ora duwe wedi. Nek perang senengane neng ngarep (Slamet Riyadi itu sangat pemberani, tidak punya takut. Kalau perang sukanya di depan)."
Menurut anak buahnya, Slamet Riyadi juga memiliki karakter hebat yang begitu pemberani "Wani adep adepan karo Londo. Bengok bengok dhewe neng dalan gedhenggoleki Londo. (Berani berhadapan dengan Belanda. Teriak-teriak sendiri di jalan mencari Belanda)."
Perjuangan Slamet Riyadi
Perjuangan Slamet Riyadi sangatlah besar, upayanya dalam kemerdekaan sangat berjasa bagi Bangsa Indonesia. Mengutip dari buku "Kepemimpinan Militer (2022)", inilah kisah perjuangan Slamet Riyadi memerangi kemerdekaan.
Lawan Jepang dan Belanda
Ketika Kota Solo diduduki pasukan Jepang pada 5 Maret 1942, Slamet Riyadi terus mencari cara untuk memberikan kontribusinya demi Tanah Air tercinta. Ketika Jepang terus terdesak dalam peperangan melawan pasukan Sekutu, ia mengobarkan pemberontakannya melawan pasukan pendudukan Jepang. Kemudian, Slamet
Riyadi berhasil melarikan sebuah kapal kayu milik pasukan Jepang.
Setelah itu, Slamet Riyadi kembali ke Solo dan menghimpun para pemuda yang telah tergabung PETA (Pembela Tanah Air), Heiho (Pembantu Prajurit Jepang), dan Kaigun (Angkatan Laut Kekaisaran Jepang) untuk membantu perjuangan rakyat Solo melawan pasukan Belanda yang berupaya kembali menjajah Indonesia.
Dalam perjuangannya, Slamet Riyadi langsung terlibat dalam berbagai aksi peperangan melawan Belanda termasuk saat Agresi Militer Belanda I dan Agresi Militer Belanda II. Slamet Riyadi memimpin pasukan di beberapa daerah di Jawa Tengah, termasuk di Ambarawa dan Semarang.
Pertempuran 4 Hari di Solo
Slamet Riyadi menjadi tokoh utama pada peristiwa serangan umum di Solo pada tanggal 7-10 Agustus 1949. Serangan tersebut berlangsung selama empat hari empat malam. Saat serangan yang dipimpin Slamet Riyadi terjadi, pasukan Belanda benar-benar terdesak dan akhirnya mereka pun mengalami kekalahan. Pertempuran dengan Belanda pada serangan tersebut kemudian ditutup dengan proses serah terima Kota Solo yang dimediasi oleh pihak United Nations Commision for Indonesia (UNCI).
Operasi Penumpasan Pemberontakan RMS di Ambon
Perjuangan Slamet Riyadi tidak berhenti begitu saja setelah merdeka. Pada tanggal 10 Juli 1950, beliau kembali ditugaskan untuk berangkat ke Ambon untuk menumpas pemberontakan Republik Maluku Selatan (RMS). Namun, pada pukul 21.45 tanggal 4 November 1950, beliau gugur karena terkena tembakan pada bagian perut saat hendak turun dari panser untuk memberikan aba-aba kepada anak buahnya.
Pada saat itulah Slamet Riyadi wafat. Beliau dimakamkan di Tulehu, Maluku Tengah. Pihak keluarganya juga telah mengambil sebagian tanah makam Slamet Riyadi untuk dikebumikan di Taman Makam Pahlawan Kusuma Bakti sehingga makam Slamet Riyadi yang ada di Solo hanya berisi gumpalan tanah tanpa ada jasadnya. Meskipun demikian, pihak keluarga, militer maupun masyarakat masih kerap berziarah di replika makam tersebut.
Nama Slamet Riyadi Abadi di Kota Solo
Terdapat beberapa tempat di Solo yang menggunakan nama Slamet Riyadi sebagai bentuk penghargaan atas jasanya dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Melalui nama-nama yang diabadikan ini, Kota Solo mengajak kita untuk merenung dan mengambil inspirasi dari perjuangan seorang pahlawan.
Berikut berbagai macam tempat dan instansi yang menggunakan nama Slamet Riyadi di Kota Solo:
Jalan Slamet Riyadi
Jalan Slamet Riyadi bukan hanya suatu nama jalan, tetapi merupakan sebuah arteri vital di Kota Solo. Jalan sepanjang 1,5 km yang telah dibangun sejak era Belanda ini merupakan pusat segala aktivitas warga Kota Solo sehari-hari.
Penamaan ini adalah wujud penghargaan dan kesetiaan terhadap jasa-jasa Slamet Riyadi. Jalan ini menjadi saksi bisu bagi perjalanan kota ini, mengingatkan setiap orang akan keberanian dan semangat perjuangan seorang pahlawan khususnya Slamet Riyadi.
Meski begitu, pegiat sejarah Mohammad Apriyanto menjelaskan bahwa secara historis, Jalan Slamet Riyadi dulunya bernama Wilhelmina Straat. Kemudian pada awal abad ke-20 berubah nama menjadi Poerwosarie Weg.
"Jalan Slamet Riyadi sendiri itu secara historis dulu namanya Wilhelmina Straat ini sangat apa ya, Belanda banget gitu lah kalau orang Jawa bilang londo banget. Tapi kemudian, di awal abad 20 itu berubah namanya menjadi Poerwosari Weg ya dan itu tidak sampai ke Gladak ya, dulu hanya sampai ke area Keprabon aja karena di area Keprabon sampai ke Gladak yang sekarang ada patungnya itu dulu namanya Loji Wurung Weg," jelas Apri saat ditemui tim detikJateng, Senin (11/12).
Sementara itu, Kanjeng Nuky sebagai pemerhati sejarah juga menyebut bahwa Jalan Slamet Riyadi itu pada awalnya merupakan jalan baru dari jalan yang pernah ada, terutama di Surakarta. Dijelaskan, jalan utama dulu berada di Jalan Laweyan atau Jalan Rajiman.
"Jalan Slamet Riyadi itu pada awalnya dulu merupakan jalan baru ya dari jalan yang pernah ada, terutama di Surakarta. Jalan utama dulu berada di Jalan Laweyan atau sekarang yang kita sebut dengan Jalan Rajiman," ujar Kanjeng Nuky saat ditemui tim detikJateng, Jumat (8/12/2023).
Di sebelah utara dari Jalan Laweyan atau Jalan Rajiman dulunya terdapat sebuah sungai yang kemudian ditutup menjadi jalan untuk kepentingan transportasi dari pemerintah Hindia Belanda. Jalan tersebut dibuat sekitar tahun 1890-an dan diberi nama pada awalnya sesuai dengan ratu dari Belanda yaitu Wilhelmina, sehingga bernama Wilhelmina Straat.
Kemudian nama jalan tersebut diganti menjadi Poerwosari Weg. Pasca kemerdekaan Indonesia, jalan itu diganti kembali menjadi jalan Slamet Riyadi. Kini, banyak kegiatan dan event diadakan di sini.
Rumah Sakit Slamet Riyadi
![]() |
Rumah Sakit Slamet Riyadi merupakan rumah sakit milik TNI AD yang terletak di Jalan Slamet Riyadi No. 321, Laweyan, Solo. RS Slamet Riyadi berdiri pada tahun 1950 dan sudah mengalami perubahan nama beberapa kali namun tetap mempertahankan nama Slamet Riyadi sejak awal berdiri hingga sekarang.
Kepala Tata Usaha Urusan Dalam RS Slamet Riyadi, Nanang Abriyanto mengatakan pada tahun 1950 namanya adalah DKT RI 15 yang merupakan kepanjangan dari Djawatan Kesehatan Tentara. Pada tahun 1960 diubah namanya menjadi Kesehatan Resimen Infanteri atau Kes Men If. Kemudian pada tahun 1961 dengan dibentuknya Korem (Komando Resor Militer) sehingga namanya dilebur menjadi Rumkit dan hingga kini telah berkembang menjadi rumah sakit rujukan terbesar di Solo Raya.
"Berdiri pada tahun 1950 ya, sesuai dengan organisasi di TNI AD dulu namanya RS DKT, DKT itu singkatan dari Djawatan Kesehatan Tentara, sampai sekarang namanya nggak diganti. Djawatan Kesehatan Tentara atau resimen 15 teritorial DKT ya. Pada tahun 1960, diubah namanya jadi Kesehatan Resimen Infanteri atau Kes Men If, tahun 1961 dengan dibentuknya Korem sehingga namanya dilebur menjadi Rumkit," kata Nanang saat ditemui tim detikJateng, Jumat (8/12/2023).
RS Slamet Riyadi bukan hanya sebuah lembaga medis, tetapi juga tanda penghargaan terhadap pemimpin perjuangan. Dibangun untuk melayani masyarakat, rumah sakit ini menegaskan bahwa kesejahteraan rakyat adalah tujuan yang senantiasa dipegang teguh, seiring dengan semangat Slamet Riyadi.
Universitas Slamet Riyadi
Universitas Slamet Riyadi terletak di Jalan Sumpah Pemuda No. 18, Kelurahan Kadipiro, Banjarsari, Solo. Berdirinya Universitas Slamet Riyadi mengacu pada tanggal pendirian Yayasan Perguruan Tinggi (YPT) Slamet Riyadi yang didirikan berdasarkan Akta Notaris tanggal 21 Juni 1980. Namun, secara de facto, Universitas Slamet Riyadi sudah ada sejak tahun 1977 yaitu saat Universitas Slamet Riyadi di bawah naungan Yayasan Pendidikan Surakarta Hadiningrat (YPSH) yang didirikan pada tanggal 18 Februari 1977.
Sejak awal berdirinya, kampus swasta tersebut sudah memakai nama Slamet Riyadi dan nama kecil Slamet Riyadi pun digunakan untuk nama UKM (Unit Kegiatan Mahasiswa) Teater, yaitu Teater Soekamto.
Rektor Universitas Slamet Riyadi, Sutoyo mengatakan bahwa dalam rangka penguatan pengetahuan mahasiswa tentang Slamet Riyadi, mulai tahun 2023 diadakan mata kuliah ke Slamet Riyadi-an.
"Bahkan, kami menguatkan sekarang ini ada mata kuliah yang harus ditempuh mahasiswa 1 SKS namanya mata kuliah nilai nilai Slamet Riyadi. Mata kuliah ke Slamet Riyadi-an itu satu SKS diberikan, mulai tahun ini juga tahun ajaran atau tahun akademik 2023/2024," ujar Sutoyo saat ditemui tim detikJateng, Sabtu (9/12).
Dinamakan Universitas Slamet Riyadi sebagai bentuk kontribusi dan penghargaan atas perjuangan sang pahlawan. Hingga kini, Universitas Slamet Riyadi tetap konsisten melestarikan nilai-nilai perjuangan Slamet Riyadi. Dengan pemberian nama Slamet Riyadi, universitas tersebut menjadi simbol perpanjangan semangat pahlawan nasional dalam dunia akademis. Mahasiswa-mahasiswa yang menuntut ilmu di kampus ini diharapkan mewarisi nilai-nilai perjuangan dan kepemimpinan Slamet Riyadi.
Monumen Patung Slamet Riyadi
Monumen Patung Slamet Riyadi ini didirikan di Taman Gladak Solo, tepat di ujung Jalan Slamet Riyadi dan diresmikan pada 12 November 2007. Pembangunan monumen patung Slamet Riyadi tersebut awalnya dicetuskan oleh KSAD Joko Santoso yang selanjutnya pembuatan itu diserahkan kepada seniman otodidak dari Bali, I Nyoman Nuarta.
Dikutip dari website resmi Pemkot Surakarta, untuk mengenang sosok perjuangan dan keberanian dari Slamet Riyadi, maka dibangunlah beberapa landmark di Kota Solo. Salah satunya yaitu dibangun sebuah monumen bernama Monumen Slamet Riyadi.
Tak hanya sebagai objek estetika, tetapi patung ini menyampaikan pesan tentang keberanian dan semangat perjuangan, mengingatkan kita akan nilai-nilai luhur yang diwarisi dari masa lalu.
Menurut pegiat sejarah, Muhammad Apriyanto monumen Slamet Riyadi tersebut secara historis dibangun untuk menghilangkan nilai-nilai Belanda. Sebab, dahulu nama jalan di area Keprabon sampai Gladak bernama Loji Wurung Weg.
Saking eksisnya patung ini, bahkan orang luar Solo pasti menjadikannya sebagai patokan. Banyak yang mengatakan, "Kamu enggak akan nyasar kalau sudah sampai Patung Slamet Riyadi."
Kondisi Rumah Slamet Riyadi Kini dan Rencana Revitalisasi
![]() |
Diketahui, rumah Slamet Riyadi hingga kini masih ditempati, tepatnya di Jl. Tejonoto, Danukusuman, Kec. Serengan, Kota Surakarta. Meski tergolong sangat sederhana, rumah ini memiliki makna mendalam sebagai bagian dari warisan bersejarah yang membutuhkan perhatian dan pemeliharaan.
Rumah Slamet Riyadi, yang telah berdiri sejak tahun 1848 itu memiliki arsitektur jenis limasan dengan dominan warna hijau. Meski umurnya sudah cukup tua, kondisi fisik rumah ini masih dapat dilihat, mencerminkan gaya arsitektur tradisional Jawa yang klasik.
Rumah dengan bangunan tua tersebut saat ini ditinggali oleh Gunawan Wibisono, seorang cucu dari kakak Slamet Riyadi. Meski rumah ini masih dalam keadaan layak huni, beberapa aspek memerlukan perhatian khusus untuk mempertahankan warisan bersejarah ini.
Rencananya, rumah Slamet Riyadi akan direvitalisasi sebagai cagar budaya. Akan tetapi, hingga saat ini masih belum ada tindak lanjut dari pihak terkait. Pihak keluarga mengaku belum mendapat kunjungan dari pemerintah mengenai hal tersebut.
Artikel ini ditulis oleh Marcella Rika Natasya, Nila Handayani, Praditia Salim, dan Sabrina Ariani peserta Program Magang Bersertifikat Kampus Merdeka di detikcom.