Kesenian kentrung sudah tak banyak dimainkan, jumlah pemainnya kini bisa dihitung jari. Di Blora, salah satu pemain kentrung yang masih bertahan adalah Yanuri Sutrisno (61) yang beralamat di Desa Sendanggayam, RT 05 RW 01, Kecamatan Banjarejo, Kabupaten Blora.
Keseharian Yanuri adalah petani selagi tidak ada tanggapan (pesanan) bermain kentrung. Pria kelahiran 1963 ini belajar kesenian kentrung dengan ayahnya, Sutrisno. Sementara ayahnya berguru kentrung dengan Mbah Sumo Godong ketika menempuh pendidikan agama (mondok) di Kalituri, Kabupaten Demak.
"Bapak mondok di Kalituri Demak. Belajar kentrung. Gurunya namanya Mbah Sumo Godong. Kalau saya gurunya ya bapak saya sendiri," ungkap Yanuri kepada detikJateng, Jumat (29/12/2023).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Yanuri mengatakan, kentrung adalah sebuah kesenian tutur yang dilantunkan dengan iringan alat musik rebana atau terbang. Kentrung dimainkan oleh 1 orang.
"Pandikane bapak kentrung saking Keraton Negoro Ngarab (Kata bapak kentrung dari Kerajaan Negara Arab)," jelas Yanuri.
Kentrung sebagai bagian dari kesenian tradisional dan sebagai sarana untuk berdakwah. Menurutnya, kentrung memiliki banyak makna filosofi yang terkandung di dalamnya.
Melalui sarana pertunjukan yang menghibur, seni kentrung bercerita tentang kisah nabi, sahabat dan para wali juga berisi tentang nasihat-nasihat yang dilantunkan dengan bahasa sederhana.
Lebih lanjut, Yanuri menjelaskan jumlah rebana yang dimainkan juga telah mengalami perubahan. Semula kentrung dimainkan dengan 5 rebana, kini menjadi 3 rebana.
"Bapak tahun 1958 ngentrung terbangnya (rebananya) 5. Filosofinya, hari 7 pasaran 5, jari 5, budo budi 20 dibagi 4 jadi 5. Semua 5 itu juga menunjukkan salat 5 waktu dan dasar Pancasila," jelasnya.
"Bapak tidak bisa meninggalkan dasar 5 perkara dan tidak bisa menghilangkan kewajiban 5 perkara. Meskipun terbang kelihatannya 3, keempat itu manusianya dan kelima itu suaranya," lanjutnya.
Seiring berjalannya waktu, kemudian kentrung yang semula 5 rebana menjadi 3 rebana. 2 rebana sisanya di tinggal di rumah.
"Dulu kalau ngentrung membawa 5 terbangan, namun setelah tahu jagat alam (tanda alam) membawa 3 terbangan, yang 2 ditinggal di rumah. Jagat alam patokannya 3 yaitu lintang (bintang), jagat dan srengenge (matahari). Jagat manusia ada mata, pusar dan kaki. Tangan juga ada 3 bagian," tutur Yanuri.
Perjalanan Yanuri berlatih kentrung dengan ayahnya, awalnya dia hanya ikut ayahnya ketika manggung. Hanya memperhatikan dari bawah panggung. Tak jarang dia juga diajari bagaimana teknik menabuh kentrung dan menyanyikan lirik Kidung Jawa.
"Saya latihan pas bapak main saya ikut. Ikut bapak di tahun 1978. Tapi cuma cari makan saja. Banyak yang nyindir, bapaknya bengak-bengok (teriak-teriak) di atas panggung kok saya hanya enak-enakan makan. Saya terus latihan, diajari kalau menabuh ketukan 6 dan 8 itu jatuhnya di 'deng'," paparnya.
Sutrisno, ayah Yainuri meninggal di tahun 2003. Yainuri yang akrab disapa Mbah Kentrung ini, saat itu masih belajar. Semasa hidup bapaknya, dia sudah disuruh bapaknya untuk tampil. Namun dia tidak berkenan karena rasa sungkan.
"3 hari setelah bapak meninggal saya dapat tanggapan di Desa Mojowetan, Banjarejo acara pupak puser (syukuran tali pusar bayi lepas). Saat itu saya masih belajar, tangan saya belum terampil," ucapnya.
Dia mengaku demam panggung. Dia teringat petuah bapaknya jika manggung akan ditemani. Dia kemudian melangitkan doa untuk ayahnya. Perform perdananya berhasil ia lalui.
"Tangan saya mati tidak bisa gerak. Saya teringat wasiat bapak, katanya kalau saya manggung ditungguin. Akhirnya saya bacakan Al-Fatihah untuk ruh bapak. Ndelalah bisa nabuh. Kalau nabuh inget bapak kadang saya nangis," kata Yanuri.
Yainuri mulai dikenal di masyarakat dan sering mendapatkan job kentrung. Namun kini eksistensi kesenian kentrung hampir punah lantaran minimnya peminat.
Durasi manggung juga berkurang. Awalnya manggung mulai jam 20.30 WIB dan rampung jam 03.00 WIB dini hari. Sekarang jam 23.00 WIB sudah selesai.
"Dulu kalau manggung sampai subuh, mas. Tapi sekarang mengikuti perkembangan zaman. Selawatan selesai jam 11 malam, saya ya ngikut, kalau sudah jam 11 malam ya selesai. Sekarang dipersingkat tidak seperti dulu," jelasnya.
Mbah Kentrung dalam memainkan musik rebana yang berbahan kayu serta kulit sapi atau kambing ini berisi tentang nasehat kehidupan. Metode yang digunakan di antaranya adalah wangsalan atau teka-teki yang mengandung pesan tersirat, kemudian parikan atau pantun Jawa. Terdapat juga cerita kisah para nabi, sufi dan wali.
"Biasanya lakon langit Kanjeng Nabi Ibrahim, lahire Muso, jejerno Negoro Mesir, jejerno negoro Kan'an dan jejerno Negoro Arab Mekah. Kalau model Jawa misalnya jejerno tanah Tuban," terangnya.
Dia membawakan cerita itu berdasarkan buku catatan yang diperoleh dari bapaknya. Yanuri yang pernah bekerja bangunan ini juga saat manggung membawakan syair-syair dan pujian-pujian.
"Saya kalau manggung ngentrung itu duduk bersila. Dalam membawakan syair juga diisi dengan candaan agar audience tidak mudah bosan," terangnya.
Dia mengaku kesulitan mencari penerus. Beberapa kali melatih orang namun sering gagal. Dia berharap kesenian kentrung tidak lekang dimakan zaman, meski dia sudah tiada.
"Saya pernah mengajar anak SMP sekitar 6 bulan, tapi hanya bisa sebentar. Kalau saya mati ya tidak ada penerusnya. Tapi saya yakin, insyaallah kentrung tidak akan punah. Saya berharap kentrung tetap harus berjalan," pungkasnya.
(aku/aku)