Sekaten merupakan kegiatan tahunan sebagai peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW yang hingga kini masih dilestarikan oleh dua keraton di Jawa, yakni Keraton Surakarta dan Keraton Jogja. Upacara ini diselenggarakan setiap satu tahun sekali, yaitu setiap tanggal 5 sampai 12 Rabi'ul Awal (atau dalam kalender Jawa disebut bulan Mulud).
Bagi masyarakat Jawa, tradisi sekaten merupakan bentuk kegembiraan dan rasa syukur. Dalam acara sekaten biasanya digelar perayaan pasar malam selama sebulan penuh.
Tradisi ini sangat menarik karena mengandung banyak elemen kultural, seperti benda-benda pusaka, budaya, kepercayaan dan kesenian. Pada mulanya, sekaten bertujuan sebagai sarana penyebaran ajaran agama Islam.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Meskipun kedua kota tersebut melakukan tradisi yang sama, namun terdapat perbedaan yang menjadi ciri khas dari kedua keraton tersebut. Berikut penjelasan mengenai sekaten dan perbedaan prosesi perayaan di Keraton Solo dan Jogja.
Asal-usul Sekaten
Upacara sekaten adalah upacara tradisional yang diselenggarakan untuk memperingati kelahiran Nabi Muhammad SAW. Mengutip dari buku berjudul 'Asesmen Kognitif Pembelajaran IPA dengan Pendekatan STEM Berbasis Kearifan Lokal' oleh Ahmad Annadzawil, nama sekaten sendiri berasal dari kata sekati, yang diambil dari nama perangkat gamelan pusaka keraton yang dibunyikan dalam rangkaian upacara peringatan Maulid Nabi Muhammad. Sekati berasal dari kata suka dan ati yang berarti senang hati. Sekati juga dapat diartikan sebagai kata sesek dan ati yang berarti sesak hati.
Lalu, nama sekaten mengalami perluasan makna menjadi Sahutain (menghentikan atau menghindari perkara dua, yaitu sifat lacur dan menyeleweng), Sakhatain (menghilangkan perkara dua, yaitu watak hewan dan sifat setan), Sakhotain (menanamkan dua perkara, yaitu selalu memelihara budi suci atau budi luhur yang selalu mendambakan diri pada Tuhan), Sekati (setimbang, orang hidup harus bisa menimbang atau menilai hal- hal yang baik dan buruk), Sekat (batas, orang hidup harus membatasi diri untuk berlaku jahat).
Pada mulanya, sekaten merupakan upacara tradisional yang diadakan oleh raja-raja Jawa sejak zaman Majapahit. Upacara ini bertujuan untuk merayakan dan menjaga keselamatan kerajaan. Namun, seiring berjalannya waktu, tradisi sekaten digunakan sebagai alat untuk menyebarkan agama Islam, terutama di wilayah Jawa Tengah. Penyebaran agama Islam di Jawa Tengah ini dilakukan melalui seni musik gamelan.
Gamelan dipilih sebagai medium untuk menyebarkan agama Islam karena pada masa itu, masyarakat Jawa sangat menyukai seni musik gamelan. Maka, dalam peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW pada acara sekaten, rebana tidak lagi digunakan sebagai alat musik pengiring, tetapi digantikan oleh gamelan untuk melantunkan shalawat.
Perayaan Sekaten di Solo dan Jogja
Di Solo, biasanya sekaten disertai dengan pasar malam yang berlangsung selama satu bulan penuh. Awal pagelaran sekaten ditandai dengan pengiringan gamelan menuju masjid yang sudah dihiasi janur kuning. Acara ini berlangsung dari tanggal 5 hingga 12 Rabiul Awal, dengan gamelan yang terus dimainkan. Selanjutnya, ada tumplak wajik dan grebeg maulud yang menjadi bagian dari acara ini.
Tumplak Wajik dilaksanakan selama dua hari sebelum grebeg maulud. Ritual tumplak wajik dimulai dengan memukul kentongan sebagai bagian dari upacara untuk menandai dimulainya pembuatan gunungan. Dalam tumplak wajik, beberapa lagu seperti Lompong Keli, Owal Awil, Tudhung Setan, dan lainnya dimainkan.
Acara tersebut dilanjutkan dengan grebeg maulud yang merupakan puncak dari sekaten. Acara ini ditandai dengan gunungan yang berisi beras ketan, buah-buahan, makanan, sayuran, gunungan tersebut sebagai simbol doa dan selamatan untuk kesejahteraan kerajaan, setelah acara doa, gunungan akan dibagikan ke masyarakat.
Sama halnya dengan Solo, acara sekaten di Jogja juga disertai dengan pembukaan pasar malam yang berlangsung selama satu bulan penuh, acara sekaten di Jogja di mulai dengan mengeluarkan gamelan kyai sekati oleh para abdi dalem Keraton Ngayogyakarta. Gamelan tersebut terdiri gamelan kyai Guntur madu dan kyai Nogowilogo, keduanya akan diletakkan di Bangsal Ponconiti, Keben, dan akan dimainkan setelah Isya.
Pada tanggal 11 maulud atau malam grebeg, masyarakat akan berkumpul di Alun-alun Utara, ketika malam grebeg, Sri Sultan bersama rombongannya akan berjalan dari pintu Gerbang Srimanganti menuju pintu Gerbang Masjid Besar, setelahnya akan dilaksanakan upacara udik-udik yakni menebarkan koin logam, beras dan bunga.
Setelah upacara udik-udik selesai, akan dilanjutkan pembacaan riwayat hidup Nabi Muhammad SAW, dan acara akan ditutup dengan prosesi kundur gongso yaitu mengembalikan gamelan Kyai Sekati ke keraton.
Perbedaan Sekaten Solo dan Jogja
Walaupun jika dilihat sekilas antara keduanya memiliki prosesi yang sama, ternyata terdapat perbedaan antara acara sekaten di Solo dan Jogja.
Perbedaan tersebut terletak pada acara sekaten Solo tidak ada budaya pembacaan riwayat Nabi Muhammad SAW serta udik-udik (penebaran koin logam, beras dan bunga), serta acara sekaten di Solo juga tidak terdapat prosesi kundur gongso yakni prosesi mengembalikan gamelan kyai sekati ke keraton.
Sebaliknya, salah satu adat sekaten Solo yang tidak terdapat pada sekaten Jogja ialah penggunaan janur kuning sebagai hiasan bangsal masjid, yang nantinya janur tersebut akan diperebutkan warga sebagai tanda keberkahan.
Pada acara sekaten Jogja gamelan akan mulai dimainkan setelah sholat isya, sedangkan di Solo gamelan akan mulai dimainkan setelah acara miyos gangsa.
Perbedaan juga terlihat dalam grebeg mulud di mana pada acara sekaten Jogja tinggi gunungan yang dibuat adalah 6 buah, yakni 2 gunungan jaler (laki-laki), 1 gunungan wadon (wanita), 1 gunungan dharat, 1 gunungan gepak, dan 1 gunungan pawuhan. Sedangkan di Solo, gunungan dibuat hanya ada dua, yaitu gunungan jaler dan estri.
Nah, itulah penjelasan perbedaan perayaan sekaten di Jogja dan di Solo. Semoga bermanfaat, Lur!
Artikel ini ditulis oleh Marcella Rika Nathasya Peserta program magang bersertifikat kampus merdeka di detikcom.
(ams/dil)