Mengenal Dugderan: Tradisi Menyambut Bulan Ramadhan Masyarakat Semarang

Mengenal Dugderan: Tradisi Menyambut Bulan Ramadhan Masyarakat Semarang

Agustin Tri Wardani - detikJateng
Selasa, 21 Mar 2023 11:24 WIB
Karnaval Dugderan jelang Ramadan di Kota Semarang, Senin (20/3/2023).
Mengenal Dugderan: Tradisi Menyambut Bulan Ramadhan Masyarakat Semarang. Karnaval Dugderan jelang Ramadan di Kota Semarang, Senin (20/3/2023). Foto: Angling Adhitya Purbaya/detikJateng
Solo -

Dalam hitungan hari umat muslim akan segera menyambut bulan Ramadhan 1444 H. Bulan Ramadhan merupakan bulan paling ditunggu-tunggu bagi umat muslim, karena bulan ini penuh dengan keberkahan karena umat muslim akan melaksanakan ibadah puasa selama satu bulan penuh.

Untuk menyambut datangnya bulan Ramadhan, umat muslim melakukan berbagai acara tradisi turun temurun yang setiap daerahnya mempunyai ciri khas masing-masing. Salah satu yang menjadi perhatian kali ini adalah tradisi Dugderan yang merupakan tradisi menyambut bulan Ramadhan dari daerah Semarang.

Hari ini, Selasa, (21/3/2023) masyarakat Semarang menyelenggarakan tradisi Dugderan. Kirab Dugderan ini dimulai pada pukul 13.00 WIB di halaman Balai Kota Semarang. Kirab Dugderan tahun ini akan menjadi ikonik karena dipimpin langsung oleh Wali Kota Semarang perempuan pertama, yaitu Hevearita Gunaryanti Rahayu.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Untuk mengetahui informasi lebih detail mengenai Tradisi Dugderan, berikut ini penjelasannya.

Sejarah Dugderan

Dikutip dari buku Pasti Bisa Pendidikan Agama Islam dan Budi Pekerti tahun 2017 karya Tim Duta Madani, Tradisi Dugderan merupakan tradisi masyarakat Semarang sejak tahun 1881 dalam rangka menyambut bulan suci Ramadhan yang tentunya hanya dilakukan selama setahun sekali.

ADVERTISEMENT

Asal mulanya, Adipati Hanemenggolo memerintahkan rakyatnya untuk berkumpul di alun-alun. Lalu, beliau memerintahkan supaya beduk ditabuh dan meriam dibunyikan sebagai tanda datangnya bulan suci Ramadhan.

Bunyi suara bedug dan meriam menghasilkan bunyi "dug" dan "der". Oleh karena itu, muncul istilah dugderan. Selain itu, acara juga dimeriahkan dengan pawai karnaval dengan mengiring warak ngendog, sebuah boneka rekaan yang mirip dengan hewan, sebagai simbol hawa nafsu yang harus dikalahkan dengan berpuasa.

Makna Dugderan

Dikutip dari jurnal Seni Pertunjukan Arak-arakan dalam Upacara Tradisional Dugderan di Kota Semarang yang disusun oleh Agus Cahyono dari Universitas Negeri Semarang, Tradisi Dugderan yang ada di Semarang memiliki makna simbolik yang berarti tradisi Dugderan ini mempunyai makna sebagai upaya dakwah bagi pemuka agama Islam, edukatif bagi orang tua, rekreatif bagi anak, dan promosi wisata bagi kepentingan birokrat dan masyarakat.

Hal itu, dapat dilihat dari serangkaian acara Dugderan yang diikuti oleh seluruh masyarakat Semarang dari berbagai kalangan dan etnis yang sama-sama memiliki antusias untuk merayakan datangnya bulan Ramadhan. Mereka berkumpul menjadi satu tanpa melihat perbedaan diantara mereka, dan menjalin silaturahmi, Keunikan tradisi yang dibentuk sesuai kebudayaan warga asli Semarang dan menampilkan warak ngendog pun menarik wisatawan-wisatawan untuk turut menyaksikan acara Dugderan ini.

Perayaan Dugderan

Perayaan Dugderan di Semarang tahun ini akan dilaksanakan pada tanggal 21 Maret 2023 pada pukul 13.00 WIB. Masyarakat Semarang sangat berantusias dalam mengikuti serangkaian acara yang akan dimulai dengan prosesi dan pertunjukan di halaman Balai Kota Semarang.

Perayaan penyambutan bulan Ramadhan 1444 H di Semarang ini akan menjadi ikonik karena dipimpin oleh Wali Kota Semarang perempuan pertama, yaitu Hevearita Gunaryanti Rahayu. Tahun ini wali kota akan memerankan Kanjeng Mas Ayu Tumenggung Purbodiningrat, dan mengawali pawai prosesi Dugderan dari halaman Balai Kota Semarang ke Alun-alun Masjid Agung Semarang.

Ikon Warak Ngendog

Dikutip dari skripsi Makna Warak Ngendog Bagi Masyarakat Kota Semarang yang disusun oleh Ayulia Nur dari Universitas Diponegoro, Ikon warak ngendog adalah salah satu unsur utama dari tradisi Dugderan yang merupakan warisan sejarah dan budaya masyarakat Semarang yang diarak bersama warga Semarang sepanjang jalur karnaval.

Masyarakat Semarang meyakini jika warak ngendog merupakan media pengantar pesan tentang Aqidah, akhlak, dan syariah. "Telur" dari warak ngendog diibaratkan sebagai pahala orang yang puasa dan menjauhkan diri dari perbuatan yang buruk.

Kini warak ngendog bukan hanya menjadi ikon arak-arakan di tradisi dugderan saja, namun juga merepresentasikan kerukunan masyarakat Semarang di tengah pluralisme dan multikulturalisme yang bertolak belakang dengan masyarakat, yang menjadi bukti bahwa Semarang adalah kota yang multietnis dan menjunjung tinggi toleransi.

Warak ngendog bukan berupa simbol, melainkan hanya sebuah ikon karena bentuknya yang semakin beragam. Masyarakat Semarang memahami bentuk Warak Ngendog secara sederhana seperti kepalanya naga, leher dan badan unta, serta kaki kambing.

Nah itu dia Lur, informasi mengenai perayaan tradisi Dugderan di Semarang dalam menyambut bulan suci Ramadhan 1444 H.

Artikel ini ditulis oleh Agustin Tri Wardani peserta Program Magang Bersertifikat Kampus Merdeka di detikcom.




(sip/sip)


Hide Ads