Masyarakat Jawa yang terkenal kaya budaya memiliki banyak tradisi untuk menyambut datangnya bulan puasa alias Ramadhan. Apa saja? Berikut ini pembahasan ringkas sejumlah tradisi khas Jawa untuk menyongsong Ramadhan.
Dikutip dari buku Makna Filosofi Tradisi Wiwitan oleh Villa Tamara, tradisi berasal dari bahasa Latin 'traditio' yang artinya kebiasaan. Soerjono Soekanto, seorang tokoh sosiologi Indonesia mendefinisikan tradisi sebagai kegiatan oleh sekelompok orang secara terus-menerus.
Lebih lanjut, sejarah Jawa yang begitu berwarna dengan hadirnya berbagai macam agama punya kontribusi penting dalam membentuk tradisi-tradisi. Terutama setelah datangnya Islam, terjadi peleburan budaya sehingga menghasilkan tradisi baru, misalnya untuk menyambut bulan puasa Ramadhan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Penasaran dengan tradisi menyambut bulan puasa masyarakat Jawa? Di bawah ini detikJogja sudah siapkan uraiannya untuk menambah wawasan detikers. Simak paparannya sampai tuntas, ya, Dab!
Tradisi Masyarakat Jawa Menyambut Ramadhan
1. Padusan
Tradisi pertama, yang bagi masyarakat Jogja mungkin tak asing lagi, adalah padusan. Dikutip dari situs resmi Museum Sonobudoyo, padusan berasal dari kata 'adus' dalam bahasa Jawa yang berarti mandi.
Kebiasaan masyarakat Jogja dan Jawa Tengah ini berakar dari tradisi kuno di Kerajaan Majapahit. Kala itu, para ksatria, brahmana, hingga empu rutin melakukan ritual penyucian diri. Nah, ketika Islam datang, terjadilah akulturasi sehingga padusan muncul.
Pada hakikatnya, padusan adalah sarana untuk introspeksi diri atas kesalahan pada masa lalu. Di samping itu, padusan bertujuan untuk membersihkan diri agar siap memasuki Ramadhan yang terkenal sebagai bulan suci.
2. Nyadran
Dirujuk dari laman resmi Direktorat Jenderal Kekayaan Negara (DJKN) Kementerian Keuangan, nyadran adalah tradisi masyarakat Jawa menyongsong Ramadhan, terkhusus di wilayah Jawa Tengah, DIY, dan Jawa Timur.
Istilah nyadran berasal dari bahasa Sansekerta 'sraddha' yang bermakna keyakinan. Tradisi ini adalah suatu bentuk kepercayaan masyarakat terhadap nenek moyang atau animisme. Ketika Islam datang, nyadran dimanfaatkan Wali Songo untuk menyebarkan ajaran.
Biasanya, nyadran digelar satu bulan sebelum Ramadhan, yakni pada bulan Syaban atau Ruwah. Menariknya, nyadran bisa jadi berbeda-beda antar daerah tergantung kearifan lokalnya. Namun, secara umum, rangkaian tradisi satu ini meliputi ziarah kubur, membersihkan lingkungan, kenduri, dan padusan.
3. Gebyuran Bustaman
Tradisi selanjutnya sebelum gebyuran bustaman yang rutin dilakukan warga Kampung Bustaman, Purwodinatan, Kota Semarang. Menurut informasi dari situs Dinas Kebudayaan & Pariwisata Kota Semarang, tradisi ini sudah ada sejak tahun 1742 silam.
Dipelopori oleh Kyai Bustam, gebyuran bustaman sempat mati, tetapi kemudian dihidupkan kembali pada 2012 lalu. Pelaksanaan tradisi ini dimulai dengan mencoret-coret wajah dengan berbagai warna. Noda warna di wajah adalah perlambang dosa.
Selanjutnya, masyarakat akan saling melempar air dalam bungkus plastik untuk membersihkan atau mengguyur habis coretan-coretan di wajah. Hilangnya coretan di wajah adalah simbol pembersihan diri.
4. Dugderan
Berdasar penjelasan dari buku Islam Abangan & Kehidupannya tulisan Rizem Aizid, dugderan adalah tradisi khas Jawa Tengah untuk menyambut Ramadhan. Asal muasal nama tradisi ini bersumber dari suara bedug saat dipukul (dug) dan suara meriam (der).
Dalam sejarah, dugderan mulai muncul di tengah masyarakat pada 1881 di Semarang. Tradisi ini dilakukan dengan cara membunyikan bedug dan menembakkan meriam sebagai pertanda tibanya Ramadhan. Adapun waktu pelaksanaannya adalah seminggu sebelum Ramadhan.
Seiring berkembangnya zaman, dugderan mendapat tambahan sejumlah kegiatan lain. Sebut saja arak-arakan atau karnaval dan pentas tari japin. Kadang kala, tembakan meriam juga diganti dengan petasan atau bledur.
5. Hajad Dalem Kuthomoro
Dari wilayah Jogja, ada tradisi menyambut Ramadhan dari Keraton Jogja yang digelar setiap pertengahan bulan Ruwah (Syaban). Tradisi tersebut bernama Kuthomoro dan bertujuan untuk mengirim doa kepada para leluhur Keraton Jogja.
Dilansir situs resmi Pemerintah Kabupaten Bantul, mula-mula, sultan akan mengirim ubarampe sejumlah 400 buah ke Kawedanan Pengulon di Masjid Gedhe. Lalu, para abdi dalem Kawedanan Pengulon akan mengantarkan ubarampe yang terdiri dari barang-barang berbau harum ini ke Makam Kotagede.
Di samping Makam Kotagede, sejumlah makam Kagungan Dalem lainnya juga mendapat kiriman dari keraton via pos. Total, terdapat 58 makam Kagungan Dalem yang mendapat kiriman di wilayah Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Di Makam Imogiri, tepat tanggal 15 Ruwah, digelar doa bersama dan tahlil. Seringnya, seluruh abdi dalem yang merawat kompleks makam raja-raja Jogja di wilayah lain turut mengikuti acara doa di Bangsal Sri Manganti. Setelah selesai, ubarampe diantarkan ke masing-masing penjaga makam untuk kemudian melakukan doa tahlil di lokasi masing-masing.
6. Megengan
Megengan adalah tradisi unik jelang Ramadhan yang dilakukan di Jawa Timur maupun Jawa Tengah. Kata 'megengan' berasal dari bahasa Jawa yang artinya menahan. Artinya, tradisi ini adalah perlambang menahan hawa nafsu selama Ramadhan.
Diringkas dari situs resmi Desa Dero, Megengan biasanya dilakukan pada hari terakhir Syaban. Dalam prosesnya, masyarakat akan membawa makanan ke masjid, musala, langgar, atau rumah warga. Makanan kemudian dikumpulkan terlebih dahulu.
Acara dimulai dengan pembacaan doa dan tahlil setelah sholat isya. Lalu, diteruskan dengan pembagian makanan untuk seluruh hadirin. Tradisi ini adalah pengingat bagi masyarakat bahwasanya Ramadhan sudah tiba dan umat Islam akan berpuasa.
7. Munggahan
Tradisi ketujuh masyarakat Jawa untuk menyambut Ramadhan adalah munggahan. Dilihat dari Jurnal Urwatul Wutsqo bertajuk 'Budaya Unik Munggahan Menjelang Bulan Ramadhan di Kabupaten Subang Jawa Barat: Studi Antropologi Al-Qur'an' oleh Alam Tarlam dkk, munggahan adalah wujud rasa syukur sekaligus persiapan memasuki bulan suci Ramadhan.
Munggahan sebagai sebuah tradisi memiliki banyak nilai positif. Sebut saja kebersamaan dan gotong royong. Mirip dengan Nyadran, beberapa ritual prosesi munggahan meliputi ziarah kubur, mandi keramas, dan makan bersama.
Nah, itulah tujuh tradisi menyambut bulan puasa masyarakat Jawa yang perlu dilestarikan agar tak hilang ditelan zaman. Semoga bermanfaat!
(sto/rih)
Komentar Terbanyak
Kanal YouTube Masjid Jogokariyan Diblokir Usai Bahas Konflik Palestina
Israel Ternyata Luncurkan Serangan dari Dalam Wilayah Iran
BPN soal Kemungkinan Tanah Mbah Tupon Kembali: Tunggu Putusan Pengadilan