Namun, prajurit bernama Dadung Awuk yang diperintah untuk memperdayainya justru dikalahkan dan tewas di tangan Joko Tingkir. Walhasil, diusirlah Joko Tingkir dari Demak Bintoro. Joko Tingkir pun meninggalkan Demak Bintoro dengan hati gundah, karena cita-cita dan cintanya telah kandas.
Sesampainya di hutan jati di sekitar Gunung Kendeng, Joko Tingkir bertemu Ki Ageng Butuh, seorang sahabat ayahnya. Oleh Ki Ageng Butuh, Joko Tingkir disarankan berziarah dan bersemedi di makam orang tuanya. Dari semedi itu, Joko tingkir mendapat wangsit untuk berguru pada Ki Ageng Banyu Biru yang tidak lain kakak ayahnya, Ki Ageng Pengging.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Setelah dianggap memiliki kemampuan yang memadai, Joko Tingkir dianjurkan kembali ke Demak dan mengabdi kepada Sultan Trenggana. Joko Tingkir pun dibekali Ki Ageng Banyubiru dengan segumpal tanah yang telah diberi mantra.
Ditemani tiga sahabat seperguruannya, Joko Tingkir pun menempuh perjalanan dengan naik rakit bambu menyusuri Sungai Dengkeng menuju Sungai Bengawan Solo. Perjalanan itu tak mulus. Tapi berbagai rintangan yang menghadang dapat diatasi Joko Tingkir, termasuk raja buaya Baurekso yang akhirnya justru mengawal rakit itu menyusuri Bengawan Solo.
Singkat cerita, setelah berlabuh di dermaga Butuh, Joko Tingkir melanjutkan perjalanan darat dengan jalan kaki menuju Gunung Prawata. Saat itu diketahui bahwa Sultan Trenggana sedang berada di gunung tersebut, bercengkrama dengan permaisuri dan putra-putrinya.
Kemudian dicarinya seekor kerbau liar yang telinga kanannya dimasuki tanah bekal pemberian Ki Ageng Banyubiru. Mengamuklah kerbau itu dan memakan banyak korban. Kerbau liar itu sulit ditaklukkan siapapun, bahkan oleh para prajurit Sultan Trenggana.
Saat mengetahui keberadaan Joko Tingkir dan tiga sahabatnya, maka Sultan Trenggana memerintahkan mereka untuk menaklukkan kerbau liar itu. Jika berhasil, maka seluruh kesalahan Joko Tingkir akan diampuni dan diterima lagi untuk mengabdi di Demak.
Setelah berhasil mengeluarkan tanah dari telinga kerbau itu, Joko Tingkir memukul kepalanya hingga pecah. Seluruh rakyat Gunung Prawata pun mengelu-elukannya. Joko Tingkir kemudian diarak menuju tempat peristirahatan Sultan Trenggana.
Sultan pun menyambut gembira dan memenuhi janjinya. Bahkan, Joko Tingkir juga dinikahkan dengan putrinya dan diangkat menjadi Bupati Pajang. Kabupaten Pajang menjadi ramai dan sejahtera berkat kepemimpinan Bupati Pajang atau Joko Tingkir.
Selang beberapa waktu kemudian, Sultan Trenggana wafat. Joko Tingkir pun menggantikan Sultan dan memindahkan pusat pemerintahan Demak Bintoro ke Pajang. Sejak itulah dia menggunakan gelar Sultan Hadiwijaya.
(dil/sip)