Ukuran tahu di Kabupaten Kulon Progo, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), menciut. Hal ini dipicu oleh kenaikan harga kedelai impor yang sekarang berada di kisaran Rp 11.000 per kg.
Langkah mengurangi ukuran tahu itu dilakukan oleh para perajin tahu di Sentra Produksi Tahu Murni, Dusun Wonobroto, Kalurahan Tuksono, Kapanewon Sentolo.
"Kalau sekarang ini ya tahunya (dibuat) kecil sekali, nggak bisa seperti saat kedelai murah dulu," ungkap salah satu perajin tahu, Dawud (53), saat ditemui di rumah produksi tahu miliknya di Wonobroto, Rabu (16/2/2022).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Di samping ukurannya yang mengecil, harga jual tahu juga berubah. Jika sebelumnya dengan uang nominal Rp 1.000 konsumen bisa membawa pulang lima buah tahu, sekarang hanya dapat maksimal tiga buah saja.
"Sekarang Rp 1.000 cuma dapat tiga, sebelumnya bisa dapat lima," jelasnya.
Dawud mengatakan langkah-langkah tersebut dilakukan sebagai upaya bertahan di tengah melonjaknya harga kedelai. Ia mengungkapkan sebelumnya harga kedelai selalu di bawah Rp 10.000. Nominal itu membuat perajin bisa tetap untung.
Berjalannya waktu, harga melonjak naik hingga sekarang menyentuh nominal Rp 11.050 per kg. Dengan harga saat ini mau tidak mau perajin harus pintar memutar otak agar tidak rugi.
"Dulu harga kedelai di bawah Rp 10.000, sekarang menjadi Rp 11.050. (Kenaikannya) Bisa dirasakan, tapi kami tetap harus jalan (produksi)," ucapnya.
Lewat cara ini pula, Dawud berupaya agar usahanya tidak gulung tikar. Ia mengungkapkan selama pandemi COVID-19 melanda, jumlah konsumennya menurun drastis.
Mau tidak mau ia harus mengurangi bahan baku produksi, dari sebelumnya bisa menghabiskan 1 kuintal kedelai per hari, kini tidak lebih dari 1 karung kedelai, atau seberat 50 kg.
"Kalau saya sekarang ini karena ada COVID-19 jadinya menurun (kebutuhan kedelai). Sekarang itu kurang dari satu karung, kalau kemarin 1 kuintal bisa, sekarang enggak bisa. Karena kemarin ada Corona jadi mengurangi pembeli, ditambah sekarang harga kedelai mahal. Sementara yang beli pengin beli lebih murah, tapi enggak bisa," ucapnya.
Batasi Stok
Tak hanya Dawud, langkah mengurangi ukuran tahu juga dilakukan perajin lain di Wonobroto, Samsuri (30).
"Dari ketebalan biasanya 5 cm, nanti kita jadi 3,5 cm. Tahu kan bentuknya persegi, jadi untuk ukuran lebarnya dari 3 cm jadi cuma 2 cm gitu. Jadi kita mainnya gitu," ucapnya.
"Dari kami sebenarnya rada gimana ya, untuk omzet turun, dari ukuran juga dikurangi. Kalau dibikin sama kaya kemarin-kemarin omzet ya turun. Jadi ya beginilah," sambungnya.
Siasat lain yang dilakukan Samsuri yaitu membatasi stok tahu. Langkah ini untuk mengantisipasi menurunnya kualitas tahu jika terlalu lama disimpan.
"Biar enggak rugi kami bikin stoknya nggak banyak, Mas. Soalnya kalau kita bikin banyak kaya biasa, terus dijual di pasar dan ternyata nggak laku itu kan dibawa pulang. Lama-lama itu (kualitas tahu) nggak bagus. Jadi kami cuma bikin sedikit disesuaikan dengan permintaan pasar aja," jelasnya.
Terkait dengan kebutuhan kedelai untuk produksi, Dawud mengatakan bahwa dalam sehari pihaknya bisa menghabiskan hingga 1 kuintal kedelai. Jumlah ini cenderung menurun seiring dengan rendahnya permintaan tahu di masa pandemi COVID-19.
"Sehari kami membutuhkan 1 hingga 1,5 kuintal kedelai. Gara-gara ada ini (COVID-19) itu seluruh aspek terpengaruhi. Jadi kaya dulu sering diambil di warung makan, tapi karena sekitar sini ada COVID-19 warungnya itu rada sepi, jadi ngambil tahunya juga rada berkurang," ucapnya.
Samsuri sendiri menjual tahunya per 10 bungkus, dengan rentang harga Rp 3.000 sampai Rp 5.000. Tahu-tahu ini dipasarkan ke pasar tradisional dan warung makan di Kulon Progo, Bantul, Sleman, dan sekitarnya.
Samsuri berharap pemerintah bisa turun tangan atas melonjaknya harga kedelai impor ini. Ia ingin agar pemerintah dapat membuat standar harga kedelai agar tidak terjadi fluktuasi yang membuat perajin merugi.
"Info kenaikan, kami dapat kabar gara-gara impor kedelai USA rada macet karena aksesnya ditutup imbas COVID-19. Harapan kami, inginnya harganya tetap kaya dulu. Soalnya tahu dan tempe itu kan makanan yang udah biasa di Indonesia, mudah ditemukan dan harganya sebenarnya terjangkau, dari kami ingin pemerintah itu harganya bisa distandarin kaya dulu lagi," ucapnya.
(sip/rih)