Teladani Semangat Kartini, Magdalena Rawat Anak dengan HIV/Aids di Semarang

Teladani Semangat Kartini, Magdalena Rawat Anak dengan HIV/Aids di Semarang

Arina Zulfa Ul Haq - detikJateng
Senin, 21 Apr 2025 12:28 WIB
Maria Magdalena Endang Sri Lestari di Rumah Aira, Jalan Kaba Timur, Kelurahan Tandang, Kecamatan Tembalang, Kota Semarang, Minggu (20/4/2025).
Maria Magdalena Endang Sri Lestari di Rumah Aira, Jalan Kaba Timur, Kelurahan Tandang, Kecamatan Tembalang, Kota Semarang, Minggu (20/4/2025). Foto: Arina Zulfa Ul Haq/detikJateng
Semarang -

Semangat Raden Ajeng Kartini senantiasa tertanam dalam diri para perempuan, salah satunya Maria Magdalena Endang Sri Lestari (50). Ia tetap memegang teguh nilai-nilai perjuangan Kartini, dengan memperjuangkan hak anak-anak dengan HIV/Aids (ODHA).

Di sebuah rumah hangat di sudut Semarang, Magdalena menyambut detikJateng dengan senyum yang tulus. Rumah di Jalan Kaba Timur nomor 14, Kelurahan Tandang, Kecamatan Tembalang itu bernama Rumah Aira, tempat anak-anak dengan HIV dirawat dan dibesarkan penuh kasih.

"Aira itu singkatan dari Anak Itu Rahmat Allah," kata Lena, sapaan akrabnya, sembari menggendong salah satu anak asuhnya, Minggu (20/4/2025).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Di sanalah, perempuan ini menanamkan cinta, keberanian, dan makna mendalam dari perjuangan yang tak banyak dilihat orang.

Perjalanan Magdalena bermula saat dirinya yang merupakan staf administrasi di Rumah Sakit Santa Elisabeth Semarang, menjadi guru senam, EO, bahkan penyanyi di gereja.

ADVERTISEMENT

"Karena saya punya tujuan ingin menyehatkan warga Kota Semarang, terutama ibu-ibu. Pikiran saya waktu itu hanya itu," jelasnya.

Namun, pertemuannya dengan seorang relawan bernama Bunda Anita pada 2015 silam, mengubah arah hidupnya. Ia diperkenalkan pada dunia HIV/AIDS, dunia yang sunyi, penuh stigma, dan menyimpan banyak kisah kehilangan.

"Saya kaget. Kok banyak warga Kota Semarang yang belum paham tentang HIV. Dari situ saya tersentuh, yo wis (ya sudah) lah, ternyata aku terpanggil untuk ini," kenangnya.

Lena juga sempat tersentuh saat melihat anak-anak dengan HIV/Aids di Lentera Solo. Hati mulianya tergugah untuk ikut menyediakan rumah aman bagi ODHA dan memenuhi hak-hak mereka. Menurutnya, anak dengan HIV tak memiliki dosa hingga patut dikucilkan dari lingkungannya.

"Pulang dari Lentera Solo, saya bilang sama Tuhan. Kalau memang Tuhan mengutus saya untuk merawat anak ini, bantu aku, kuatkan aku, sehatkan aku, lancarkan rezekiku," jelasnya.

Maria Magdalena Endang Sri Lestari di Rumah Aira, Jalan Kaba Timur, Kelurahan Tandang, Kecamatan Tembalang, Kota Semarang, Minggu (20/4/2025).Maria Magdalena Endang Sri Lestari di Rumah Aira, Jalan Kaba Timur, Kelurahan Tandang, Kecamatan Tembalang, Kota Semarang, Minggu (20/4/2025). Foto: Arina Zulfa Ul Haq/detikJateng

Berjanji Saat Anak Asuhnya Meninggal

Lena dan Anita lantas semakin maju. Ia mulai membuka rumahnya, lalu menyewa tempat untuk merawat anak-anak pengidap HIV. Salah satu alasan yang terus menjaga nyala semangatnya, yakni anak penyandang HIV berinisial A, yang meninggal di pangkuannya pada 1 Desember 2015, tepat di Hari AIDS Sedunia.

"Dari situ saya janji sama dia. Saya akan terus merawat anak-anak ini. Saya sedih banget, terus saya ngontrak dan banyak yang bisa saya rawat. Termasuk bayi yang tidak punya siapa-siapa," ucapnya menahan air mata.

Rumah Aira pun berdiri dengan visi misi kekeluargaan. Lena tidak hanya menerima anak-anak tanpa syarat. Ia juga menerima stigma dan prasangka yang menempel pada mereka.

"Perjuangannya luar biasa. Saya sempat diusir, diludahi. Saya dulu suka perhiasan, saya bangun ini jadi perhiasan semua saya jual. Saya punya kalung salib, malah dikira mengkristenisasi," jelasnya.

"Dulu waktu saya single parent, semua nggak setuju. Takut saya ketularan. Tapi saya meyakinkan, anak-anak ini tidak akan menularkan saya dan dalam perjalanan ini, saya bisa membuktikan," lanjutnya.

Rumah Aira kemudian berdiri pada 2015. Sambil membesarkan tiga anak kandungnya, ia turut membesarkan puluhan anak asuh dan mengumpulkan uang untuk mendanai operasional awal Rumah Aira.

Lima tahun setelahnya, Lena pun menemukan pasangan hidupnya. Kini, ia didampingi seorang suami yang menerima seluruh bagian hidupnya, termasuk semua anak-anak yang dipanggilnya 'anakku' itu.

"Anakku total semuanya dari Semarang, Jepara, Kabupaten Tegal, itu 54. ODHA dewasanya kurang lebih 16. Kalau saya ngerawat sepaket, sekeluarga. Biasanya ibunya terstigma dan didiskriminasi, jadi anaknya dibawa, bareng kakaknya, sampai neneknya," jelasnya.

"Satu keluarga saya rawat dulu, saya amankah. Kemudian coba kita edukasi tentang HIV, perawatannya bagaimana. Saya selalu memotivasi mereka supaya mandiri," imbuh Lena.

Banyak dari anak-anak yang diasuhnya kini, datang dari keluarga yang tidak sanggup bahkan tidak mau menerima keberadaan mereka. Tapi di Rumah Aira, mereka bukan hanya dirawat secara medis, tapi juga dibesarkan dengan pendidikan, seni bela diri, dan keterampilan hidup.

"Saya mendidik mereka bukan untuk menjadi pribadi yang suka minta-minta," ungkapnya.

Keinginan Lena meneladani semangat RA Kartini bisa dibaca di halaman berikut:

Ingin Teladani Kartini yang Perjuangkan Hak Masyarakat

Pada peringatan Hari Kartini, Magdalena menyebut dirinya ingin menjadi refleksi dari semangat RA Kartini masa kini. Ia ingin bisa menjadi seperti sosok RA Kartini yang dengan gagahnya memperjuangkan hak masyarakat.

"Yang membuat saya semangat ya termasuk Ibu Raden Ajeng Kartini. Perempuan yang mandiri, berani menegakkan hak kaum perempuan. Nah saya menerapkannya dengan memperjuangkan hak anak dan perempuan dengan HIV," ungkapnya.

Lena menegaskan, ia tak mau mereka mati sia-sia hanya karena ketidaktahuan atau stigma masyarakat. Penghargaan dari Kemenkes, Ormas Award, dan pengakuan dari berbagai komunitas itu hanyalah bonus.

Baginya, yang utama adalah melihat anak-anak itu sehat, sekolah, memiliki identitas, sembuh, dan syukur-syukur bisa diterima kembali oleh keluarganya.

"Harusnya kita masyarakat bareng-bareng mencintai mereka, ikut berbagi, agar mereka tidak takut dan menularkan ke yang lain. Supaya mata rantainya terputus," ajaknya.

"Sampai kapan? Ya mungkin selamanya. Saya selalu semangat kok, karena anak itu rahmat Allah yang tidak boleh disia-siakan. Semangat perjuangan Kartini akan selalu saya pegang sampai selamanya," imbuh dia.

Magdalena adalah gambaran perempuan yang bertarung dalam senyap, berdiri di tengah arus stigma dan diskriminasi, namun tidak kehilangan kasihnya. Di Hari Kartini, ia ingin kisahnya bukan hanya jadi inspirasi, tapi panggilan bagi masyarkat untuk membuka mata, hati, dan tangan untuk mereka yang selama ini tersembunyi.

"Karena anak-anak ini kan nggak berdosa. Dan saya akan terus ada untuk mereka," tutupnya.

Halaman 2 dari 2
(apu/afn)


Hide Ads