Massa Pedagang-Pelaku Wisata Borobudur Geruduk Pemprov Jateng, Ada Apa?

Massa Pedagang-Pelaku Wisata Borobudur Geruduk Pemprov Jateng, Ada Apa?

Arina Zulfa Ul Haq - detikJateng
Rabu, 16 Apr 2025 16:00 WIB
Suasana audiensi FMBB dengan Pemprov Jateng di Kantor Gubernur Jateng, Kecamatan Semarang Selatan, Rabu (16/4/2025).
Suasana audiensi FMBB dengan Pemprov Jateng di Kantor Gubernur Jateng, Kecamatan Semarang Selatan, Rabu (16/4/2025). Foto: Arina Zulfa Ul Haq/detikJateng
Semarang -

Massa yang mengatasnamakan Forum Masyarakat Borobudur Bangkit (FMBB) beraudiensi dengan Pemerintah Provinsi (Pemprov) Jawa Tengah (Jateng). Mereka menuntut penyelesaian konflik pengelolaan Borobudur hingga meminta perlindungan bagi masyarakat lokal.

Audiensi digelar di Ruang Rapat Asisten Kantor Gubernur Jateng, Kecamatan Semarang Selatan. Para anggota FMBB itu terdiri dari pelaku wisata, masyarakat adat, pedagang, pelaku UMKM, mengaku resah dengan kebijakan yang dinilai merugikan mereka.

Ketua FMBB, Puguh Triwarsono, menyoroti adanya dikotomi dalam pengelolaan Candi Borobudur antara kepentingan konservasi dan pariwisata yang tidak selaras. Ia menyebut masyarakat menjadi pihak yang paling dirugikan akibat kebijakan tersebut.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Saat ini kawasan Borobudur, salah satu imbas dari kebijakan yang ada adalah penurunan pendapatan pelaku wisata sampai dengan 83 persen. Ini berdasarkan kajian dan penelitian dari Bappeda Magelang," kata Puguh di Kantor Gubernur Jateng, Semarang, Rabu (16/4/2025).

Ia menyebut adanya kesepakatan bersama antara Pemprov, Pemda, dan PT TWC dalam pemindahan pedagang dari zona 2 Kawasan Candi Borobudur ke Pasar Seni Borobudur di Kujon, Kecamatan Borobudur, justru menyengsarakan masyarakat.

ADVERTISEMENT

"Kemudian berdasarkan realita di lapangan, pemindahan pedagang dari zona 2 ke Kampung Seni Kujon yang diharapkan menambah kesejahteraan pedagang, realitanya mereka yang sebelumnya berpendapatan Rp 100-500 ribu per hari, hanya jadi Rp 4-7 ribu, sangat ironis," ungkapnya.

FMBB juga mempertanyakan pembangunan baru seperti Prana Borobudur, resort di Bukit Dagi, dan Borobudur Sanctuary di tengah dalih pelestarian dan efisiensi lahan. Sebab, menurut mereka hal ini justru memberi ruang pada investor besar namun meminggirkan pelaku usaha lokal.

"Setelah ribuan pedagang kecil pindah ke Kampung Seni Kujon, dibangun usaha besar yang menjual makanan, minuman, souvenir, seperti yang dijual UKM di zona 2. Ini paradoks kebijakan yang sepertinya menyiasati kebijakan bersama yang sudah dibuat," tegasnya.

Selain relokasi pedagang, penutupan pintu-pintu masuk Candi Borobudur turut menambah kesulitan masyarakat. Kini, akses masuk hanya dibuka melalui Kampung Seni Kujon, yang lokasinya jauh dari candi.

"Pengunjung dipaksa naik shuttle yang milik investor dari luar juga. sedangkan efek dari kebijakan ini adalah ribuan orang. Pelaku usaha di sekeliling pintu 1, 2, 3, dan seterusnya yang semula ramai menjadi sepi," ungkapnya.

Dari total 1.943 pedagang yang awalnya terverifikasi oleh desa, FMBB mencatat hanya sekitar 300 pedagang yang benar-benar tertampung di lokasi baru. Puguh pun mempertanyakan transparansi dan akuntabilitas proses ini.

"Banyak pedagang lama yang tergabung dalam SKMB, paguyuban yang sudah eksis selama hampir 20 tahun, justru tidak mendapat tempat," ungkapnya.

Ia juga menyinggung potensi monopoli dan dominasi investor dalam pengelolaan kawasan Borobudur. Hal ini menurutnya menciptakan kesan adanya upaya memiskinkan warga lokal.

"Ini bukan hanya soal wisata, ini sudah menyangkut perut. Banyak warga yang akhirnya berutang, bahkan menjual aset demi bertahan hidup. Sampai kapan masyarakat harus menunggu solusi?" cetusnya.

Lewat audiensi itu, Puguh meminta ketegasan dan keberpihakan pemerintah kepada masyarakat kecil di sekitar Candi Borobudur. Mereka juga membawa tujuh tuntutan,

Berikut ketujuh tuntutan massa:

1. Pembukaan penutupan pintu 1, 2, dst di Candi Borobudur untuk pengunjung agar kawasan Ngaran 1 dan 2 di Jl. Medang Kamulan, Jl Badrawati, Jl. Balaputradewa dan sekitarnya hidup kembali

2. ⁠Tidak lakunya dagangan yang dijual Pedagang Pasar Kujon sehingga menimbulkan pemiskinan, konflik antarpedagang, dan problem sosial lainnya. Sehingga memerlukan dukungan, dapat berupa voucher pembelian yang diblended dengan penjualan tiket ke Candi Borobudur

3. ⁠Penolakan pembukaan restoran Prana Borobudur di zona 2 yang menjual makanan, souvenir, dan oleh-oleh yang mengkhianati Kesepakatan Bersama dan menjadikan Pasar Kujon sepi

4. ⁠Pemenuhan hak pedagang sentra kerajinan dan makanan Borobudur (SKMB) yang sampai saat ini belum mendapat kios untuk berdagang di kawasan Candi Borobudur

5. ⁠Pembatasan pengunjung dengan jumlah di atas 10 ribu orang per hari dan menolak pembatasan pengunjung 1.200 orang per hari atau 150 orang per sesi yang menjadikan Kawasan Borobudur sepi

6. ⁠Mendukung revisi Perpres No. 88 tahun 2024 tentang Rencana Induk Pariwisata Nasional (RIPDN) dan Perpres No. 101 tahun 2024 tentang Tata Kelola kompleks Candi Borobudur

7. ⁠Mendukung masyarakat lokal untuk berperan aktif sebagai pengelola candi




(ams/afn)


Hide Ads