Nama Sapto Yogo Purnomo kembali melambung setelah memboyong satu medali perak dari nomor atletik 100m T37 putra di Paralimpiade Paris 2024. Berkat prestasi tersebut, dia mendapat bonus Rp 2,6 miliar dari pemerintah. Berikut kisah atlet disabilitas itu, yang awalnya pemalu hingga kini jadi miliarder.
Di sela latihan menjelang Pekan Paralimpiade Nasional (Peparnas) 2024, Yogo menghampiri detikJateng yang sudah membuat janji untuk wawancara dan menunggu di tribun Stadion Sriwedari Solo, Jumat (4/10/2024) pekan lalu. Dia menyunggingkan senyum dan mengulurkan tangan untuk bersalaman.
![]() |
Sempat Minder Saat SD-SMP
Sembari melepas lelah di bangku tribun, atlet asal Kecamatan Ajibarang, Kabupaten Banyumas, itu menjawab sederet pertanyaan dengan lancar.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Pas lahirnya (saya) nggak difabel, masih normal. Terus berjalan tiga bulan itu kena panas tinggi, hampir step, kejang juga. Kata ibu sih (saya) seminggu sempat nggak sadar. Sempat pasrah juga ibu. Akhirnya ada keajaiban, akhirnya saya sadar," kata pria kelahiran 17 September 1998 itu.
Menurut Yogo, kejadian itu yang membuat dirinya kemudian mengalami lumpuh otak atau cerebral palsy. Dia mengalami gangguan motorik di tangan dan kaki sebelah kanan.
"Kalau (tangan kiri) ini kan bisa untuk menggenggam, kalau yang (tangan) kanan sulit, kaku banget," ujar Yogo sambil menunjukkan perbedaan tangan kiri dan kanannya.
Yogo baru menyadari kondisinya saat di bangku sekolah dasar (SD). Dia mengamati ada perbedaan antara dirinya dengan teman-temannya.
"Waktu itu aku nggak tahu ada kelainan di tubuh. Tahunya pas waktu SD kelas tiga (atau) kelas empat lah. Kelihatan (saya) nulisnya beda pakai tangan kiri, yang lain pada pakai tangan kanan," ungkapnya.
Setelah mengetahui ada perbedaan itu, Yogo sempat minder hingga tak mau berangkat sekolah.
"Waktu SD sempat nggak mau sekolah karena minder, harus dijemput guru. Kayak rasa malu. SMP juga begitu, dari kelas 7-9 mindernya ampun-ampunan, nggak mau sekolah," kenang dia.
Saat SMP, sering dia pamit berangkat sekolah tapi nggak sampai tujuan alias membolos. Pada masa itu Yogo juga terbilang sensitif.
"Kalau ada yang menyinggung sedikit langsung marah, sedih, udah lah nggak pengin sekolah lagi," ucap dia.
Berkat kegigihan sang ibu yang terus membesarkan hatinya, Yogo akhirnya bisa lanjut sekolah hingga lulus SMP.
" katanya (ibu) kalau kamu nggak sekolah nanti kamu ke depannya mau jadi apa, gitu. Akhirnya mikir lagi dan sekolah terus walaupun (masuk) seminggu dua kali, tiga kali," ujar Sapto Yogo.
Awal Mula jadi Atlet Saat SMK
Setelah lulus SMP, Yogo diberi pilihan ibunya untuk melanjutkan sekolah atau tidak. Dia yang saat itu gemar otomotif memutuskan masuk ke salah satu SMK di daerahnya.
"Saya lanjut di SMK khusus otomotif karena memang sukanya otomotif pas SMP. Jurusan teknik sepeda motor," kata Yogo.
Pilihan melanjutkan sekolah itu membawa Yogo ke babak baru dalam hidupnya. Saat kelas 10, guru olahraganya melihat bakat Yogo di bidang atletik lari. Dia lalu digembleng dan diikutkan dalam seleksi atlet difabel hingga tembus ke perlombaan tingkat nasional.
"Pelajaran olahraga kan di lapangan, kebetulan ada lompat jauh sama lari. Pas giliran saya lompat kok ada bedanya sedikit kata guru. Larinya juga nggak latihan kok kencang. Akhirnya aku diajak latihan," ujar Yogo.
"Guru saya tahu tentang NPC (National Paralympic Committee). Akhirnya saya ikut seleksi untuk pelajar daerah di Solo tahun 2016 dan saya ikut serta di Peparnas Jabar langsung dapat medali," imbuhnya.
Sejak itu pihak sekolah memberi dukungan penuh ke Yogo. Dia diberi beberapa keringanan agar fokus mengasah kemampuannya.
"Sekolah mendukung banget. Saya izin satu tahun lebih. Kalau pas ujian kenaikan kelas paling saya izin (dari tempat latihan) pulang sebentar untuk ikut ujian di sekolah," ungkapnya.
Prestasi Yogo juga membuat nama SMK-nya terangkat. Dia bilang, animo pendaftar di sekolahnya makin tinggi dan peminat ekstrakurikuler olahraga juga meningkat.
"Pas aku masih di sekolah paling kurang ruangan untuk 1-2 kelas. Pas aku lulus sampai kurang 3 ruangan. Jadi siswanya tambah banyak, ruangannya belum ada. Terus kebanyakan (siswa yang masuk) maunya waktu itu ekstranya olahraga semua," kata Yogo.
Selengkapnya di halaman selanjutnya.
Hijrah ke Solo
Setelah lulus sekolah, Yogo kemudian 'hijrah' dan menetap di Solo untuk terus mengasah kemampuan larinya.
"Di sini kan ada messnya. Paling pulang pas lebaran atau akhir tahun. (Meski tidak ada kejuaraan dalam waktu dekat) tetap di Solo fokus latihan," ujar dia.
Sapto Yogo sempat menjajal kelas dan nomor yang berbeda-beda di cabang atletik difabel. Awalnya dia pernah ditempatkan di kelas T-38.
"Di kelasku ada tiga (klasifikasi), T-36, T-37, T-38. T-36 itu paling parah, seluruh badan kaku semua. Kalau T-37 (kaku) setengah badan, T-38 itu cuma satu (yang kaku) di tangan atau di kaki. Paling ringan itu di T-38. Tahun 2016-2017 (saya) masuknya di T-38," jelas Yogo.
"Terus saya ikut (kompetisi) internasional, klasifikasi lagi, akhirnya ikut (kelas) T-37," sambung dia.
Yogo juga sempat mengikuti beberapa nomor lari, yaitu 100, 200, dan 400 meter. Tapi nomor 100 dan 200 meter yang menurut dia paling nyaman.
"Pas Asean Para Games Solo (2022) baru pertama kali ikut 400 meter. (Paling nyaman) Di 100-200 meter. Spesialisnya aku sprinter, jadi di 100-200 meter itu masih kecepatan, lari speed. Kalau di 400 meter itu sama daya tahan juga, harus tahu ritmenya, langkahnya," papar Yogo.
Down Saat Ibu Meninggal
Selama menjadi atlet, Yogo juga pernah berada dalam titik terendah, yaitu saat ibunya meninggal setelah Paralimpiade Tokyo 2020 usai digelar pada tahun 2021.
"Ibu meninggal tahun 2021 persis sesudah (Paralimpiade) Tokyo, sempat drop saat ibu meninggal. Pas Asean Para Games Solo masih kerasa juga, kehilangan banget. Malas latihan, mau berhenti jadi atlet, kalau latihan sering ngelamun katanya," kenang Yogo.
Berkat dukungan keluarga dan orang-orang terdekatnya, Yogo pun kembali bangkit.
Bonus Miliaran buat Beli Sawah-Rumah
Prestasi Yogo tak diragukan lagi. Setiap melakoni laga internasional, dia selalu membawa pulang medali untuk Indonesia.
"Medali terakhir (dapat) perak di Paralympic Paris kelas T-37 nomor 100 (meter). Di Hangzou itu dapat 4 medali. Di nomor 100, 200, 400 meter kelas T-37 dapat emas, satunya di estafet universal 4x1 dapat perak," terangnya.
Sapto Yogo juga mengaku telah mendapat bonus miliaran rupiah dari pemerintah.
"(Paralimpiade) Paris kemarin (dapat) Rp 2,6 miliar itu dari presiden atau dari pemerintah, tapi sekarang belum cair, masih proses. (Asian Para Games) Hangzou kemarin itu dari satu medalinya Rp 1 miliar, (total dia dapat tiga medali) jadi sekitar Rp 3 miliar. Alhamdulillah sudah cair," ungkap Yogo.
Bonus besar yang dia dapat biasanya dia pakai untuk membeli tanah atau sawah. Yogo kini juga sedang membangun tempat kos 18 pintu di Bangka Belitung.
"Seringnya kalau ada rezeki itu buat beli tanah atau sawah, terus (beli) rumah tahun kemarin. Paling ya ada sisa tabungan. Tahun ini lagi bikin kos-kosan di Bangka Belitung. Di sana ada keluarga istri saya, jadi yang mantau keluarga istri saya," ungkap Yogo yang baru menikah pada Februari 2024.
Soal alasannya bikin kos-kosan di Bangka Belitung, dia bilang karena lokasinya dekat dengan kampus Universitas Bangka Belitung.
"Jaraknya paling cuma 400 meter. Semoga bisa (mulai beroperasi akhir tahun ini). Ini baru 18 kamar," pungkas dia.
Artikel ini ditulis Ardian Dwi Kurnia peserta Program Magang Bersertifikat Kampus Merdeka di detikcom.