Diskusi bertema Demak Menolak Tenggelam digelar di Festival Keadilan di Halaman Sanggar Kegiatan Belajar (SKB), Jalan Sultan Trenggono, Katonsari, Demak. Dalam diskusi itu tokoh NU mengajak setop untuk menyedot air tanah.
Keynote speaker dalam acara tersebut berbagai lapisan masyarakat. Mulai warga terdampak rob, Rais Syuriyah PWNU Jateng, KIARA, Kontras, YLBHI, Pergerakan Mahasiswa Indonesia (PMII), dan sebagainya.
Rais Syuriyah PWNU Jateng, Ubaidillah Shodaqoh mengatakan kondisi rob di Demak sudah sangat memprihatinkan. Pentingnya kesadaran bersama untuk menyelesaikan persoalan rob secara adil.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Ya sangat memprihatinkan, dan bagaimana tempat ini bisa meluas kalau toh pemerintahannya tidak memiliki empati, kemudian warga bersama aktivis, warga harus memiliki empati bersama-sama. Sebab ini nasib yang kita tanggung sama-sama. Berpindah bukan merupakan solusi, berpindah itu banyak problem daripada dia tetap berada di situ," kata pria yang akrab disapa Mbah Ubed itu usai acara, Sabtu (4/11/2023).
"Bukan hanya itu, masalah Demak itu masalah klasik yang mestinya barang yang sudah klasik itu kan penyelesaiannya sudah nyata. Selama ini belum selesai-selesai," sambungnya.
Relokasi Bukan Solusi Rob
Ia menyebut solusi relokasi atas dampak rob bukan menjadi solusi. Namun bagaimana masyarakat bisa adaptasi dengan rob secara nyaman.
"Relokasi itu tidak mengatasi itu, yang namanya relokasi itu mengusir bukan mengatasi. Bagaimana penduduk tetap nyaman di situ menyesuaikan dengan air kan kalau tidak bisa membuat tembok laut untuk menanggulangi air itu, kemudian janganlah eksploitasi air dalam itu harus segera diatasi, untuk kota-kota pabrik-pabrik itu, maka PAM itu harus masuk ke situ," ujarnya.
"Jadi tidak ada penurunan terus karena penyedotan air tanah," imbuhnya.
Ia menyebut kondisi rob di Demak berbeda jauh sebelum tahun 2000. Banyak tumbuhan subur di wilayah Sayung yang kini sudah hilang.
"Perbedaannya jauh, Timbulsloko sebelum tahun 2000 itu banyak santri di situ dolan di situ. Dulu itu ada kelapa, ada sayur-sayuran, ada padi. Masyarakat setelah selesai menanam padi pergi ke laut mencari ikan," terangnya.
"Setelah itu pulang wayah panen dan sebagainya, daerah yang makmur sekali di situ, karena itu menurut ahli lingkungan pembangunan itu. Pertama pembangunan anjungan Tanjung Mas yang menjorok ke laut sehingga merubah arah ombak dan merusak arus laut," imbuhnya.
Ia menyebut rob masif terjadi di Demak pada 2005 silam. Anak-anak tak lagi bisa bermain.
"Sejak 2005 rob masif, anak-anak tidak bisa bermain lagi. Warga pasrah, wong mereka mencari penghidupan saja sudah lelah kok mau respons-respons gimana. Harus kita ajak, kita sadarkan, harus kita tuntun bersama-sama, kita support," tuturnya.
Rumah Apung Jadi Solusi Berdamai dengan Rob
Ia menyebut salah satu solusi warga terdampak rob dengan rumah apung. Sementara transportasinya menggunakan perahu.
"Di antaranya (solusi rumah apung), makanya saya menantang pada para ahli, bisakah mengatasi bangunan yang murah yang ada di situ, sehingga tidak tenggelam. Kalau itu ditata apik menjadi kampung air bisa dibuat wisata dan sebagainya," ujarnya.
"Kita mau buat sabuk pantai itu misalnya biayanya mahal, sekarang yang tidak mahal apa? Bagaimana masyarakat bisa adaptasi di situ dengan sehat apa? Ya bagaimana tidak kena rob meskipun transportasinya barangkali pakai boots dan sebagainya itu bisa dan itu murah. Semacam 7x9 meter kemarin, kami menghabiskan itu satu Rp 120 juta, karena proyek itu 1 tentunya mahal kalau itu banyak tentunya lebih murah," imbuhnya.
Ia menyebut bahwa Pemkab Demak bisa mengatasi rob untuk 150 KK di Dukuh Timbulsloko, Sayung.
"Kalau misalkan 150 KK itu menjadi lebih murah tapi kan masalahnya tidak Timbulsloko saja nanti akan merembet terus. Kalau Pemkab mengatasi Timbulsloko saja mungkin mampu," ujar Mbah Ubed asli warga Gebang Kecamatan Bonang itu.
Ia menyebut pemimpin saat ini tidak ada yang fokus bicara penyelesaian isu lingkungan. Ia menyebut Pulau Jawa sudah darurat krisis ekologis.
"Ya memang tidak ada (capres) yang mengangkat isu ekologis, yang artinya demikian bahwa Jawa ini sudah beban syarat, sudah dieksploitasi sangat rawan sekali. Maka dari itu jangan sampai dieksploitasi tambang yang ada di Jawa ini karena Jawa ini bebannya sudah berat," sebutnya.
Ia menuturkan bahwa tugas NU hanya menyadarkan masyarakat agar bisa berdikari.
"Kalau kami di NU setiap pertemuan saya ingatkan semacam itu, karena memang itu khidmah NU. NU itu kan tidak punya power, tugasnya hanya penyadaran penyadaran gitu," terangnya.
"Kalaupun hanya membuat madrasah apung, musala dan sebagainya ya hanya sebatas tidak sebagai dana filantropi tidak. Cuma turahan-turahan yang saya harapkan menjadikan contoh. Masa pemerintah gak bisa, wong kami hanya ormas saja bisa ya meskipun memang kecil-kecilan itu," sambungnya.
Soroti Banyaknya Pabrik di Demak
Ia berharap Demak sebagai daerah sumber ilmu pengetahuan dapat kembali lagi. Ia mengeluh saat ini banyak pabrik yang merusak lingkungan.
"Tradisinya harus dipertahankan jangan dikotori pabrik-pabrik lah. Terus terang sudah sangat merusak sekali. Lembaga pendidikan, pesantren, sekolah sekolah itulah yang harus kita hidupkan," terangnya.
"Itulah kawah Condrodimukonya ulama ulama itu Demak semestinya. Itu yang harus dipertahankan. Sayang Demak ini tidak ada kampus yang maju," ujar Mbah Ubed.
Festival Keadilan Wadah Keluh Kesah Warga
Sementara itu Dirut YLBHI, Asfinawati menyebut festival keadilan tersebut terselenggara sudah di 12 kota/kabupaten di Jawa. Tujuannya yakni mendengarkan keluh kesah warga.
"Iya jadi festival keadilan ini dijalankan di beberapa kota dan di Demak, biasa di beberapa kota itu kami selalu mendengarkan apa masalah-masalah yang ada di kota tersebut, di Demak khusus warga menolak tenggelam," tuturnya.
"Ya karena dari kesaksian warga sudah dari 2014 tenggelam dan banyak sekali kesulitan yang mereka hadapi. Untuk sekolah, untuk berbelanja, dan tidak ada perubahan sampai sekarang. Dan saya yakin kalau pembangunan yang tidak memperhatikan lingkungan ini diteruskan, bencana ini akan meluas," imbuhnya.
Ia menyebut dengan acara tersebut dapat menumbuhkan kesadaran kolektif antardaerah. Yakni tidak hanya melakukan proses hukum namun sadar politik.
"Kalau saya denger sebetulnya sudah banyak tuntutan dari ibu-ibu ya, dari ribu nelayan, dan itu seharusnya bukan hanya persoalan Kabupaten tapi juga persoalan provinsi bahkan juga nasional karena akarnya salah satunya proyek strategis nasional ya. Nah kalau di provinsi Jawa Tengah sendiri, sebetulnya kami sudah bertemu dengan ibu-ibu Kendeng yang sudah pernah menempuh jalur hukum hingga Mahkamah Agung dan menang tapi tidak dieksekusi itu tetep aja ada pabrik. Jadi sebetulnya yang perlu dilakukan oleh pemerintah bukan hanya memaksa tanda kutip warga ke pengadilan itu tapi patuh pada makna konstitusi itu. Jadi nggak bisa melegitimasi tindakan dengan peraturan presiden misalnya tapi esensinya merampas hak rakyat," ujarnya.
"Dan dalam banyak kasus putusan pengadilan toh tidak dipatuhi oleh kepala daerah, jadi kita butuh lebih dari sekedar menyuruh masyarakat ke pengadilan tapi jadi komitmen politik itu yang harusnya ada untuk menyelamatkan lingkungan dan menyelamatkan warga," sambungnya.
Diskusi tersebut diikuti oleh sejumlah mahasiswa, ibu-ibu terdampak rob warga Timbulsloko, dan sebagainya. Usai acara tersebut juga dilakukan aksi bela Palestina dengan membentangkan bendera dan tulisan pembelaan.
Simak Video "Video: Embun Es di Jawa, Fenomena Langka di Dataran Tinggi Dieng"
[Gambas:Video 20detik]
(apu/ams)