Jelang Hari Raya Nyepi tahun Saka 1945, umat Hindu di Kabupaten Boyolali menggelar upacara Mecaru. Mereka lalu mengarak ogoh-ogoh yang merupakan lambang raksasa itu keliling kampung untuk selanjutnya dibakar.
Seperti dalam upacara Mecaru di Dukuh Ngledok, Desa Gumukrejo, Kecamatan Teras, Kabupaten Boyolali. Setelah upacara Mecaru di Pura Panca Maya, mereka mengarak ogoh-ogoh Rangda Lato keliling kampung.
"Sebelum kita memasuki perayaan Hari Raya Nyepi, kita memasuki brata penyepian, terlebih dahulu kita mengadakan yang namanya Mecaru, seperti yang telah kita laksanakan bersama-sama, kita saksikan bersama-sama, itu namanya pembersihan alam semesta dan sekitarnya, buana alit dan buana ageng," kata Ketua Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) Desa Gumukrejo, Joko Suparji, usai pawai ogoh-ogoh di Dukuh Ledok, Desa Gumukrejo, Selasa (21/3/2023).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Karena sebentar lagi nanti 24 jam, mulai jam 12 malam sampai jam 12 malam hari berikutnya kita mengadakan brata penyepian dengan harapan semua alam semesta mendukung apa yang kita lakukan untuk melakukan dharma penyepian," sambungnya.
Dia menerangkan upacara Mecaru digelar sebelum umat Hindu melaksanakan dharma penyepian selama 24 jam. Upacara ini nantinya dimulai pukul 24.00 WIB hingga 24.00 WIB besok.
Prosesi diawali dengan Mecaru untuk pembersihan alam bawah, lalu dilanjutkan dengan sembahyang bersama. Setelah persembahyangan, dilanjutkan kirab arak-arakan ogoh-ogoh keliling kampung.
Rangkaian kegiatan itu diikuti umat Hindu di desa tersebut. Selain ogoh-ogoh juga dikirab satu gunungan sayur mayur dan buah-buahan.
Kirab diiringi dengan bunyi kentongan. Setelah kirab, gunungan itu diperebutkan ke warga di perempatan Dukuh Ngledok.
![]() |
Toleransi antarumat beragama terlihat dalam rangkaian kegiatan ini. Arak-arakan ogoh-ogoh melintasi masjid di dukuh itu. Umat muslim pun ikut menyaksikan pawai tersebut.
Setelah arak-arakan, ogoh-ogoh yang merupakan lambang raksasa atau sifat kejahatan itu dimusnahkan dengan cara dibakar.
"Ogoh-ogoh itu lambang raksasa atau sifat kejahatan, dimana dalam kehidupan ini yang namanya sifat raksasa adalah sifat yang selalu menang sendiri, sifat angkara murka, makanya dengan adanya simbol raksasa kita harus bisa mengalahkan raksasa tersebut. Makanya setelah kita arak-arak, kita bakar supaya keangkara-murkaan atau ketidakbenaran atau ketidakadilan lenyap dari muka bumi ini," jelas Joko.
Salah seorang umat Hindu, Sartono, menambahkan ogoh-ogoh yang diarak itu bernama Rangda Lato. Ogoh-ogoh ini mempunyai banyak sifat keburukan.
"Karena kita ingin menghilangkan sifat buruk yang ada pada diri manusia," terang Sartono.
(ams/dil)