Bagi Wartono (30), lari bukan sekadar olahraga. Berawal dari hobi, petani asal Blora itu menjadi atlet yang kerap menjuarai berbagai lomba. Bahkan, ayah satu anak itu kini menggantungkan perekonomian keluarganya dari lomba lari.
"Awalnya iseng-iseng hobi, suka aja. Nggak niat podium. Lama-lama enak, keterusan, jadi penghasilan. Akhirnya digeluti sampai sekarang," kata Wartono kepada detikJateng, Senin (2/1/2023).
Wartono adalah warga Dusun Pentil Dukoh, Desa Karanggeneng, Kecamatan Kunduran, Kabupaten Blora, Jawa Tengah. Banyak medali, piala, dan hadiah yang telah dia raih.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Jika sedang tidak ada lomba lari, dia di rumah mengurus ladang dan ternak sapinya. Namun, begitu mendapat kabar ada lomba lari, dia rela terbang sampai ke luar pulau demi memburu hadiah.
Wartono mengatakan, ia sering mendapat informasi lomba lari dari internet, media sosial, maupun dari teman-temannya. Berbagai kategori lomba lari dia ikuti, dari kategori 10 K (kilometer) hingga 42 K.
"Saya pelari tarkam (antar kampung). Sekarang hadiah tarkam lumayan, alhamdulillah bisa mencukupi keluarga. Sekarang sering naik podium," ujar Wartono.
Terbaru, di Sleman Temple Run 2022 dia menjadi juara 1 kategori 13 K. Di Tilik Candi Borobudur Marathon 2022 kategori 21 K, dia juara 3. Di SangiRun Night Trail 2022 Sragen, dia juara 2 di kategori 25 K.
"Tutup tahun kemarin di Kebumen Beach Half saya juara 2, dapat Rp 1,5 juta. (Lomba) Lainnya juga besar. Di Borobudur juara 3 dapat Rp 8 juta, di Sleman dapat Rp 7,5 juta. Bayangkan saja, itu satu kali event. Itu termasuk hadiah kecil, banyak yang besar lagi," ungkap Wartono.
Menurut Wartono, tiap bulan biasanya ada empat kali lomba lari di berbagai daerah. Namun Wartono biasanya hanya mengikuti dua perlombaan saja per bulannya.
"Kalau normal satu bulan full tiap minggu event saya ambil dua kali. Pasti kan tiap daerah mengadakan lomba lari, entah Jawa Tengah, Jawa Timur, Jawa Barat, kabar run (lari) pasti ada," ujarnya.
"Kadang kalau saya ambisi bisa ambil tiga atau empat kali, tergantung kondisi," imbuh dia.
Tiap ada lomba, Wartono selalu tiba di lokasi sehari sebelum acara dimulai. Satu malam itu dia gunakan untuk istirahat memulihkan tenaga. Tak jarang dia menumpang tidur di rumah temannya yang dekat dengan lokasi lomba.
Selengkapnya di halaman selanjutnya.
"Misal (lomba) Minggu, Sabtu saya harus di sana. Bermalam di lokasi. Tidak malu juga, tidur ya nunut teman yang dekat lokasi lomba, kalau tidak saya nyewa home stay atau hotel yang murah-murah lah. Seadanya," ucapnya.
Ikut Lomba Sejak 2017
Wartono merasa lari merupakan bakat kecilnya sejak kecil. Potensinya sudah terlihat sejak sekolah. Selain latihan mandiri, seluruh lomba yang telah dia tempuh menggunakan biaya sendiri. Dia mulai ikut lomba sejak 2017.
"Sepenuhnya modal sendiri. Kalau (lokasinya) bisa dijangkau motor ya naik motor. Kalau jauh naik bus, kadang naik kereta juga. Mau sewa mobil, mahal," urainya.
Menurut pamannya, Solikin, Wartono pernah ikut kejuaraan nasional Atlet Lari Trail Indonesia (ALTI) di Palu, Sulawesi Tengah, beberapa waktu lalu. Saat itu Wartono harus naik motor ke Semarang untuk bergabung dengan rombongannya menuju Jakarta. Dari Jakarta mereka baru terbang ke Palu.
"Selain di rumah teman atau saudara, dia sering numpang tidur di masjid terdekat dengan arena perlombaan. Tujuannya untuk menekan biaya agar tidak menggangu kebutuhan (ekonomi) rumah," kata Solikin.
Dalam kejuaraan ALTI itu, Wartono tidak mewakili Blora, tapi Pekalongan. Sebab di Blora belum ada ALTI yang dinaungi oleh Komite Olahraga Masyarakat Indonesia (KORMI).
Meski demikian, Wartono tetap bangga mewakili tanah kelahirannya Blora ketika mengikuti kejuaraan lari yang dikelola oleh cabor Altetik di bawang naungan KONI.
"Intine dekne lari wes diniati golek sandang pangan (intinya dia lari diniatkan mencari sandang pangan)," pungkas Solikin.