Pro kontra soal Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) menjadi Undang Undang masih terus bergulir. Beberapa pasal dianggap berpotensi melanggar HAM. Pakar hukum tata negara Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto (Unsoed) pun memberikan pandangannya.
"Ketika saya baca ada beberapa daftar isian masalah atau pasal-pasal yang masih kontroversi dan itu mungkin untuk disatukan sulit," kata pakar Hukum Tata Negara Unsoed Prof Muhammad Fauzan kepada detikJateng di sela acara sosialisasi RKUHP oleh Kementerian Kominfo di Fakultas Hukum Unsoed, Selasa (6/12/2022).
"Tetapi kalau kebijakan pemerintah dan DPR sudah mau mengesahkan ya tinggal ketidaksetujuan atas beberapa persoalan itu harus ditempuh melalui jalur hukum, dalam hal ini uji material ke MK,"imbuh Fauzan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menurut Fauzan, ada pro kontra soal substansi materi merupakan hal yang wajar.
"Kita tahu bahwa KUHP sudah 104 tahun kalau tidak salah, itu dibentuk zaman pemerintahan kolonial Belanda yang dipengaruhi oleh nilai-nilai yang berkembang khususnya para pembentuknya. Ini sudah seratus tahun lebih, tentunya ada perkembangan-perkembangan," lanjutnya.
Ditanya soal adanya pendapat bahwa RKUHP masuk terlalu dalam pada soal privasi dan berpotensi melanggar HAM, Fauzan mengatakan pendapat itu sah saja.
"Itu boleh saja pendapat, silakan ajukan uji material, termasuk tentang berita bohong, teman-teman wartawan juga agak risau. Kalau kita tarik ke aspek HAM terkait hukuman mati masih ada di RKUHP, tetapi kalau mengacu UUD 45 memang hak hidup tidak boleh dicabut," tuturnya.
Fauzan menyebut, meskipun tak bisa dicabut tetapi kata dia ada pembatasannya. Batasan-batasan yang dia maksud adalah alasan di balik tindak pidananya.
"Sepanjang ada alasan objektif, misalnya kalau dia melakukan genosida apa dibiarkan saja? Itu satu isu yang akan selalu jadi perdebatan, kalau penggiat HAM ya menolak mentah-mentah karena hak hidup adalah hak yang tidak bisa dicabut," ujarnya.
Sementara itu Koordinator Informasi dan Komunikasi Kementerian Kominfo Dikdik Sadaka mengatakan pro kontra adalah dinamika dari demokrasi Pancasila. Pihaknya mengakomodir kedua pihak sepanjang tujuannya untuk kebaikan masyarakat bersama.
"KUHP memang ada pro kontra, kita sebagai aparatur pemerintah tetap harus melakukan pendekatan, harus tetap menghargai perbedaan pandangan kami arahkan agar menyampaikan pandangannya itu secara formal," kata Dikdik.
(dil/sip)