Kondisi Pesisir Utara Pekalongan Mengkhawatirkan, Ancaman Tenggelam Kian Nyata

Kondisi Pesisir Utara Pekalongan Mengkhawatirkan, Ancaman Tenggelam Kian Nyata

Robby Bernardi - detikJateng
Sabtu, 05 Nov 2022 13:34 WIB
Kondisi Wonokerto, Kabupaten Pekalongan saat banjir rob. Foto diambil Januari 2022.
Kondisi Wonokerto, Kabupaten Pekalongan saat banjir rob. Foto diambil Januari 2022. (Foto: dok. istimewa)
Kab Pekalongan -

Kota Pekalongan diprediksi akan tenggelam di tahun 2035 mendatang akibat penurunan muka tanah tiap tahunnya. Fenomena yang sama ternyata juga melanda wilayah utara Kabupaten Pekalongan.

Berbeda dengan Kota Pekalongan yang merupakan masuk wilayah datar, Kabupaten Pekalongan secara topografis memiliki perpaduan antara wilayah datar dan dataran tinggi.

Kabupaten Pekalongan bagian utara inilah yang juga ikut terancam krisis iklim, banjir dan rob. Salah satu yang terdampak di Kecamatan Wonokerto.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Bahkan, satu dusun di Wonokerto ini, kini terpisah dari daratan dan menjadi 'pulau' yakni Dusun Simonet, Desa Semut. Tidak hanya itu, banjir dan rob juga kerap terjadi di wilayah Wonokerto.

Peneliti pusat riset penginderaan jarak jauh Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Galdita A Chulafak, dalam webinar yang digelar pada Kamis (03/11), yang diprakarsai oleh Satya Bumi dengan tema 'Krisis Iklim: Ancaman Tenggelamnya Kota Pekalongan', menunjukan data terjadi penurunan tanah di pesisir utara, dan merubah garis pantai.

ADVERTISEMENT

Temuan BRIN menunjukkan laju penurunan permukaan tanah di wilayah pantai utara Jawa Tengah relatif tinggi. Galdita A Chulafak menyebut, jika menggunakan data penginderaan jauh atau remote sensing, penurunan permukaan tanah di Pekalongan berbeda-beda mulai dari 4-11 cm.

"Selain itu, data juga menunjukkan adanya rekayasa pesisir di Wonokerto, di mana terjadi perubahan muara sungai yang tadinya aliran tidak langsung mengarah ke laut karena terhalang barrier sedimen, menjadi langsung ke laut dengan dibangunnya jetty dan dihilangkannya barrier alam, sebagaimana diduga oleh masyarakat sekitar menjadi penyebab utama terjadinya rob," ujar dia.

Data yang digunakan melakukan pengamatan secara historis dengan menggunakan data satelit landsat yang dilakukan di wilayah Pekalongan. Ia lakukan pengamatan perlima tahun sejak tahun 1988. Ia juga menampilkan kondisi real pesisir Utara Pekalongan dari Landsat, tahun ke tahun yang berubah, baik garis pantai maupun penambahan genangan air.

"Ini adalah perbandingan dari garis pantai dari tahun 1988-2021, terjadi abrasi di wilayah pesisir Pekalongan, hampir sebagian besar mengalami abrasi di Desa Semut, Pecakaran, Bandengan dan sekitarnya," katanya.

Dari temuannya, di Dusun Simonet telah terjadi abrasi sejak tahun 2003. "Dusun Simonet, ada perbedaan 2003 terjadi abrasi tipis-tipis abrasi di tahun 2020 di bagian tengah dan semakin terkikis lagi di 2021 dan 2022 hampir seluruh wilayah rumah di sini tergenang rob dan jalanpun seperti sungai," katanya.

Dalam kesempatan yang sama, Komarudin, Kepala Desa Api-Api, Kecamatan Wonokerto, menceritakan perjalanan air rob masuk ke tambak dan pemukiman, yang merubah pola kehidupan warganya.

"Awal mula ada air rob masuk ke pemukiman berawal dari program pemerintah kabupaten sekitar tahun 2004-2005, program normalisasi sungai. Waktu itu (sungai) didalami dan dilebarin. Mau tidak mau muara dilebarin dibarengi dengan pemindahan TPI Wonokerto yang semula di tengah pemukiman dipindah ke muara sungai. Muara ini bentuknya mangap lurus lebar ke pantai, tanpa ada penghalang lagi," Katanya.

Dengan kondisi tersebut menurutnya air laut dengan mudah masuk tanpa tanggul alami.

"Karena saat alat cakruk bisa masuk harus memindahkan lumpur, mau tidak mau memindahkan pohon mangrove, sehingga gelombang air laut lebih mudah ke sungai sehingga membuat benteng tambak abrasi dan volume air membesar," jelas Komarudin.

Selanjutnya Ia menceritakan dari tahun ke tahun apa yang terjadi di wilayah Wonokerto. Di tahun 2008, air rob mulai masuk ke areal persawahan, kebun melati milik warga belum terdampak. Di tahun 2009-2013, air laut sudah mulai masuk termasuk merendam kebun melati.

"Tahun 2013 (rob) sudah masuk ke pemukiman, air rob sudah setinggi paha orang dewasa," katanya.

Mengatasi masalah itu, pihaknya bersama warga melakukan apa yang bisa dilakukan semampunya. "Karena sudah ada perubahan air pasang dari hari-hari biasanya dari tahun sebelumnya, kita bersama warga bikin mitigasi semampunya yang bisa kita lakukan, menanam mangrove di sungai-sungai dan tanggul. Tahun ke sini airnya kok tinggi banget akhirnya sampai tahun 2016 ada kecenderungan warga Wonokerto, waktu itu menyerah dengan kondisi tingginya air rob," ungkap Komarudin.

Selama ini, menurutnya, warganya bergantung dengan mata pencarian tambak, nelayan, kebun melati dan pertanian.

"Yang paling banyak perikanan. Semuanya (mata pencarian) bergantung dengan alam. Karena kondisi ini, kita ada penurunan pendapatan karena alam rusak. Aset-aset lama kelamaan hilang, kayak tambak dan lahan. Ada sekitar 10 persen warga beralih ke selatan mereka murni meninggalin rumahnya, rumah ditinggal, tambak tidak bisa digarap," jelasnya.

Simak selengkapnya di halaman selanjutnya...

Kondisi Wonokerto, Kabupaten Pekalongan saat banjir rob. Foto diambil Januari 2022.Kondisi Wonokerto, Kabupaten Pekalongan saat banjir rob. Foto diambil Januari 2022. Foto: dok. istimewa

Yang lebih parah, menurutnya Tempat Pelelangan Ikan (TPI) Wonokerto. Saat ini, dengan kondisi banjir air rob, tidak bisa melakukan lelang. Warganya melakukan lelang ke TPI tetangga di Kota Pekalongan ataupun Batang. Itupun harus menyediakan BBM yang ekstra untuk menuju ke lokasi tersebut.

Dalam kondisi banjir rob itu, sebagian warga menyerah, berkecendurungan menjual tambak dan mencari pekerjaan alternatif lainnya.

"Tambak-tambak dijual. Yang lucunya, ada mencari pekerjaan yang justru menjadi buruh tambak di tambaknya sendiri yang telah dijual ke orang lain. Karena tidak ada keahlian di bidang lain," ucapnya.

Tahun berikutnya, menurut Komarudin, ketinggian air menjadi dua kali lipat hingga tahun berikutnya, ada ratusan hektar yang ditinggal tidak bisa digunakan. Krisis air bersih terjadi.

"Masalah air bersih, masyarakat api-api sebagian masih gunakan air payau untuk kebutuhan sehari-hari. Hanya untuk minum kita gunakan air galon, beli atau kita ada juga yang ngangsu," kata Komarudin.

Warga pernah dibuatkan sumur resapan dan tadah hujan. Namun ternyata tidak bisa digunakan.

"Itupun klemer, agak lengket dan asin. Masalahnya ya air bersih, sampah dan tempat tinggal. Kalau infrastruktur saya yakin pemerintah akan lambat laun memperbaiki," jelasnya.

Pemkab Pekalongan sebenarnya tak tinggal diam. Berbagai upaya juga dilakukan termasuk bekerjasama dengan sejumlah pihak, baik dari pemerintah pusat, provinsi, wilayah tetangga, swasta, maupun lembaga non pemerintah lainnya. Bahkan menggandeng akademisi.

Sekda Pekalongan, M Yulian Akbar mengungkapkan pihaknya hingga saat ini terus berupaya dalam penanganan banjir dan rob di wilayahnya, termasuk relokasi warga Dusun Simonet, Desa Semut. Penanganan yang dilakukan dengan pembangunan infrastruktur tanggul maupun melakukan pendampingan warga untuk bisa adaptasi perubahan lingkungan, sosial maupun ekonomi.

"Patok sudah ada, dipasang oleh Badan Geologi di beberapa tempat. Di antaranya di halaman Kecamatan Wonokerto, Kecamatan Wiradesa, Kecamatan Siwalan dan Desa Depok. Penurunan tanahnya sudah ada, cuman berapanya saya lupa," ungkap Yulian Akbar, Jumat (4/11).

Pihaknya juga merangkul Pemkot Pekalongan, dalam penanganan bencana banjir dan rob. Seperti yang telah dilakukan dengan menghasilkan kesepakatan bersama untuk penanganan rob, Rabu (21/09) lalu.

"Dalam kesempatan itu, dipahami, genangan banjir pada Daerah Aliran Sungai (DAS) Kupang diperkirakan akan meluas hingga mencapai 5,7 ribu ha pada tahun 2035 dan berdampak pada beberapa deşa-kelurahan yang diperkirakan akan tergenang permanen," ucapnya.

Halaman 2 dari 2


Simak Video "Video: Embun Es di Jawa, Fenomena Langka di Dataran Tinggi Dieng"
[Gambas:Video 20detik]
(aku/aku)


Hide Ads