Peran Pejuang Muda di Balik Hari Kereta Api Nasional 28 September

Peran Pejuang Muda di Balik Hari Kereta Api Nasional 28 September

Tim detikJateng - detikJateng
Rabu, 28 Sep 2022 00:01 WIB
Mengisi libur Nataru berkunjung ke Museum Kereta Ambarawa menjadi pilihan menarik. Museum itu menyediakan tur keliling Ambarawa menggunakan kereta api kuno.
Ilustrasi kereta api. Foto: Antara Foto/Fanny Octavianus
Solo -

Insan perkeretaapian di Indonesia memperingati Hari Kereta Api Nasional setiap 28 September. Latar belakang penetapan Hari Kereta Api Nasional itu tidak lepas dari masa perjuangan kemerdekaan di 1945.

Perjalanan perkeretaapian di Indonesia sebenarnya sudah sangat panjang. Sejarah itu dimulai dari pencangkulan pertama jalur kereta api Semarang-Vorstenlanden (Solo-Yogyakarta) di Desa Kemijen oleh Gubernur Jendral Hindia Belanda Mr LAJ Baron Sloet van de Beele tanggal 17 Juni 1864.

Dikutip dari laman heritage.kai.id, Pembangunan dilaksanakan oleh perusahaan swasta Nederlandsch Indische Spoorweg Maatschappij (NISM).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Sedangkan Pemerintah Hindia Belanda juga memiliki perusahaan kereta api milik pemerintah yang bernama Staatsspoorwegen (SS). Pada 1875, mereka membangun jalur pertama mereka meliputi Surabaya-Pasuruan-Malang.

Keberhasilan dua perusahaan itu mengundang investor lain untuk berbisnis di bidang yang sama. Jalur rel kereta api terus berkembang, bahkan hingga luar Jawa.

ADVERTISEMENT

Pada masa pemerintahan Hindia Belanda, selain digunakan untuk penumpang, kereta api juga berfungsi untuk mengangkut barang hasil produksi.

Kereta Api di Era Jepang

Pada 1942, Belanda menyerah kepada Jepang. Mereka harus menyerahkan aset-asetnya kepada Negara Matahari Terbit itu.

Salah satu yang turut diserahkan adalah semua fasilitas perkeretaapian yang ada di Indonesia. Jepang lantas menamakan perusahaan perkeretaapian itu dengan nama Rikuyu Sokyoku (Dinas Kereta Api).

Di era itu, peranan kereta api berubah. Jepang menggunakan sarana itu untuk kepentingan perang dan militer.

Untuk kepentingan itu Jepang membuat jalur kereta api baru, yaitu lintas Saketi-Bayah dan Muaro-Pekanbaru untuk pengangkutan hasil tambang batu bara guna menjalankan mesin-mesin perang mereka.

Namun, di masa tersebut, Indonesia juga harus kehilangan rel sepanjang 473 kilometer. Jepang membongkarnya dan mengirimkannya ke Burma untuk membangun jalur kereta api di negara tersebut.

Kisah pemuda merebut kereta api dari Jepang di halaman berikutnya

Era Kemerdekaan RI

Era kemerdekaan menjadi tonggak ditetapkannya 28 September sebagai Hari Kereta Api Nasional. Pada 28 September 1945, para pejuang muda dengan gagah berani merebut kantor pusat Rikuyu Sokyuku yang berada di Bandung.

Dikutip dari buku Sejarah Perkeretaapian Indonesia; Dulu, Kini dan Mendatang yang ditulis Hadi M Juraid dkk, perebutan stasiun sebenarnya juga terjadi secara sporadis di beberapa daerah. Sedangkan peristiwa di Bandung menjadi puncak dari perebutan aset yang dilakukan setelah proklamasi kemerdekaan tersebut.

Setelah kalah perang oleh Sekutu, pasukan Jepang belum bersedia menyerahkan asetnya kepada Indonesia. Mereka hanya akan menyerahkan asetnya itu kepada sekutu.

Hal itu membuat para pemuda yang berjuang di kereta api dan menamakan dirinya sebagai Angkatan Muda Kereta Api (AMKA) merasa khawatir. Apalagi, santer terdengar kabar bahwa Belanda akan ikut datang ke Indonesia membonceng pasukan Sekutu.

Setelah melalui perdebatan yang cukup sengit, para aktivis AMKA di Jakarta melakukan gerakan perebutan stasiun Manggarai. Gerakan yang didukung oleh masyarakat itu membuat pasukan Jepang menyerahkan stasiun itu secara damai.

Kesuksesan aksi perebutan menular ke daerah lain. AMKA juga melakukan gerakan serupa, seperti merebut Stasiun Gubeng di Surabaya dan Stasiun Poncol di Semarang.

Pada puncaknya, pada 28 September 1945, para aktivis AMKA didampingi oleh ribuan warga merebut Balai Besar atau kantor pusat yang ada di Bandung. Kehadiran ribuan massa membuat Jepang memilih menyerahkan kantor itu dengan damai.

Bendera Merah Putih lantas berkibar di kantor itu menggantikan bendera Hinomaru.

Meski Jepang menyerahkannya secara damai, suasana ketegangan tetap terasa dalam aksi tersebut. Hal itu diakui oleh Achmad Achmad Tirtosudiro dalam buku biografinya berjudul Jenderal dari Pesantren Legok: Memoar 80 Tahun Achmad Tirtosudiro.

"Alhamdulillah, akhirnya pengambilalihan DKA (Djawatan Kereta Api) berlangsung secara damai," katanya dalam buku tersebut.

"Cuma pada saat penyerahan bendera, boleh dikatakan tampaknya saja berlangsung secara damai, sebenarnya kami siap sesewaktu mengambil risiko apapun," katanya melanjutkan.

Halaman 2 dari 2
(ahr/aku)


Hide Ads