Pada tanggal ini, 77 tahun lalu, berakhir sudah pemerintahan Negeri Surakarta Hadiningrat yang bersifat kerajaan. Momen bersejarah itu ditandai oleh maklumat yang dikeluarkan Sri Sunan Pakubuwono (PB) XII pada 1 September 1945.
Dikutip dari buku Citra Pemerintahan Kota Surakarta dalam Arsip (ANRI, 2014), maklumat itu menyatakan bahwa Negeri Surakarta Hadiningrat yang bersifat kerajaan adalah Daerah Istimewa dari Negeri Republik Indonesia dan berdiri di belakang pemerintahan pusat RI.
Berikut bunyi maklumat yang ditulis dalam Bahasa Indonesia ejaan lama dan ditandatangani PB XII pada 1 September 1945:
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Maklumat PB XII, 1 September 1945
Makloemat Seri Padoeka Ingkang Sinoehoen Kandjeng Soesoehoenan kepada seloeroeh pendoedoek negeri Soerakarta Hadiningrat.
1.Kami Pakoeboewono XII, Soesoehoenan Negeri Soerakarta-Hadiningrat, jang bersifat keradjaan adalah Istimewa dari Negara Repoeblik Indonesia, dan berdiri di belakang Pemerintah Poesat Negara Repoeblik Indonesia.
2.Kami menjatakan, bahwa pada dasarnja segala kekoeasaan dalam daerah Negeri Soerakarta Hadiningrat terletak di tangan Soesoehoenan Soerakarta-Hadiningrat dengan keadaan dewasa ini, maka kekoeasaan-kekoeasaan jang sampai kini tidak di tangan kami dengan sendirinja kembali ke tangan kami.
3.Kami menyatakan, bahwa berhoebungan antara Negeri Soerakarta-Hadiningrat dengan pemerintah Poesat Negara Repoeblik Indonesia bersifat langsoeng.
4.Kami memerintahkan dan pertjaja kepada seloeroeh pendoedoek Negeri Soerakarta-Hadiningrat, meraka akan bersikap sesoeai dengan sabda kami terseboet di atas.
PB XII, Raja Berpangkat Letjen
Pakubuwono (PB) XII nama panjangnya ialah Sampeyandalem Ingkang Sinuhun Kangjeng Sri Susuhunan Pakubuwono Senopati ing Alaga Kalifatullah Ngabdurrahman Sayidin Panatagama Ingkang Jumeneng Kaping Kalihwelas ing Karatondalem Surakarta Hadiningrat.
PB XII lahir pada Selasa Legi 21 Ramadan 1343 Hijriah atau tahun Dal 1855 Jawa. Dalam penanggalan Mesehi, PB XII yang lahir dengan nama kecil BRM Suryo Guritno itu lahir pada Senin Kliwon 13 April 1925, pukul 17.00 WIB.
Mengenai piagam kedudukan Daerah Istimewa Surakarta ada di halaman selanjutnya...
"Karena dalam perhitungan Jawa pergantian hari dimulai pada pukul 14.00, maka beliau disebut lahir hari Selasa tanggal 14 April 1925," kata salah seorang putrinya, GRAy Kus Murtiyah kepada detikNews, dikutip detikJateng pada Kamis (1/9/2022).
BRM Suryo Guritno menempuh pendidikan di Eorepeesche Lagere School (ELS) Pasar Legi, Solo, dan melanjutkan ke Hogere Gurger School (HBS) Bandung. Namun, dia tak menamatkan pendidikannya di HBS Bandung karena harus dipersiapkan sebagai calon raja baru penerus takhta ayahnya, Pakubuwono XI.
Setelah mendalami banyak ilmu pemerintahan di dalam keraton sepulang dari Bandung, putra Paku Buwono XI dari istri permaisuri ini naik takhta pada 12 Juli 1945 menggantikan ayahandanya dengan gelar PB XII.
Sementara itu, pada 17 Agustus 1945, kemerdekaan Indonesia diproklamasikan oleh Bung Karno dan Bung Hatta. Sebagai raja yang baru 1 bulan 5 hari memegang tampuk kekuasaan di Kerajaan Surakarta Hadiningrat.
Piagam Kedudukan Daerah Istimewa Surakarta
Tak lama setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia dikumandangkan, 1 September 1945, raja muda yang belum genap 2 bulan berkuasa itu akhirnya dengan suka rela menyerahkan kedaulatan kerajaannya untuk bergabung dengan negara baru yang bernama Republik Indonesia.
"Pada 6 September 1945, pemerintah RI memberikan piagam kedudukan kepada Sri Sunan PB XII yang ditandatangani Presiden Soekarno pada tanggal 19 Agustus 1945 (ANRI, 2014:9).
Komitmen pemerintah Indonesia untuk menjadikan Surakarta sebagai Daerah Istimewa ditunjukkan dengan diangkatnya Panji Suroso pada 19 Oktober 1945 sebagai komisaris tinggi untuk Surakarta yang bersifat istimewa.
Pengakuan tersebut masih diperkuat lagi dengan pemberian pangkat militer Letnan Jenderal kepada PB XII pada 1 November 1945. Pada saat itu, Indonesia masih bergolak karena Belanda yang tidak merelakan kemerdekaannya dan berusaha merebut kembali dengan jalan kekerasan.
Dalam masa-masa sulit itu, PB XII aktif menyokong perjuangan fisik mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Bantuan logistik, dana, bahan pangan dari kraton pun mengalir.
Namun seiring waktu berjalan, Surakarta yang saat itu menjadi salah satu kota pergerakan paling vital di tanah air harus mengalami nasib pahit, tenggelam dalam perseteruan berdarah menghadapi gerakan massa revolusioner yang menolak swapraja.
Massa revolusioner itu mendesak penghapusan swapraja Daerah Istimewa Surakarta (DIS) untuk dinyatakan sebagai daerah biasa seperti daerah lainnya di Indonesia. PB XII pun diminta turun takhta.
Dalam perjalanan sejarah, ada yang membedakan nasib Surakarta dan Yogyakarta. Kesultanan Yogyakarta juga menyatakan mendukung RI dan mendapatkan hak istimewa, yakni Daerah Istimewa Yogyakarta. Namun di Solo terjadi gerakan-gerakan revolusi sosial bermotif antiswapraja.
Gerakan antiswapraja itu muncul pada sekitar Oktober 1945 hingga Maret 1946. Kelompok itu bahkan menculik dan membunuh Pepatih Dalem Kasunanan KRMH Sosrodiningrat.
Orang-orang yang pro terhadap gerakan antiswapraja kemudian menduduki posisi bupati. Pada Maret 1946, Pepatih Dalem yang baru yakni KRMT Yudonagoro juga diculik dan dibunuh. Pada bulan berikutnya, pejabat Kepatihan mengalami hal yang sama.
Situasi Solo menjadi kacau. Berbeda dengan Yogyakarta, yang pada Januari 1946 bahkan menjadi ibukota republik.
Daerah Istimewa Surakarta (DIS) kemudian dibubarkan lantaran banyaknya kasus penculikan dan kekerasan terhadap sejumlah pejabat Kasunanan. Pemerintah kemudian menjadikan daerah itu sebagai daerah pemerintahan residensi, karenanya terbentuklah Karesidenan Surakarta.
'Kecelakaan' lah yang membuat Surakarta kehilangan status istimewanya. Di Yogya, yang juga menyatakan bergabung dengan NKRI, gerakan antiswapraja tidak ada. Situasi di Yogya cenderung kondusif lantaran tidak ada syakwasangka atau prejudice terhadap Sultan dan Paku Alam.