Kisah Dalang Soponyono di Pati, Gamelan Bunyi Sendiri-Larangan Jual Nasi

Kisah Dalang Soponyono di Pati, Gamelan Bunyi Sendiri-Larangan Jual Nasi

Dian Utoro Aji - detikJateng
Sabtu, 26 Mar 2022 11:50 WIB
Petilasan Ki Dalang Soponyono di Desa Bakaran Wetan, Juwana, Pati, Jumat (25/3/2022).
Petilasan Ki Dalang Soponyono di Desa Bakaran Wetan, Juwana, Pati, Jumat (25/3/2022). Foto: Dian Utoro Aji/detikJateng
Pati -

Di Desa Bakaran Wetan, Kecamatan Juwana, Kabupaten Pati, Jawa Tengah, terdapat petilasan Ki Dalang Soponyono yang fenomenal banyak dikunjungi orang. Seperti apa ceritanya?

Petilasan Soponyono berada di kompleks Kantor Balai Desa Bakaran Wetan, Juwana. Jarak petilasan itu dengan pusat Kota Pati sekitar 16 kilometer. Jika ditempuh dengan kendaraan bermotor membutuhkan waktu sekitar 28 menit.

Petilasan Ki Dalang Soponyono berada dalam satu kompleks dengan petilasan Nyai Ageng yang merupakan tokoh cikal bakal desa setempat. Petilasan Soponyono berada di sisi selatan, sedangkan petilasan Nyai Ageng berada di sisi utara.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Petilasan Soponyono hingga kini masih terawat dengan baik. Terdapat seorang juru kunci yang bertugas merawat dan menjaga petilasan leluhur Desa Bakaran Wetan tersebut.

"Jadi di Bakaran Wetan ada petilasan Mbah Soponyono. Petilasan itu berupa batu. Kalau makamnya ada di Purwodadi (Kabupaten Grobogan)," kata Kepala Desa Bakaran Wetan, Wahyu Supriyo di lokasi petilasan, Jumat (25/3/2022).

ADVERTISEMENT

Menurut Wahyu, petilasan yang berupa batu itu merupakan tempat bertapa Soponyono ketika melintas di Desa Bakaran Wetan.

"Konon ceritanya itu adalah tempat beliau dulu pernah semedi, bertapa, ketika sejarahnya membawa seorang putri. Ceritanya seperti itu," ujar Wahyu.

Wahyu bercerita, Ki Soponyono merupakan dalang tersohor kala itu. Menurut cerita turun-temurun, Wahyu mengatakan, tidak ada pengrawit atau penabuh gamelan dalam tiap pertunjukan wayang Soponyono. Sebab, gamelan pengiringnya itu konon bisa berbunyi sendiri.

"Ceritanya beliau itu dijuluki dalang kondang karena dulu ada hubungannya dengan Babad Pati. Beliau bisa memainkan pertunjukan wayang tanpa yogo, atau pengrawit. Gamelan itu bisa main sendiri, konon yang memainkan adalah makhluk gaib," terang Wahyu.

"Dari mulai jejer (wayang baru dimulai), yogo itu tidak ada, dipercaya yang memainkan adalah para gaib. Ada bunyi gamelan dan selalu ramai. Ketika ada pertunjukan selalu bisa mendatangkan banyak orang," sambung dia.

Dari cerita itulah lantas banyak dalang ataupun seniman yang berkunjung ke petilasan Soponyono. Dari Ki Manteb Sudarsono hingga Anom Suroto disebut pernah mengunjungi petilasan Soponyono.

"Walaupun petilasan, banyak yang sowan ke sini, karena niatnya ngalap (mencari) berkah, terutama seniman-seniman, para dalang. Konon, siapa yang pernah main ke sini Insya Allah dalangnya bisa berkembang," jelas Wahyu.

"Mbah Manteb Sudarsono, Mbah Anom Suroto, itu kan dalang kondang dulu, mulai moncer ya setelah mendalang di Bakaran Wetan," sambung dia.

Hingga kini, petilasan tersebut masih ramai dikunjungi peziarah, terutama menjelang Ramadan.

Pada kesempatan yang sama, juru kunci petilasan, Basir Sukarno (67) mengatakan banyak warga sekitar Pati maupun luar daerah yang berkunjung ke petilasan Soponyono dan Nyai Ageng.

"Soponyono ini anak angkat dari Nyai Ageng yang merupakan tokoh cikal bakal di sini. Kalau Soponyono secara silsilah (saya) tidak tahu," kata Basir di lokasi.

Petilasan Ki Dalang Soponyono di Desa Bakaran Wetan, Juwana, Pati, Jumat (25/3/2022).Petilasan Ki Dalang Soponyono di Desa Bakaran Wetan, Juwana, Pati, Jumat (25/3/2022). Foto: Dian Utoro Aji/detikJateng

Tradisi warga setempat

Wahyu Supriyo mengatakan, ada beberapa tradisi yang dilestarikan masyarakat setempat. Mulai dari tidak boleh menjual nasi hingga membuat rumah dari batu bata warna merah.

"Kalau terkait dengan punden Nyai Ageng ini Babad Tanah Bakaran. Orang Bakaran tidak boleh jualan nasi. Kedua, tidak membangun rumah dengan bata merah. Jadi, (rumah) di Bakaran Wetan ini menggunakan bata putih. Bangun rumah pakai batu merah tidak ada yang berani," ujar Wahyu di kantornya, Jumat (25/3).

Wahyu menambahkan, warga Bakaran juga tidak menyembelih ayam saat hajatan di punden. Warga Bakaran Wetan juga memiliki tradisi mengelilingi punden.

"Ada budaya mubeng punden. Bagi siapapun yang lahir maupun orang nikah, pasti muteri (mengelilingi) punden," terang dia.

"Kalau orang selamatan di punden tidak pernah yang pernah pakai ayam. Nasi ingkung tidak ada, adanya bandeng," sambung Wahyu.

Di samping itu, ada pula beberapa pantangan yang tidak boleh dilakukan masyarakat desa yang berkaitan dengan cerita Nyai Ageng, seperti berjualan nasi.

"Dulu ketika musim kemarau, saat padi sulit, makan kesulitan, ada beras sedikit, beliau (Nyai Ageng) pernah bilang, itu besok anak putu (cucu) jangan sampai menjual nasi. Dimakan sendiri saja kurang kok dijual, begitu waktu itu. Makanya beliau bilang jangan seperti itu (berjualan nasi)," ujar Wahyu.

"Karena beliau Nyai Ageng suka dengan ayam jago, sering sambong (mengadu), (makanya) ayam tidak boleh sembelih," sambung dia.

Wahyu mengatakan, masyarakat Bakaran Wetan yang melanggar pantangan tersebut biasanya akan mendapat celaka atau musibah.

"Ini yang sudah (terjadi), semisal jualan nasi. Namanya kepercayaan, ada yang percaya dan tidak. Jualan pertama laris, tapi langsung, habis itu mungkin (kena) musibah karena sakit, ada yang meninggal," sambung Wahyu.

Juru kunci petilasan Basir Sukarno menambahkan, Desa Bakaran Wetan tidak lepas dari sosok Nyai Ageng. Menurutnya Nyai Ageng merupakan leluhur desa yang membabat alas di Bakaran Wetan.

"Nyai Ageng membabati alas kala itu. Pohon Druju itu banyak, ada durinya di pinggir sungai. Kemudian ramainya zaman dibakar-bakar, akhirnya nama desanya Bakaran," kata Basir.




(rih/dil)


Hide Ads