Memutar waktu hingga pada Kamis 2 Oktober 1950 di Tulehu, kota kecil di pantai timur Pulau Ambon, Maluku. Pagi itu Letnan Kolonel Slamet Riyadi hendak meninjau Kompi Soemitro yang tertahan di garis depan.
Sambil menenteng Owen Gun, senapan hasil rampasan dari gerakan separatis Republik Maluku Selatan (RMS), dia sendirian meninggalkan markas dengan jip.
Sebagai komandan Operasi Senopati (serangan untuk menumpas RMS) wilayah Teluhu, Letkol Slamet, tentu mahfum situasi belum aman. Pasukannya baru mendarat. Lawan masih menguasai sebagian besar Ambon. Banyak penembak jitu di lokasi strategis.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Namun, perwira menengah berumur 23 tahun itu meninggalkan ajudannya yang kelelahan. Syahdan, kekhawatiran petugas jaga markas saat melihat komandannya pergi sendirian pun terjadi. Di tengah perjalanan, Letkol Slamet diadang anggota RMS.
"Lengan kirinya terkena tembakan dari jarak sangat dekat, sekitar satu meter. Masih untung peluru tidak sampai ke tulang," kata Komandan Operasi Senopati, Kolonel Alex Kawilarang, dikutip dari buku Ignatius Slamet Riyadi: Dari Mengusir nyamuk Kempeitai Sampai Menumpas RMS (2008) karya Julius Pour.
Meski sudah tertembak, Slamet Riyadi tetap melompat dari jip dan mengejar musuhnya yang lari ke hutan. Insiden itulah yang menjadi salah satu faktor pemitosan Slamet Riyadi kebal peluru. Konon, Slamet Riyadi mempunyai kendhit atau jimat di pinggangnya.
Terlepas dari cerita jimat itu, pamor Slamet Riyadi semakin naik di mata anak buahnya. Keyakinan terhadap kelebihan pribadi Slamet Riyadi memompa semangat TNI dalam menumpas RMS.
Masa Kecil yang Ringkih
Slamet Riyadi lahir di Solo pada 26 Juli 1927 dengan nama Soekamto. Saat umurnya belum genap setahun, Soekamto terjatuh dari gendongan ibunya. Sejak itu dia tumbuh menjadi bocah yang sakit-sakitan.
Demi kesembuhan anaknya, sesuai tradisi masyarakat Jawa kala itu, Prawiropalepdo dan Soetati 'menjual' Soekamto kepada Warnenhardjo. Warnenhardjo, yang tak lain paman Soekamto, kemudian mengganti namanya menjadi Slamet. Setelah remaja, Slamet 'dibeli' kembali oleh ayahnya dan tinggal di Danukusuman, Serengan, Solo.
Lulus dari Holland Inlandse School (HIS, setara SD) Ardjoseno pada 1940, Slamet melanjutkan sekolah di Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO, setara SMP) Broederan. Meski dikenal pendiam, Slamet yang aktif dalam kepanduan dan senang berlatih pencak silat itu tak segan menantang duel teman-teman Belandanya jika rasa kebangsaannya disinggung.
Pada masa pendudukan Jepang, 1942, sekolah-sekolah Belanda ditutup. Slamet pun pindah ke Sekolah Menengah Mangkoenegaran yang kemudian menjadi SMP Negeri 2 Solo. Di sekolah baru itu Slamet mendapat tambahan nama Riyadi karena banyaknya murid yang bernama Slamet.
Slamet menempuh pendidikan militer pertamanya di sekolah pelayaran tinggi Kootoo Seinen Yoseisho, akademi kelautan di Jakarta milik pemerintah militer Jepang. Sebagai pemuda yang terbakar semangatnya untuk ikut dalam aksi-aksi revolusioner, Slamet juga banyak menimba ilmu pada tokoh pejuang senior seperti Sutan Syahrir dan lain-lain.
Sering Tirakat
Siti Sumarti (76) adalah satu-satunya keluarga yang masih menempati rumah masa kecil Slamet Riyadi di Danukusuman. Sumarti anak dari Soekati Djojowidagdo, kakak kandung Slamet Riyadi.
Dikunjungi detikcom, Kamis (16/12/2021), Sumarti menunjukkan kamar yang dulu ditempati Slamet Riyadi. Kamar itu tak pernah dibuka sampai sekarang. "Ibu pernah mengenalkan itu om kamu," kata Sumarti mengenangkan Slamet Riyadi.
Menurut Sumarti, Slamet Riyadi saat remaja sering melakoni tirakat termasuk puasa ngebleng. "Kalau ada cerita beliau kebal peluru itu ya mungkin saja. Orang-orang dulu kan suka tirakat," kata Sumarti.
Kenangan yang paling membekas di benak Sumarti yaitu saat Radio Republik Indonesia (RRI) menyiarkan berita gugurnya Slamet Riyadi dalam pertempuran melawan RMS di Ambon pada 4 November 1950.
"Pak Slamet nggak pamit kalau mau ke Ambon. Pasti nggak boleh sama simbah (ayah Slamet Riyadi), karena dia anak lelaki satu-satunya. Waktu tahu berita radio itu keluarga langsung nangis-nangis," ujar Sumarti.
Sebelum gugur, Sumarti menambahkan, Slamet Riyadi sempat pulang ke Solo untuk berziarah ke makam ibunya. "Cerita tetangga itu semalaman ada mobil jip di makam. Ya kemungkinan Pak Slamet itu yang datang," katanya.
Beberapa bulan setelah Slamet Riyadi gugur, negara memfasilitasi keluarganya untuk berziarah ke makam Slamet Riyadi di Ambon. "Saya belum pernah ke sana, tapi ibu sama simbah pernah. Saat itu yang mengantarkan Pak Gatot Subroto," katanya.
Menurut informasi dari beberapa sumber, Slamet Riyadi sempat menikah dengan Soerachmi sebelum ke Ambon. Namun, pihak keluarga belum mengetahui kepastian kabar tersebut.
"Kalau dari teman-temannya memang katanya sudah menikah sebelum ke Ambon. Tapi keluarga belum tahu benar apa nggak Pak Slamet menikah," ungkapnya.
Berjuang di Solo hingga Ambon
Menurut catatan sejarah, Slamet Riyadi menjadi komandan batalyon sejak usia belasan tahun. Dia punya andil besar dalam sejumlah pertempuran, dari perang kemerdekaan mengusir Jepang sampai operasi menumpas pemberontakan PKI Madiun, Angkatan Perang Ratu Adil (APRA) di Jawa Barat, dan RMS di Ambon.
Kecakapan Slamet Riyadi juga dibuktikan ketika memimpin Serangan Umum Empat Hari di Solo pada 7-10 Agustus 1949. Saat itu Slamet Riyadi menjabat Komandan Brigade V Divisi II sekaligus Komandan Wehkreise I (WK I) meliputi daerah Surakarta dan Madiun.
Pertempuran dahsyat yang dimenangkan pasukan Slamet Riyadi dan masyarakat Solo itu merupakan serangan Belanda yang terakhir di Indonesia.
Slamet Riyadi juga menjadi perwakilan Indonesia dalam penyerahan kedaulatan wilayah Solo oleh Belanda di Stadion Sriwedari pada 12 November 1949. Keberhasilan itu menguatkan nilai tawar Indonesia dalam Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag. Sehingga Belanda resmi menyerahkan kedaulatan Indonesia pada 27 Desember 1949.
Ketua Dewan Harian Cabang (DHC) 45 Solo, Soedjinto, mengatakan Slamet Riyadi tidak hanya berjasa dalam berbagai pertempuran. Ide, strategi perang, dan gagasan Slamet Riyadi membentuk pasukan khusus telah diwujudkan para penerusnya.
"Waktu itu namanya Kesatuan Komando (Kesko), lalu berganti jadi Korp Komando Angkatan Darat (KKAD), Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD), Komando Pasukan Sandi Yudha (Kopasandha), hingga menjadi Komando Pasukan Khusus (Kopassus)," kata Soedjinto.
Atas jasa-jasanya, Slamet Riyadi mendapatkan gelar pahlawan nasional pada 2007. Gugur dengan pangkat Letkol, Slamet Riyadi mendapatkan kenaikan pangkat dua tingkat menjadi Brigadir Jenderal Anumerta.
Soedjinto menambahkan, jenazah Brigjen Slamet Riyadi dimakamkan di Tulehu Ambon atas permintaan warga setempat. "Makamnya tetap di Ambon. Di Taman Makam Pahlawan Jurug itu hanya gumpalan tanah makamnya dari Ambon yang dibawa ke Solo," kata Soedjinto.
Selain diabadikan sebagai nama jalan raya utama di Solo dan di kota-kota besar lainnya, nama Brigjen Slamet Riyadi juga dipakai untuk nama kapal hingga Universitas Slamet Riyadi (Unisri) Solo.
(dil/sip)