Kisah Perekrutan TKI Cirebon di Zaman Dulu, Marak Culik-Lurah Bangor

Kisah Perekrutan TKI Cirebon di Zaman Dulu, Marak Culik-Lurah Bangor

Fahmi Labibinajib - detikJabar
Minggu, 27 Okt 2024 08:00 WIB
Potret kuli dari tanah Jawa di yang dikirim ke luar negeri di masa Hindia Belanda
Potret kuli dari tanah Jawa di yang dikirim ke luar negeri di masa Hindia Belanda. Foto: Arsip KITLV Universitas Leiden
Cirebon -

Di Cirebon, tenaga kerja Indonesia (TKI) atau pekerja migran Indonesia (PMI) memiliki sejarah yang cukup panjang. Catatan mengenai eksistensi pekerja Indonesia di luar negeri dapat ditemukan dalam beberapa surat kabar Hindia Belanda.

Dalam surat kabar yang terbit di masa Hindia Belanda menyebut orang yang bekerja di luar negeri masih disebut sebagai kuli, atau dalam bahasa Belanda disebut 'koelie' yang merujuk pada orang yang melakukan pekerja kasar.

Kala itu, pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan kebijakan untuk mengirim kuli atau pekerja kontrak pribumi ke wilayah yang membutuhkan banyak tenaga kerja. Rencana tersebut mulai terealisasi pada abad ke-19. Mengutip surat kabar De Locomotif edisi 2 September 1888, pada tahun 1886, Pemerintah Hindia Belanda memberangkatkan sekitar 2.337 kuli ke beberapa negara seperti Singapura, Australia dan Malaka.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Setahun setelahnya, yakni di tahun 1887, jumlah kuli yang berangkat bertambah menjadi 5.087 orang. Para kuli imigran tersebut, diambil dari berbagai macam wilayah di Hindia Belanda, termasuk Cirebon.

"Dari jumlah tersebut 3.191 berasal dari Bandjermasin (Kalimantan), 856 dari Samarang, 748 dari Pulau Bawean, 20 dari Cheribon (Cirebon) dan 12 dari Surabaya. Dari 5.087 orang, 4.150 orang berangkat ke Pantai Timur Sumatera, yang lain pergi ke Kalimantan Utara, Australia dan Negeri-Negeri Selat (Penang, Melaka, Singapura)," tulis surat kabar De Locomotif edisi 2 September 1888.

ADVERTISEMENT

Di luar negeri, mereka dipekerjakan dalam berbagai macam bidang seperti membangun jalan, menjadi tukang kayu, tukang kebun, kuli mandor, penebang kayu dan pekerjaan kasar lainnya. Para kuli imigran diupah dengan sistem gaji per bulan. Dalam satu bulan mereka mendapatkan gaji sebesar 7 sampai 10 dolar. Setelah kontraknya selesai, para imigran biasanya akan kembali ke daerah asal masing-masing dan menjadi petani.

Para kuli tersebut dikumpulkan oleh perusahaan agensi penyalur tenaga kerja di Hindia Belanda. Biasanya, mereka akan meminta bantuan kepada para kepala desa, lurah dan pejabat daerah setempat untuk mencari orang yang bisa diajak untuk bekerja di luar negeri.

Tipu Muslihat Lurah dan Maraknya Penculikan

Namun, masalah terjadi, banyak kepala desa dan lurah yang bangor mengajak warganya untuk bekerja ke luar negeri dengan cara menipu dan memasang tarif untuk membuat surat pernyataan tinggal. Salah satu kasusnya dibahas surat kabar De Locomotif edisi 19 Mei 1926. Dalam surat kabar itu menjelaskan tentang kasus yang terjadi di Cirebon.

Kala itu, kepolisian Hindia Belanda melakukan penggerebekan di daerah Cangkol, Kecamatan Lemahwungkuk, Kota Cirebon. Penggerebekan didasari atas laporan warga beberapa minggu lalu, yang menyebutkan adanya praktik perekrutan tenaga kerja atau kuli ilegal ke Singapura.

"Sekitar lima minggu yang lalu, polisi menerima informasi bahwa dalam beberapa minggu terakhir perekrutan kuli laki-laki dan perempuan secara rahasia ke Singapura meningkat tajam, dan perekrut tersebut diidentifikasi sebagai penduduk asli dari Tjangkol," tulis surat kabar De Locomotif edisi 19 Mei 1926.

Surat kabar De Tribune edisi 12 Juni 1934 menceritakan tentang nasib kuli atau TKI asal Cirebon dan daerah lainnya yang bekerja di Kaledonia Baru.Surat kabar De Tribune edisi 12 Juni 1934 menceritakan tentang nasib kuli atau TKI asal Cirebon dan daerah lainnya yang bekerja di Kaledonia Baru. Foto: Arsip Delpher/ De Tribune edisi 12 Juni 1934

Kepolisian memaparkan, meningkatnya perekrutan ilegal disebabkan ada dukungan dari para lurah dan kepala desa Lemahwungkuk. Untuk satu orang kuli yang diberangkatkan, kepala desa Lemahwungkuk akan mendapatkan upah sebesar 5 gulden per kepala. Bahkan pada saat penggerebekan di rumah kepala desa, ditemukan sekitar 60 orang kuli yang disembunyikan di dalam sebuah pondok milik kepala desa.

Para kuli tersebut menunggu untuk dikirim ke Tanjung Priok, lalu diberangkatkan ke negara tujuan di mana para kuli akan dipekerjakan. Ditemukan juga dua senapan yang tidak memiliki izin di rumah putra kepala desa. Selanjutnya, mereka dibawa ke kantor kepolisian untuk dimintai keterangan. Selain oknum kepala desa, ditemukan juga oknum perekrut yang mencari kuli dengan cara menculik dan memaksa.

Kasus lainnya adalah tentang maraknya penculikan. Anak-anak dan perempuan yang tinggal di dekat perekrutan TKI hilang pada zaman itu. Peristiwa ini kemudian dimuat dalam koran Provinciale Overijsselsche en Zwolsche courant edisi 28 Maret 1907.

"Kadang-kadang penduduk asli yang mencari istrinya yang menghilang tanpa jejak dan menemukannya di gudang perekrut. Di lain waktu ada orang tua asli yang kehilangan anak-anak mereka dan, setelah banyak pencarian, menemukan mereka di tangan perekrut," tulis surat kabar Provinciale Overijsselsche en Zwolsche courant edisi 28 Maret 1907.

Bahkan, seorang perekrut bernama Abdul Rachman Van Herklots dan seorang mantan tentara bernama Uileman dari Bandung diserang oleh masyarakat Cirebon. Diduga, kedua orang tersebut melakukan perekrutan kepada anak-anak tanpa sepengetahuan orang tua mereka.

"Penyebab penyerangan adalah balas dendam kepada Abdul Rachman, yang dengan licik merekrut perempuan muda dan anak-anak. Uileman mungkin tidak bersalah atas praktik-praktik ini. Masalah ini sedang diselidiki." Tulis surat kabar Provinciale Overijsselsche en Zwolsche courant edisi 28 Maret 1907.

Menurut para pelaku, tingginya permintaan tenaga kerja di luar negeri, yang menyebabkan mereka terdorong untuk menculik anak-anak untuk dijadikan pekerja kontrak di luar negeri. Mengutip surat kabar Provinciale Overijsselsche edisi 16 Maret 1907, Suriname yang menjadi negarakan tujuan para kuli Jawa, membutuhkan sekitar 1.100 kuli baru di tahun 1907. Padahal, beberapa tahun sebelumnya, Suriname mendapatkan kiriman kuli sebanyak 1.000 kuli.

Nasib Kuli Cirebon di Luar Negeri

Selain di Singapura, Australia, Suriname, dan Malaka, kuli dari Cirebon juga ada yang dipekerjakan di negara jajahan Perancis seperti Kaledonia Baru, sebuah negara kecil di Samudra Pasifik. Di sana, para kuli hidup dengan kondisi yang memprihatinkan, mengutip surat kabar De tribune edisi 12 Juni 1934. Selain kondisi pulau yang sedang menghadapi cuaca yang buruk, para kuli diharuskan bekerja dari jam 3 pagi sampai jam 5 sore.

Untuk satu bulan bekerja, mereka akan diberi upah 40 koin nikel, yang setara dengan 8 gulden dalam mata uang Belanda. Ada sekitar ratusan kuli Jawa yang bekerja di sana. Jika mereka melakukan tindak kekerasan seperti pemukulan atau penusukan, maka akan diberi hukuman 4 tahun penjara. Dan jika melakukan pembunuhan, mereka akan dihukum mati dengan guillotine, sebuah alat hukuman mati yang populer di Prancis.

Para kuli juga tidak diperbolehkan untuk memiliki tanah dan rumah sendiri. Mereka biasanya akan menjalani kontrak 5 sampai 15 tahun. Surat kabar tersebut menyebutkan, ketika mereka pulang ke Indonesia, raut muka para kuli tampak menyedihkan.

"Sekitar 700 kuli kontrak laki-laki dan perempuan kembali dari Kaledonia Baru, sebuah koloni Perancis. Mereka datang di Pelabuhan Tanjung-Priok. Berbeda dengan orang-orang yang kembali lebih awal, para kuli ini tampak sedih dan miskin yang kebanyakan berasal dari Cheribon, Pekalongan, Poerworedjo dan Solo," tulis surat kabar De tribune edisi 12 Juni 1934.

(sud/sud)


Hide Ads