Masyarakat Cirebon pada masa Hindia Belanda tidak hanya menghadapi wabah penyakit, tetapi juga mengalami kelaparan dan gizi buruk. Kejadian ini banyak dilaporkan di berbagai surat kabar pada masa itu.
Pada awal 1900-an, kelaparan melanda wilayah Sindanglaut, Kabupaten Cirebon. Surat kabar Het Nieuws van den Dag edisi 25 Februari 1903, melaporkan bahwa seorang pembaca menyoroti penderitaan penduduk asli di Desa Kalimati dan Limbangan yang dilanda kelaparan dan penyakit.
"Salah satu pembaca kami menyoroti keadaan menyedihkan penduduk asli di wilayah Sindang Laut, divisi Cheribon, khususnya di Desa Kalimati dan Limbangan yang menurutnya sedang dilanda penyakit dan kelaparan," tulis surat kabar Het nieuws van den dag edisi 25 Februari 1903.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Selain itu, pada tahun 1930-an, ketika krisis ekonomi global terjadi, wilayah Cirebon juga mengalami kelaparan dan gizi buruk. Arsip terbuka KITLV di Perpustakaan Universitas Leiden menyimpan foto-foto yang menggambarkan anak-anak dengan kondisi perut buncit dan tubuh kurus akibat kekurangan gizi di daerah Ciledug, Pangenan, dan Karang Sembung. Salah satu foto dari desa Plajangan menampilkan anak-anak kekurangan gizi saat inspeksi oleh Charles Olke van der Plas, Residen Cirebon.
Foto kondisi kelaparan dan gizi buruk tersebut diberi judul 'Ondervoede kinderen in de desa Plajangan ten zuidoosten van Cheribon tijdens een inspectiereis van Charles Olke van der Plas, resident van Cheribon, gedurende de economische crisis van de jaren 1930'.
Dalam bahasa Indonesia berarti anak-anak yang kekurangan gizi di Desa Plajangan di Tenggara Cirebon selama perjalanan inspeksi Charles Olke van der Plas, penduduk Cirebon selama krisis ekonomi tahun 1930 an. Bahkan surat kabar De tribune edisi 7 Agustus 1935 menyebutkan, akibat kelaparan seorang laki-laki di Cirebon pingsan di jalanan. Ternyata, setelah diselidiki, penyebab lelaki tersebut pingsan adalah karena belum makan selama lima hari.
Di beberapa tempat, kelaparan juga mendorong orang untuk bertindak kriminal. Di Pabuaran, Kabupaten Cirebon, lima puluh orang tertangkap basah akibat mengambil kayu di pabrik. Dari lima puluh orang yang tertangkap, sebanyak lima belas orang melarikan diri. Mereka mengaku sengaja mengambil kayu untuk membeli makanan, namun tidak punya uang.
Mengutip surat kabar Soerabajasch Handelsblad edisi 6 Juni 1935, dalam laporannya menyebutkan, terjadi peningkatan angka tindakan kriminal di daerah yang sedang dilanda gizi buruk. Khusus di Kabupaten Cirebon, peningkatan angka kejahatan mencapai 80%.
"Berdasarkan laporan Residen, angka kriminalitas menunjukkan peningkatan yang meresahkan di Kabupaten Cheribon sebesar 80%, Kabupaten Kuningan 8%, Indramajoe 93% dan Kabupaten Majalengka 32%. Angka-angka ini jelas menunjukkan bahwa kejahatan meningkat paling besar di kabupaten-kabupaten yang status gizi penduduknya paling buruk," tulis surat kabar surat kabar Soerabajasch Handelsblad edisi 6 Juni 1935.
Masih dalam surat kabar yang sama, menurut tinjauan dinas kesehatan Hindia Belanda (DVG) kekurangan pangan dan gizi buruk menyebabkan angka kematian yang tinggi. Gizi buruk juga mengakibatkan beberapa warga Cirebon yang ingin bermigrasi ke Lampung dan Bengkulu batal. Penyebabnya, setelah tes fisik, mayoritas orang yang akan berangkat mengidap gizi buruk.
"Fenomena yang disebut pandemi kelaparan jelas menunjukkan akibat dari kekurangan makanan. Pemerintah membantu sedapat mungkin, namun situasi kekurangan gizi seperti ini berada di luar kemampuan pemerintah mana pun," tulis De lokomotif edisi 18 Oktober 1935.
![]() |
Ada banyak faktor yang menyebabkan terjadinya kelaparan di Cirebon, seperti kondisi ekonomi yang sedang tidak menentu, minimnya lapangan kerja, dan wabah penyakit. Mengutip surat kabar Batavia Nieuwsblad edisi 13 Mei 1933, kala itu banyak pabrik gula yang berhenti beroperasi karena bangkrut akibat krisis ekonomi.
"Situasi di pabrik gula sendiri juga sangat memprihatinkan. Dari ketiga pabrik seperti 'Gempol', 'Paroengdjaja' dan 'Ardjawinangoen', hanya pabrik yang disebutkan pertama yang saat ini beroperasi. Penutupan menyebabkan, banyak pegawai yang di-PHK, akibatnya banyak rumah yang kosong. Semua itu memberikan kesan yang menyedihkan bagi orang yang lewat di kawasan gula yang dulunya makmur ini," tulis surat kabar Batavia Nieuwsblad edisi 13 Mei 1933.
Agar bisa bertahan hidup, ribuan masyarakat Cirebon yang menderita kelaparan pergi ke Kuningan untuk mencari limbah dari pabrik singkong dan umbi-umbian hutan untuk dimakan.
Dalam surat kabar Soerabajasch Handelsblad edisi 8 Juni 1935, dalam kajian gizi yang dilakukan pemerintah menyebutkan, karena keterbatasan jumlah makanan, penduduk Cirebon hanya memakan sedikit nasi yang dicampur dengan umbi-umbian hutan. Dalam sehari, penduduk Cirebon hanya makan sekali. Tak jarang, karena penggunaan makanan yang tidak tepat, makanan yang dikonsumsi juga menyebabkan keracunan.
"Cheribon disebut "daerah kelaparan". Di wilayah ini terdapat ratusan orang yang hanya makan nasi dua hari sekali, bahkan ada pula yang tidak makan sampai tiga dan empat hari. Sehingga pemerintah terpaksa memberitahukan kepada masyarakat untuk menyediakan makanan," tulis surat kabar De tribune 19 juni 1936.
Karena gizi buruk, menjadikan produktivitas masyarakat Cirebon juga menurun saat bekerja. Dalam surat kabar Soerabajasch Handelsblad edisi 11 Desember 1935 menyebutkan, para pekerja di pabrik gula Kadipaten dan Niews Tersana Cirebon mengalami gizi buruk. Hal ini menyebabkan upah mereka dikurangi hingga 50 persen.
"Biasanya orang yang sehat bisa mendapat penghasilan 12 sampai 15 sen sehari. Namun, ternyata banyak yang mengalami kekurangan gizi sehingga mereka hanya dapat melakukan sedikit pekerjaan tanah yang berat, sehingga penghasilan per hari hanya berjumlah 6 sen," tulis Soerabajasch Handelsblad 11 Desember 1935.
Masyarakat Cirebon juga tidak lagi melakukan berbagai macam tradisi saat hari raya seperti, menyalakan kembang api, menyembelih kambing atau sapi, dan mengadakan selamatan, bahkan penduduk Cirebon juga merayakan lebaran tanpa memakai sehelai pakaian baru. Kala itu, dalam surat kabar Soerabajasch Handelsblad edisi 12 Mei 1936 menyebutkan, ratusan ribu orang tidak memiliki harta benda dan juga terjebak utang.
Meski belum maksimal, pemerintah Hindia Belanda melakukan berbagai macam upaya untuk mencegah gizi buruk, salah satunya dengan membagikan beras dan lauk kepada para penduduk. Dalam kurun waktu tahun 1935 - 1936 pemerintah memberikan ribuan ton beras kepada para penduduk Cirebon.
"Melalui langkah-langkah ini, yang memastikan bahwa bantuan yang tersedia didistribusikan selengkap mungkin di desa-desa dan kepada masyarakat yang membutuhkan, malnutrisi dapat dicegah atau diatasi," tulis surat kabar Indische courant edisi 1 April 1936.
Tidak hanya di Cirebon, kelaparan juga banyak terjadi di berbagai macam kota di Jawa. Meski begitu, menteri ekonomi Belanda, Walter, menyangkal hal tersebut dan menyebutkan tidak akan pernah ada yang kelaparan di bawah Hindia Belanda.
"Tidak ada kelaparan di Hindia Belanda di bawah bendera Belanda !" kata Menteri Welter. Jika Pak Welter berusaha membaca pemberitaan di pers Indonesia, dia akan melihat banyak orang yang menderita kelaparan setiap hari, misalnya di Indonesia. Bojonegoro, Cheribon , Sumatera Barat, Bogor, Tangerang, Pekalongan, Sumedang, dll. Bahkan ada penyakit baru yang muncul bernama penyebab kelaparan," tulis surat kabar Volksdagblad edisi 21 September 1939.
Menurut surat kabar De tribune 19 juni 1936, lewat pernyataan menteri Walter, menunjukan pemerintah Hindia Belanda sedang menjadi penindas dan penjajah, tanpa memperdulikan kondisi penduduk negara jajahan.
"Dan sekarang kami hanya menulis tentang fenomena kelaparan saja , semuanya terkait dengan fakta bahwa negara Indonesia sedang dijajah dan dikuras sumber dayanya demi kepentingan penindas," tulis De tribune 19 juni 1936.
(iqk/iqk)