Cirebon memiliki sejumlah pabrik gula yang banyak menyimpan sejarah dalam perjalanannnya. Salah satunya pabrik gula Karangsoewoeng (Karangsuwung) yang berlokasi di Desa Karangsuwung, Kecamatan Karangsembung, Kabupaten Cirebon, Jawa Barat.
Dari data yang berhasil dihimpun detikJabar dari Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Kabupaten Cirebon, pabrik gula ini didirikan pada tahun 1867 oleh kelguarga besar Hubertus Paulus Hoevenaar yang merupakan pemilik dari Maatschappij tot exploitatie der suikerfabrieken Karangsoewoeng, Adiwerna en Djatibarang.
Diketahui bila Adiwerna sendiri merupakan pabrik gula dengan nama lain pabrik gula Oejoengroesi di wilayah Slawi Tegal dan pabrik gula Jatibarang di Kabupaten Brebes yang popular dengan sebutan 'Hoevenaar Concern' dengan luasan lahan awal seluas 900 bouw atau 720 hektar.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kemudian pada tahun 1883-1885 terjadi suatu krisis yang mengakibatkan industri gula di Hindia Belanda terkena dampaknya. Krisis ini diakibatkan oleh adanya pembatasan impor gula oleh Napoleon Bonaparte yang menciptakan pembatasan hubungan antara Eropa daratan dengan dunia luar. Terlebih lagi di saat itu Industri gula di Hindia Belanda juga terpukul akibat Wabah penyakit Sereh yang melanda di hampir seluruh perkebunan tebu di Jawa.
Di tahun 1896 sama seperti pabrik gula swasta perorangan lainnya, keluarga Hoevenaar ini juga mendapat permodalan dari NILM (Nederlandsch Indie Landbouw Maatschapij) sebanyak 360.000 guilder/Gulden guna pengembangan usahanya. Sehingga untuk nama pabrik gula Karangsoewoeng berubah menjadi NV. Mij Tot Exploitatie der Suiker Onderneming Karangsoewoeng.
Selanjutnya pihak pemodal kemudian menempatkan perwakilannya yaitu NV. Koey en Coester Van Voorhout untuk mengurus perdagangan gula milik keluarga Hoevenaar.
![]() |
Pada tahun 1901 untuk menambah permodalan akibat krisis gula internasional maka diterbitkanlah saham untuk pengembangan permodalan bagi pabrik gula Adiwerna, Djatibarang dan Karangsoewoeng ini.
Selanjutnya pada tahun 1929 - 1939 kembali terjadi krisis ekonomi internasional atau dikenal dengan zaman malaise yang membuat produksi gula disejumlah pabrik gula juga ikut terimbas dampaknya, ditambah lagi adanya ketentuan dari Pemerintahan Kerajaan Belanda yang ikut menandatangani deklarasi Chadbourne yang membatasi ekspor gula Hindia Belanda ke pasar internasional.
Sehingga saat itu pemerintah Belanda membentuk suatu badan yang bernama NIVAS (Nederlandsch Indie Veregningde Voor de Afset Van Suiker" yang mewajibkan semua produsen gula se Hindia Belanda menjual produknya kepada NIVAS dan tunduk terhadap peraturan yang dibuat oleh NIVAS tersebut sehingga menambah berat bagi produsen-produsen gula lainnya termasuk juga NILM beserta pabrik gula yang ada di bawah NIVAS.
Setelah itu pada tahun 1932 pihak NILM membeli pabrik gula Jatipiring dari keluarga Kwee dan lahannya sampai dengan saat ini masih dikuasai oleh PT PG Rajawali II yang digunakan untuk kebun tebu dan sisa lahanya dikembalikan ke Negara Republik Indonesia pada tahun 1960 an (berlakunya UU Agraria Republik Indonesia).
Pada tahun 1943 di zaman penjajahan Jepang, pabrik gula Karangsoewoeng diambil alih dan manajemennya dioperasikan oleh Meiji Seito Co, Ltd yang ditunjuk oleh GUNSEIKANBU (Pemerintahan Militer Jepang ) di eks Hindia Belanda dan terjadi suatu peristiwa dimana salah seorang staff pabrik gula Karangsoewoeng yang bernama Dunmaglass Henry DonaId Mac Gillavry di eksekusi pada tanggal 22 Februari 1945 oleh Kempetai Jepang dikarenakan dituduh terlibat dalam upaya sabotase di wilayah Cirebon.
Berikut perjalanan sejarah pabrik gula Karangsoewoeng pasca kemerdekaan RI.
- Tahun 1947 Belanda melaksanakan operasi pengambilalihan unit-unit usaha milik pengusaha Belanda terutama perkebunan-perkebunan tebu dengan pabrik gulannya dengan nama sandi Operasi Product (Aksi Polisionil I) atau dikenal dengan Agresi Militer I bagi Indonesia, dan berhasil merebut kembali pabrik gula Karangsoewoeng dari tangan Indonesia.
- Tahun 1950 sebagai konsekuensi Perjanjian Meja Bundar, maka pabrik gula Karangsoewoeng dikembalikan kepada pemilik semula.
- Tahun 1958 sesuai dengan UU No. 86 Tahun 1958 pabrik gula Karangsoewoeng menjadi bagian dari Obyek Nasionalisasi Perusahaan-perusahaan milik Belanda oleh Pemerintah Republik Indonesia.
- Tahun 1959, pabrik gula Karangsoewoeng ditetapkan menjadi obyek perusahaan yang ditetapkan terkena Nasionalisasi dengan urutan nomor 20 sesuai dengan PP No. 19 Tahun 1959.
![]() |
- Tahun 1961, pabrik gula Karangsoewoeng menjadi bagian dari Perusahaan Perkebunan Negara (PPN) Kesatuan Djabar VI sesuai dengan Peraturan Pemerintah No.159 tahun 1961.
- Tahun 1963 PPN Kesatuan Djabar VI dibubarkan dan digantikan menjadi PPGN (Perusahaan Perkebunan Gula Negara) dimana pabrik gula Karangsoewoeng menjadi bagiannya dengan nomor urut 44 dan dipimpin oleh seorang Direktur sesuai dengan Peraturan Pemerintah No. 1 tahun 1963.
- Tahun 1968 pabrik gula Karangsoewoeng menjadi bagian dari Perusahaan Negara Perkebunan (PNP) XIV sesuai dengan Peraturan Pemerintah No. 14 Tahun 1968.
- Tahun 1981 pabrik gula Karangsoewoeng menjadi bagian dari Perseroan Terbatas Perkebunan (PTP) XIV sesuai dengan Peraturan Pemerintah No. 14 Tahun 1968.
- Tahun 1993 Perseroan Terbatas Perkebunan (PTP) XIV menjadi anak perusahaan PT Rajawali Nusantara Indonesia sesuai dengan Peraturan Pemerintah No. 1 Tahun 1993 dimana pabrik gula Karangsoewoeng menjadi bagian dari unit usaha PT Rajawali Nusantara Indonesia di bawah pengelolaan PTP XIV (Persero).
- Tahun 1996 pabrik gula Karangsoewoeng menjadi bagian dari unit usaha PT PG Rajawali II sesuai dengan Akta Notaris Soetjipto SH No. 94 tanggal 28 Agustus tahun 1996 perihal perubahan anggaran dasar PTP XIV (Persero).
- Tahun 2014 Unit pabrik gula Karangsoewoeng di non aktifkan sampai dengan saat ini dan menjadi bagian dari program optimalisasi aset PT PG Rajawali II.
(dir/dir)