Sumiyati (46) tampak asyik merangkai anyaman bambu bersama tetangganya di depan teras rumahnya. Kepalanya menunduk khusyuk sementara tangannya begitu terampil mengikuti sebuah pola.
Ia diketahui sedang membuat sebuah boboko (bakul nasi). Profesinya itu telah ditekuninya sejak dirinya duduk di bangku Kelas 4 Sekolah Dasar (SD).
Keahlian Sumiyati dalam hal anyaman bambu telah menjadi tradisi di lingkungan tempat tinggalnya. Sebab, kampungnya itu sudah dari dulu memang dikenal dengan sebutan kampung boboko.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Beragam kerajinan anyaman bambu dihasilkan dari kampung ini, sebut saja seperti nyiru (tampah), boboko, aseupan (kukusan), tapir, hihid (kipas), ayakan (saringan) dan kerajinan bambu lainnya. Nama kampungnya adalah Dusun Awilega, Desa Genteng, Kecamatan Sukasari, Kabupaten Sumedang.
Sumiyati menyebut, dalam tiga hari ia mampu membuat boboko berukuran kecil sebanyak 10 buah. Sementara boboko berukuran besar pada kisaran 3 sampai 5 buah.
"Dalam satu batang gelondong bambu bisa menghasilkan sekitar tiga puluh buah boboko," ujarnya.
Boboko yang dibuatnya itu dihargai dari mulai Rp8.000,00 sampai Rp20.000,00.
"Boboko yang dibuat kadang disetorkan langsung ke bandar tapi kadang juga didagangkan sendiri dengan cara diedarkan," ungkap Sumiyati.
Sumiyati mengungkapkan, kerajinan anyaman bambu telah menjadi mata pencaharian bagi warga Dusun Awilega. Sebab, kerajinan bambu telah mengakar secara turun temurun bagi penduduk yang tinggal di dalamnya.
Begitu pun dengan Sumiyati. Ia piawai membuat anyaman bambu lantaran dulunya sering membantu orang tuanya saat sedang membuat boboko.
"Iya di sini mah semuanya rata-rata menekuni akan anyaman bambu, salah satunya bikin boboko," ujarnya.
![]() |
Meski keuntungannya tidak terlalu besar, tapi diakui Sumiyati bahwa kerajinan anyaman bambu khususnya boboko telah menjadi penopang ekonomi bagi warga.
"Dalam satu gelondongan bambu, itu kalau jadi semuanya atau 30 buah boboko (dalam 10 hari), itu menghasilkan keuntungan kotor (omzet) sebesar Rp300.000,00," ujar ibu dari satu orang anak yang kini telah dikaruniai satu orang cucu tersebut.
Hal sedikit berbeda diutarakan oleh Titi (50). Ia yang merupakan warga pendatang mengaku jadi piawai dalam anyaman bambu lantaran terbawa oleh kebiasaan Warga Dusun Awilega yang rata-rata berprofesi sebagai penganyam bambu.
"Saya sebenarnya pindahan dari Rancakalong (Sumedang) ikut suami ke sini sudah sekitar 23 tahun, jadi bisa anyaman bambu berawal dari ikut-ikut warga sini dan akhirnya jadi terampil juga," ujarnya.
Bagi Titi, kini anyaman bambu telah menjadi salah satu sumber pendapatan bagi keluarganya.
"Anak saya dua, satunya kerja di daerah Cilembu dan ini anak saya satunya ikut menganyam bambu," kata Titi sambil menunjuk seorang perempuan yang ada di sampingnya.
(yum/yum)