Salah satunya dirasakan Guru Besar Ilmu Linguistik Universitas Padjajaran (Unpad) Prof Cece Sobarna. Kata dia, pengolahan masakan terutama nasi menggunakan alat-alat tradisional itu selalu memiliki cita rasa khas yang tidak bisa ditemukan jika dimasak menggunakan peralatan modern.
"Kalau saya, jujur ada kerinduan yang sangat dalam. Seiring dengan usia, dulu rasanya kalau orang tua saya bilang mau makan yang enak, mereka itu milihnya pergi ke kampung. Tadinya saya masih aneh, toh nasi mah kan sama saja yah, kenapa mesti pergi ke kampung. Tapi sekarang mah kerasa, ternyata kalau nasi yang diakeul itu beda dengan yang di magicom," kata Prof Cece, Minggu (12/2/2023).
Sekadar diketahui, nyiru atau nampan bambu merupakan alat untuk mengayak padi yang sudah ditumbuk atau digiling, bertujuan memisahkan bulir beras dengan ampas kulitnya.
Sementara itu, aseupan merupakan alat tradisional dari bambu untuk memasak nasi. Alat ini menjadi wadah beras yang dimasak menjadi nasi. Biasanya alat ini disimpan di dalam seeng atau dandang yang disimpan di atas tumpu api.
Selanjutnya, boboko atau bakul merupakan tempat menyimpan nasi yang sudah matang. Bahkan di restoran tradisional pun kerap menyajikan nasi dengan boboko sebagai wadahnya.
Bagi Prof Cece, nasi yang diolah menggunakan aseupan lalu disimpan di boboko memiliki aroma, tekstur dan rasa yang berbeda jika diolah menggunakan magicom. Bahkan, ia masih ingat, nasi yang dinanak pakai alat tradisional itu bisa mengenyangkan perut yang bertahan dari pagi hingga siang.
"Jadi lebih pepel kalau kata orang sunda mah kalau masaknya diakeul. Jadi kalau buat sarapan, masih bisa bertahan sampai siang. Kalau nasi magicom kan lebih cepat lapar. Aromanya, rasa, tekstur, kelezatannya itu beda yang saya rasakan kalau pakai alat-alat yang sekarang," ucapnya.
Prof Cece pun berharap masyarakat di pedesaan bisa untuk mempertahankan penggunaan alat-alat tradisional. Sebab terkadang, jika ia ingin healing melepas penat pekerjaan, Prof Cece biasanya bepergian ke perkampungan dan mencari rumah-rumah yang masih mengolah makanan menggunakan alat tradisional tersebut.
"Kalau saya ingin di wilayah pedesaan masih mempertahankan teknologi tradisional, jangan terpengaruh oleh teknologi modern. Karena bagaimana pun juga, orang kota yang pernah merasakan situasi desa, biasanya akan merindukan itu. Dan kalau tidak ada lagi, kita ke mana mencarinya," tuturnya.
"Kalau saya sudah jenuh, saya pasti berkeliling ke perkampungan, dengan syarat rumahnya masih panggung, kalau bisa, terus dapurnya masih pakai hawu. Jadi kalau mau healing, pasti mencari tempat seperti itu. Nah di sini kita harus memberi pemahaman kepada masyarakat bahwa yang tradisional itu bukan berarti ketinggalan zaman," pungkasnya. (ral/yum)