Sekelumit Kisah Magicom di 'Negeri Singkong' Cireundeu

Sekelumit Kisah Magicom di 'Negeri Singkong' Cireundeu

Whisnu Pradana - detikJabar
Sabtu, 11 Feb 2023 08:58 WIB
Magicom yang kini ada di rumah sejumlah warga di Kampung Adat Cireundeu.
Magicom yang kini ada di rumah sejumlah warga di Kampung Adat Cireundeu. (Foto: Whisnu Pradana/detikJabar)
Cimahi -

Singkong punya tempat khusus di hati masyarakat Kampung Adat Cireundeu, sebuah kampung adat tersembunyi di kaki deretan perbukitan di selatan Kota Cimahi, Jawa Barat.

Sejak 1918, masyarakat Kampung Adat Cireundeu mengganti peran beras padi yang lumrah sebagai makanan pokok pribumi dengan singkong atau lazim disebut sampeu di tanah Pasundan.

Ais Pangampih Kampung Adat Cireundeu, Abah Widiya, menjelaskan secara singkat jika konsumsi singkong menggantikan peran beras untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari ada kaitannya dengan tuntunan leluhur Kampung Adat Cireundeu yang pernah mengalami pahit getir di masa penjajahan.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Jika berbicara makanan pokok rasi (beras dari singkong) dan beras bukan hal yang baru. Abah berbicara zaman dahulu, nenek moyang sesepuh abah, makannya rasi atau beras," kata Abah Widi saat berbincang dengan detikJabar, belum lama ini.

"Tapi kalau dibalikkan ke asal-usul, di situ juga ada tuntunan. Kita (Indonesia) pernah dijajah, yang akhirnya mengakibatkan kekurangan makanan. Nah sesepuh ini mencari makanan alternatif pengganti beras itu apa dan didapatlah singkong atau sampeu ini," ucap Abah Widi.

ADVERTISEMENT
Nasi singkong yang biasa dimakan warga di Kampung Adat Cireundeu.Nasi singkong yang biasa dimakan warga di Kampung Adat Cireundeu. (Foto: Whisnu Pradana/detikJabar)

Alam sudah menyediakan semua kebutuhan manusia. Ketika kondisi tak seperti biasanya, kata Abah Widi, maka manusia tinggal berpikir dan mencari. Singkong bukan tanda tak punya sawah, singkong bukan ciri orang tak mampu, namun singkong hadiah alam agar manusia tak ketergantungan.

"Cireundeu itu bukan miskin, bukan tidak bisa beli beras, bukan tidak punya sawah. Tapi di dalamnya, ada sebuah tuntunan bukan hanya untuk Cireundeu tapi untuk masyarakat yang ada di negara kita. Dari singkong, leluhur menyampaikan jangan sampai ketergantungan dengan namanya beras," tutur Abah Widi.

Alasan warga adat masih setia untuk mengonsumsi rasi, juga berkaitan dengan hukum adat. Hukum tak tertulis yang mengikat mereka yang lahir di dalam kampung adat. Pun demikian saat warga Kampung Adat Cireundeu mau beralih mengonsumsi beras.

"Kalau kita beralih sembarangan, ada yang namanya pamali. Kalau ingin beralih makan nasi ya harus ada ritual atau selamatan yang bertujuan menolak bala dan pamali agar makanan yang masuk ke tubuh kita tidak menjadi penyakit," kata Abah Widi.

Warga Kampung Adat Cireundeu yang berjumlah 400 kepala keluarga (KK), juga tak boleh sembunyi-sembunyi jika ingin beralih mengonsumsi nasi.

"Harus terbuka karena di sini ada sesepuh dan keluarga, tinggal bicara saja, nggak masalah dan tidak akan dapat hukuman karena apapun yang diciptakan oleh Yang Maha Kuasa itu untuk kebutuhan kehidupan," tutur Abah Widi.

Magicom dan Beras di Kampung Adat Cireundeu

Ada cerita lain terselip di antara kentalnya tradisi mengonsumsi beras singkong dan segala olahannya. Erat kaitannya dengan sebagian masyarakat di Kampung Adat Cireundeu yang mulai mengonsumsi beras padi atau olahannya berbentuk nasi.

Berdasarkan penuturan Abah Widi, kini sekitar 50 persen masyarakat Kampung Adat Cireundeu sudah mengonsumsi beras padi. Memang, kebanyakan merupakan mereka yang datang dari luar atau menikahi orang 'Cireundeu'.

"Ada yang makan nasi, bahkan menantu dan cucu abah juga makannya nasi (beras padi). Ya itu kan pilihan, tapi kalau abah, istri, dan anak-anak sejak zaman dulu makannya rasi sesuai tuntunan leluhur," ujar Abah Widi.

Di dapur sederhana miliknya, bercokol sebuah magicom berwarna merah hati. Namun hal itu tak membuatnya khawatir kalau tradisi mengonsumsi singkong dan berbagai olahannya bakal terkikis seiring perkembangan zaman.

"Bagi abah, untuk orang Cireundeu yang makan beras itu nggak ada masalah karena itu kan kebutuhan orang kebanyakan. Kalau kita baca dari bahasa kirata (kiasan), pare itu dari 'parab anu rea (makanan yang banyak)' berbicara sampeu itu 'sampeureun', tidak jadi masalah untuk yang makan beras, silakan makan," tuturnya.

"Tapi intinya abah menyampaikan bahwa abah tidak bisa memaksakan siapapun makan singkong. Silakan makan beras kalau beras masih ada, sawah masih ada, itu silakan. Tapi mindset kita tetap harus diubah supaya tidak sampai ketergantungan," kata Abah Widi menambahkan.

Sopiah (41), merupakan satu di antara sekian banyak masyarakat Kampung Adat Cireundeu yang mengonsumsi rasi. Namun suami dan anaknya mengonsumsi nasi. Apalagi sang suami berasal dari luar Kampung Adat Cireundeu.

"Pernah coba, tapi katanya nggak cocok. Nggak kenyang kalau makannya sampeu (singkong). Ya saya nggak bisa maksa, karena kan dia bukan asli dari sini. Anak juga gitu, saya nggak maksa juga harus ikut makan rasi," ucap Sopiah.

Sopiah sendiri tetap menjaga komitmennya sebagai masyarakat Kampung Adat Cireundeu yang punya tradisi panjang mengonsumsi sampeu sebagai pengganti beras.

"Kalau saya ya tetap mengonsumsi rasi, sudah terbiasa juga kan dari kecil. Sampai sekarang belum ada kepikiran mau beralih makan nasi, kecuali memang sampeu sudah nggak ada. Itu juga saya harus patuh sama hukum adat, selamatan dulu," tutur Sopiah.

Bagi Sopiah, mengonsumsi rasi ternyata banyak manfaatnya. Hal itu ia dengar langsung dari pengunjung yang datang ke Kampung Adat Cireundeu demi membeli beras singkong.

"Kalau beras kan tinggi gula, makanya banyak yang beli rasi itu orang-orang yang diabetes. Katanya makan singkong bisa menurunkan gula darah juga. Sedangkan saya sejak kecil sudah mengonsumsi rasi juga kan," ujar Sopiah.

Halaman 2 dari 2
(iqk/orb)


Hide Ads