Kelurahan Leuwigajah, Kecamatan Cimahi Selatan, Kota Cimahi, menjadi daerah di Bandung Raya yang kondisi air tanahnya kritis lantaran eksploitasi besar-besaran oleh rumah tangga dan industri.
Berdasarkan hasil kajian Pusat Air Tanah dan Geologi Tata Lingkungan (PATGL) Badan Geologi, kondisi muka air tanah di Bandung Raya kritis dibuktikan dengan penurunan muka air tanah sekitar 60 meter hingga 100 meter.
Namun, kondisi itu nampaknya tak dirasakan oleh Yanti (41). Ibu dua anak warga Kampung Adat Cireundeu, Kelurahan Leuwigajah, Kecamatan Cimahi Selatan, Kota Cimahi.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Alhamdulillah kalau air selalu ada. Soalnya saya nggak pakai ledeng atau air sumur tapi dari mata air," ujar Yanti saat berbincang dengan detikJabar di kediamannya, Kamis (2/2/2023).
Mata air yang jadi sumber kehidupan Yanti dan keluarga berasal disebut sebagai 'Mata Air Puncak Salam' dari barisan gunung yang mengelilingi Kampung Adat Cireundeu. Mata air itu telah memenuhi segala kebutuhan Yanti dan keluarga sejak puluhan tahun lalu, mengingat Yanti merupakan penduduk asli kampung adat tersebut.
"Jadi dari Puncak Salam, ada mata air. Alhamdulillah tidak pernah sampai kekeringan. Airnya juga jernih kalau dibandingkan sama air sumur," ucap Yanti.
Yanti menyebut ia sudah puluhan tahun menggunakan air dari sumber tersebut. Semua keperluan rumah tangganya seperti memasak, mandi, hingga mencuci menggunakan air dari mata air tersebut.
"Semua, buat masak juga saya pakai air dari sini. Kalau di sini sebagian kan ada yang pakai air galon. Tapi kalau saya dari dulu itu ya pakai air (dari sumber mata air). Alhamdulillah sehat sampai sekarang karena ya memang airnya juga bersih," tutur Yanti.
Untuk mengalirkan air dari mata air ke kamar mandi di rumahnya, Yanti mengeluarkan modal hampir Rp1 juta untuk membeli selang. Selang itu disambungkan dari bak penampungan yang dibuat warga agar bisa mengalir ke setiap rumah di kawasan tersebut.
"Jadi terakhir beberapa tahun lalu Rp1 juta buat beli selang sama paralon, tapi kalau sekarang ya mungkin sudah naik lagi harganya. Soalnya memang panjang juga, terus kalau sudah nggak bagus selangnya itu harus diganti lagi," kata Yanti.
Yanti mengatakan posisi rumahnya dan beberapa rumah lainnya yang ada di titik teratas permukiman Kampung Adat Cireundeu tidak ada sumber air lain. Misalnya dari pengeboran dengan kedalaman puluhan meter namun kontur tanah yang berbatu.
"Jadi kalau ledeng sama sumur galian itu nggak bisa, soalnya ledeng nggak ada ke sini. Kalau sumur galian itu pernah ada yang coba, tapi airnya nggak keluar," kata Yanti.
Sudah Digunakan Turun Temurun
Tak hanya Yanti, warga lainnya Dede (47) juga menjadi pengguna setia air dari mata air yang ada di kawasan Kampung Adat Cireundeu. Berbeda dengan Yanti, Dede menggunakan air dari sirah cai atau mata air kaki Gunung Gajah Langu.
"Kalau saya turun temurun, jadi sebelum saya orangtua sudah pakai mata air itu. Dialirkan pakai paralon ke rumah. Alhamdulillah selalu ngalir selama puluhan tahun," kata Dede.
Sewajarnya air yang disediakan alam, debitnya bakal mengecil tatkala kemarau namun tak pernah sampai benar-benar kering. Keluhan dari penggunaan air itu, hanya tatkala bak penampungan tersumbat lumpur saat hujan dan dedaunan saat kemarau.
"Paling itu aja, harus dibersihkan bak sama selangnya kalau musim hujan. Terus daunnya itu menutupi selang juga kalau kemarau seperti sekarang. Ya seminggu sekali harus naik ke sumber buat bersih-bersih sama warga lainnya," kata Dede.
(mso/mso)