Masyarakat sedang dihadapkan pada mahalnya harga beras. Sama halnya seperti di Kota Cimahi, harga kebutuhan pokok masyarakat itu meroket sejak beberapa pekan terakhir.
Misalnya di Pasar Antri sebagai pasar tradisional terbesar di Cimahi, harga beras premium yang awalnya hanya Rp 10.500 per kilogram, kini menjadi Rp 13.000 per kilogram. Sedangkan untuk harga beras medium sudah menyentuh harga Rp 11.500 hingga Rp 12.000 per kilogram.
Bagi sebagian orang, naiknya harga beras menjadi masalah serius. Namun bagi kelompok kecil masyarakat, naik atau turunnya harga beras tak memberikan dampak apa-apa.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Beras sebagai makanan pokok orang Indonesia, ternyata digantikan singkong. Hal itu dilakukan kelompok kecil masyarakat Kampung Adat Cireundeu, sebuah kampung adat di pelosok Kota Cimahi, tepatnya di kelurahan Leuwigajah, Kecamatan Cimahi Selatan.
Di sini, dulu warganya mengonsumsi singkong sebagai makanan pokoknya. Hal itu berlangsung turun-temurun. Mereka biasanya makan rasi alias beras yang terbuat dari singkong.
"Kalau emak dari dulu, sudah turun-temurun masih makan rasi (beras singkong). Jadi sekarang beras mahal juga ya emak tidak terpengaruh," kata Atikah (72), salah seorang warga berusia lanjut di Kampung Adat Cireundeu saat berbincang dengan detikJabar, belum lama ini.
Atikah bercerita jika orang tuanya mengonsumsi rasi. Kebiasaan itu akhirnya diturunkan kepadanya dan berlanjut sampai ke anaknya. Ini sebagai upaya menjaga tradisi dan pesan dari leluhur agar tak ketergantungan terhadap beras.
"Semuanya (keluarga) makan rasi, kalau saya makan rasi sejak lahir tahun 1950. Kalau orangtua sejak tahun 1918 atau sudah 100 tahun lebih makan rasi dan sama sekali belum pernah makan nasi," ujar Atikah.
![]() |
Seperti Atikah, warga Kampung Adat Cireundeu lainnya, Sopiah (41), juga mengonsumsi rasi. Sehingga saat harga beras sedang melonjak seperti sekarang, ia tak ambil pusing.
"Saya ya sejak kecil memang makannya rasi, soalnya orang tua juga kan makan rasi. Nggak pernah kepikiran juga mau makan beras," ucap Sopiah.
Namun anak dan suaminya tak mengikuti jejaknya dan keluarga besar di Kampung Adat Cireundeu mengonsumsi rasi. Keduanya lebih memilih mengonsumsi beras, apalagi sang suami berasal dari luar Kampung Adat Cireundeu.
"Pernah coba (makan rasi), tapi katanya nggak cocok. Nggak kenyang kalau makannya sampeu (singkong). Ya saya nggak bisa maksa, karena kan dia bukan asli dari sini. Anak juga gitu, saya nggak maksa juga harus ikut makan rasi," tutur Sopiah.
Sejarah Panjang Rasi di Kampung Adat Cireundeu
Singkong atau bagi masyarakat Sunda disebut sampeu, punya sejarah panjang mengiringi perjalanan Kampung Adat Cireundeu. Tradisi mengonsumsi singkong dalam berbagai olahannya, dilakukan turun-temurun oleh masyarakat di kampung tersebut.
Ais Pangampih Kampung Adat Cireundeu, Abah Widiya menyebut tradisi mengonsumsi singkong untuk memenuhi kebutuhan pangan setiap hari telah berjalan sejak tahun 1918. Hingga saat ini, mereka sama sekali tak pernah mengonsumsi beras.
"Kebiasaan itu awalnya dari tahun 1918, jadi baru sekitar 100 tahun lebih. Tujuan dari leluhur kami itu lebih ke sebuah tuntunan supaya tidak ketergantungan (kepada beras)," ujar Abah Widiya kepada detikJabar, belum lama ini.
Abah Widiya menyebut leluhur mereka sudah berpikir lebih maju beberapa langkah dibanding dengan masyarakat modern saat ini. Sebab seolah-olah tahu jika kelak masyarakat bakal ketergantungan pada beras. Itu dibuktikan dengan harga yang melonjak dan kebiasaan pemerintah mengimpor beras dari luar negeri kala ketersediaan di dalam negeri sedang defisit.
Abah Widi menjelaskan langkah pemerintah mengimpor beras sebagai makanan pokok masyarakat yang seolah-olah tak bisa digantikan, dilandasi kekhawatiran akan terjadinya krisis pangan di Tanah Air.
![]() |
"Pemerintah impor beras karena ada kekhawatiran rakyat kelaparan. Padahal kalau bercerita soal alam, nggak mungkin ada manusia kelaparan. Cuma harus mengubah mindset dan pola kehidupan karena manusia tidak pernah menolak makanan apapun," ucap Abah Widi.
Atas dasar itu, hingga saat ini masyarakat adat Kampung Cireundeu berpedoman pada prinsip hidup yang mereka pegang yakni 'Teu Nyawah Asal Boga Pare, Teu Boga Pare Asal Boga Beas, Teu Boga Beas Asal Bisa Nyangu, Teu Nyangu Asal Dahar, Teu Dahar Asal Kuat'.
Prinsip itu bisa dimaknai 'Tidak memiliki sawah asal punya beras, tidak memiliki beras asal bisa menanak nasi, tidak memiliki nasi asal bisa makan, tidak makan asal kuat'.
"Apalagi saat ini dengan jumlah penduduk yang terus meningkat sedangkan lahan pertanian semakin menyempit. Sedangkan kami di sini punya alam, tinggal menanam, saat panen bisa memenuhi kebutuhan kami," tutur Abah Widi.