Kampung Adat Cireundeu, di pinggiran Kota Cimahi, Jawa Barat, punya segudang adat dan istiadat yang mesti dilestarikan sekaligus demi daya tarik wisatawan untuk berkunjung.
Salah satu yang paling dikenal dari kampung adat di Kelurahan Leuwigajah, Kecamatan Cimahi Selatan, Kota Cimahi itu ialah tradisi warganya yang mengonsumsi singkong sebagai sumber karbohidrat sejak ratusan tahun silam.
Perkembangan zaman dan majunya teknologi, sedikitnya memengaruhi tradisi itu. Sebagian keluarga akhirnya ada yang juga mengonsumsi nasi sebagai makanan pokok.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Di sisi lain, tradisi itu akhirnya ditetapkan sebagai Warisan Budaya Tak Benda (WBTB) oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) RI dan Dinas Pariwisata dan Kebudayaan (Disparbud) Jawa Barat.
Tak cuma tradisi makan beras singkong atau rasi saja, ada tradisi lain di Kampung Adat Cireundeu yang turut ditetapkan jadi WBTB yakni tradisi Tutup Taun Ngemban Taun 1 Sura.
Dua tradisi yang selalu dijalankan warga Kampung Adat Cireundeu itu ditetapkan menjadi WBTB setelah melalui berbagai kajian oleh tiga akademisi yang jadi bagian dari tim WBTB tersebut.
"Tradisi itu harus terus dijaga masyarakat. Seperti tradisi makan rasi dan tutup taun yang ditetapkan jadi WBTB Jabar dan Indonesia. Itu jadi kebanggan buat kita," kata Kepala Bidang Kebudayaan pada Dinas Pariwisata dan Kebudayaan (Disparbud) Jabar, Febiyani saat dikonfirmasi, Minggu (4/8/2024).
Penetapan dua tradisi di Kampung Adat Cireundeu menjadi WBTB, berujung pada kewajiban masyarakat kampung adat itu sendiri serta Pemerintah Kota Cimahi melestarikan tradisi tersebut.
"Dua tradisi ini yang harus diturunkan ke anak keturunan kita, khususnya di Cireundeu. Wajib dirawat dan dilestarikan. Jadi setelah ditetapkan itu tidak cuma ditetapkan saja, tapi ada tanggung jawab di baliknya," kata Febiyani.
Di sisi lain, pemerintah selalu berupaya mendukung kegiatan adat yang dilaksanakan warga Kampung Adat Cireundeu.
"Kami dari Pemprov Jabar selalu mengimbau masyarakat umum juga terus mendukung Cireundeu lewat caranya sendiri. Sementara pemerintah, kalau ada yang bisa dibantu akan kita bantu," kata Febiyani.
Sejak 1918 silam, warga kampung adat yang dikelilingi perbukitan itu mengonsumsi singkong dan berbagai macam olahannya sesuai dengan tuntunan dari leluhur.
Ais Pangampih Kampung Adat Cireundeu, Abah Widiya menyebut leluhur mereka sudah berada beberapa langkah dibanding dengan masyarakat modern saat ini. Sebab seolah-olah tahu kalau masyarakat bakal ketergantungan pada beras di kemudian hari.
"Kebiasaan itu awalnya dari tahun 1918, jadi baru sekitar 100 tahun lebih. Tujuan dari leluhur kami itu lebih ke sebuah tuntunan supaya tidak ketergantungan (pada beras)," ungkap Abah Widiya.
Namun tradisi turun temurun itu mulai terkikis perkembangan zaman. Erat kaitannya dengan sebagian masyarakat di Kampung Adat Cireundeu yang mulai mengonsumsi beras padi atau olahannya berbentuk nasi.
Berdasarkan penuturan Abah Widi, kini sekitar 50 persen masyarakat Kampung Adat Cireundeu sudah mengonsumsi beras padi. Memang, kebanyakan merupakan mereka yang datang dari luar atau menikahi orang 'Cireundeu'.
"Ada yang makan nasi, bahkan menantu sa cucu abah juga makannya nasi (beras padi). Ya itu kan pilihan, tapi kalau abah, istri, dan anak-anak sejak zaman dulu makannya rasi sesuai tuntunan leluhur," kata Abah Widi.
(iqk/iqk)