Penutupan perlintasan sebidang di Ciroyom dikeluhkan masyarakat. Bahkan Guru Besar Universitas Padjadjaran (Unpad) menilai kebijakan tersebut dianggap terburu-buru dan justru tidak membantu masyarakat.
Seperti diketahui, perlintasan sebidang di Ciroyom ditutup seiring dibukanya Flyover Ciroyom. Penutupan dilakukan sejak Rabu (24/10) kemarin. Namun ditutupnya perlintasan sebidang itu justru menimbulkan masalah baru.
Masyarakat harus memutar jalan dan para pedagang terpaksa harus mendorong gerobak dagangannya menaiki Flyover Ciroyom. Menanggapi hal itu, Guru Besar Prodi Administrasi Publik FISIP Unpad Budiman menyebut, penutupan perlintasan itu terkesan terburu-buru.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Budiman menuturkan, penutupan perlintasan sebidang memang diatur dalam Undang-undang Nomor 23 Tahun 2007 tentang perkeretaapian di Indonesia yang mengharuskan perlintasan kereta dan perlintasan kendaraan tidak boleh berada dalam satu bidang.
"Untuk di Ciroyom, kita mendengar begitu tingginya angka kecelakaan di sana. Upaya untuk membuat flyover ini merupakan upaya yang maksimal dilakukan untuk menjalankan amanat UU 23 tahu 2007 itu," ucap Budiman saat dikonfirmasi detikJabar, Kamis (24/10/2024).
Meski berdasarkan undang-undang, namun Budiman mengatakan, seharusnya pemerintah mempertimbangkan faktor lain yang terjadi saat flyover dibuka dan perlintasan sebidang ditutup. Menurutnya, sebelum menutup permanen perlintasan sebidang, ada baiknya pemerintah melakukan uji coba lebih dulu.
"Teorinya setiap implementasi kebijakan harus ada masa transisi, yaitu masa uji coba lah, selama 2-3 bulan. Jadi tetap meski ada flyover masyarakat di bawah juga boleh (melintas), tapi tetap dipasang peringatan. Ada pemberitahuan bahwa bulan sekian perlintasan akan ditutup, pengendara silahkan melewati flyover," katanya.
"Itu diberitahukan 1-2 bulan sebelumnya, jadi ketika diberlakukan dan ditutup mereka (masyarakat) tidak kaget. Nah ini yang mungkin kurang diperhatikan. Flyover ini kan sudah selesai bulan Mei dan sudah lima bulan, jadi sayang peringatan dari pemerintah itu kurang intensif," lanjutnya.
Karena itulah, Budiman menyebut masyarakat Ciroyom shock dengan penutupan perlintasan sebidang. Terlebih, mereka tetap harus beraktivitas seperti bisanya. Bahkan menurutnya, penutupan perlintasan sebidang terkesan terburu-buru.
"Iya (terburu-buru), untuk menjaga masyarakat kebiasaan lamanya sedikit-sedikit bisa berubah, jangan langsung mendadak. Pasti akan terjadi shock dan merasa tidak terbantu dengan adanya flyover. Justru sebaliknya, apalagi yang bawa gerobak," tegas Budiman.
Seperti diberitakan sebelumnya, sejumlah pedagang harus mendorong gerobaknya menaiki Flyover Ciroyom. Hal itu dilakukan karena akses jalan yang melintasi perlintasan sebidang sudah ditutup permanen.
"Sejak ditutup harus muter karena nggak ada lagi jalan, harus muter jauh. Jadi mau nggak mau lewat sini (flyover) nanjak," kata Iwan, salah seorang pedagang yang mendorong gerobaknya melintasi Flyover Ciroyom.
Menurut Iwan, tidak semua pedagang mau mendorong gerobak melewati flyover. Ada juga pedagang yang memutar melalui jalan datar meski jaraknya cukup jauh. Namun dia memilih melewati flyover karena lebih dekat.
"Kemungkinan ada yang ke sana yang lewat jalan datar cuma lebih jauh, yang lewat sini ada kalau kuat. Saya sendiri pilih lewat sini lebih dekat. Merepotkan ya, apalagi yang mau ke pasar harus muter," ungkapnya.
Baca juga: Penantian Panjang Dibukanya Flyover Ciroyom |
Keluhan juga disampaikan Handi, pedagang lainnya. Sejak perlintasan ditutup, dirinya harus melewati Flyover Ciroyom. Handi berharap pemerintah mendengar keluhan para pedagang dan membuka kembali jalan perlintasan.
"Jadi capek sekarang harus ke atas keliling nanjak, biasanya lewat perlintasan deket sekarang harus ke atas. Harapannya ya kalau saya mending dibuka lagi di bawah buat pedagang, kalau kendaraan baru lewat atas," singkatnya.
(bba/mso)