Tragedi AACC: Membekas dan Sempat Meredam Musik di Bandung

Tragedi AACC: Membekas dan Sempat Meredam Musik di Bandung

Anindyadevi Aurellia - detikJabar
Selasa, 17 Sep 2024 09:00 WIB
Tatang Sopian.
Gedung The Majestic ini dulunya bernama gedung AACC yang jadi lokasi tragedi kelam musik di Bandung (Foto: Sudirman Wamad/detikJabar)
Bandung -

Sebuah peristiwa duka tahun 2008 silam, menjadi catatan kelam dunia musik di Kota Bandung. Tragedi maut sebuah konser terjadi di kota yang dulu dikenal sebagai kota musik ini, pada Sabtu (8/2/2008) malam.

Siapa sangka 11 remaja Bandung yang pamit ke keluarga untuk menonton rilis album band musik metal, tubuhnya pulang dalam keadaan tak bernyawa. Malam itu, konser grup band Beside sekaligus rilis album 'Against Ourselves' digelar di Gedung Asia Africa Cultural Center (AACC), Jl Braga.

Gedung legendaris itu kini dikenal sebagai Gedung De Majestic. Pada masa kolonial, gedung ini sebetulnya dioperasikan sebagai bioskop. Kapasitas gedung yang terbatas dan massa yang berjubel semakin banyak, membuat sebagian dari mereka terinjak-injak, pingsan, dan tewas.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Kasus konser maut di Bandung ini menjadi konser paling mengerikan saat Indonesia baru satu bulan memulai 2008. Bagaimana tidak, malam minggu sambil menonton konser musik pasti jadi pilihan mayoritas anak muda di Bandung tahun itu.

Perasaan syok, trauma, dan terpukul bukan cuma hinggap di hati para penonton lain atau keluarga yang ditinggalkan. Hari itu juga jadi mimpi buruk Hinhin Agung Daryana, mantan gitaris Beside yang masih ikut manggung kala itu.

ADVERTISEMENT

Hinhin yang kini masih aktif sebagai Musisi sekaligus Akademisi Musik ini, jadi saksi betapa mencekamnya malam itu. Hinhin memang tak melihat langsung kejadiannya, tapi ia kaget bukan main saat tragedi itu terjadi dalam peluncuran album band-nya.

Beside manggung di Gedung AACC sebelum tragediBeside manggung di Gedung AACC sebelum tragedi Foto: Istimewa/dokumentasi pribadi Hinhin Agung Daryana

"Saya nggak lihat desak-desakannya, itu posisinya kami sudah selesai manggung. Saya udah istirahat ke atas, terus dikabarin ada kejadian itu ya kaget. Kami juga nggak ngira kalau penonton membludak jadi yang mau keluar malah tertahan penonton yang mau masuk," kenangnya sekilas.

Mati Suri Gigs di Bandung dan Melawan Stigma Musik Cadas

Gedung AACC dianggap jadi gedung yang paling memungkinkan untuk diakses jadi tempat konser. Baik dari segi kapasitas dan harga sewanya. Tahun 2007-2008, Hinhin menilai gelombang musik sedang tinggi-tingginya baik itu genre metal, pop, punk, dan lainnya.

"Mungkin peminatnya tuh lagi banyak, lagi masanya kali ya. Zaman kemasannya musik itu ada di tahun 2007-2009. Setiap kali ada event musik tuh selalu banyak banget penontonnya. Jadi ke AACC, Dago Tea House, ke cafe. AACC tuh termasuk besar ya soalnya kalau nggak salah cukup 800 orang," cerita Hinhin.

Tak ada ruang berekspresi untuk musik, padahal peminat musik makin membludak, membuat pilihan tempat manggung jadi makin sedikit. Siapa sangka, di gedung bersejarah itu bakal terjadi tragedi yang jadi buntut gigs di Bandung sempat mati suri.

"Saat itu ruang nggak ada, gelombang penonton naik, ya muncullah insiden itu. Saparua nggak boleh dipakai karena isunya keselamatan, tapi nggak pernah ada tragedi saat itu. Rusuhnya standar lah, moshing, berantem-berantem biasa. Sampai ada kebijakan itu (dilarang manggung di Saparua)," kenangnya.

Pada malam minggu, 9 Februari 2008 itu maut menjemput 11 anak muda usai nonton Hinhin cs manggung. Saat konser usai, begitu banyak orang pingsan lantaran gedung pertunjukan kelebihan muatan. Sebagian orang yang pingsan terinjak-injak pengunjung yang tengah berdesak-desakkan.

Dentuman musik dalam konser dan launching album grup band Beside malam itu sangat meriah. Ratusan pengunjung memadati Gedung AACC sejak pukul 18.00 WIB. Tiket konser musik sudah habis terjual, tapi banyak orang yang ingin melihat pertunjukkan, sehingga mereka nekat menjebol pintu utama.

Ketika pertunjukan usai, massa di dalam gedung pun menyerbu pintu. Mereka hendak keluar, tapi nampaknya tak sabar. Dua pintu depan disesaki orang, akibatnya pintu samping ikut dijebol untuk keluar. Apesnya, di pintu utama ada puluhan orang yang akan masuk ke gedung.

Ketika konser berakhir, mereka berdesakkan keluar gedung. Saat itulah ada beberapa orang yang jatuh dan terinjak-injak. Akibat berdesakkan, kaca pintu AACC pun pecah.

Siapa sangka, tawa dan ekspresi dalam ruangan itu berubah duka saat beberapa pengunjung konser meregang nyawa. Diduga karena kelalaian, konser musik itu ibarat meminta tumbal.

Kepolisian lalu menetapkan tiga tersangka dari Enk Ink Enk, penyelenggara konser musik itu. Ketiga terdakwa tersebut adalah Adhytia Arga Sasmita (25), Herdi Putra Nugraha, Sugiyana, yang dianggap telah lalai menyebabkan luka dan kematian orang lain.

"Ya di situ panitia belum profesional karena pintu yang dibuka hanya satu, terus tidak ada tim medis. Saat itu banyak band-band yang mau konser di situ juga, tapi mungkin hari jeleknya ada di Beside. Setelah kejadian itu, kami nggak main (musik) sama sekali. Malah jadi saksi di pengadilan, saya mewakili band ke media juga," tutur Hinhin.

Ia masih ingat betul bahwa kala itu pemberitaan cukup ramai menyoroti Beside, mengingat band ini beraliran musik keras. Stigma musik metal kerap berakhir ricuh semakin kuat. Hinhin dibantu para musisi metal lain yang tergabung dalam Solidaritas Independen Bandung (SIB), berusaha untuk memberikan penjelasan agar musik cadas tak dipojokkan.

"Butuh waktu 3-5 bulan, kita disibukkan untuk meluruskan. Saya tiap hari beli surat kabar, saking pengen tahu update dan dulu belum ada medsos. Mau lihat bagaimana perkembangan, menyayangkan statement pemerintahan, dan lain-lain. Ya seminggu awal banyak pemberitaan yang 'kok gini sih?'," ucapnya.

Terjadinya insiden di AACC tersebut menghambat jadwal konser grup band di Bandung, termasuk Beside yang harus menunda jadwal turnya ke berbagai kota di pulau Jawa. Acara konser musik di Bandung banyak yang dijadwal ulang dan izinnya pun dipersulit.

Penonton konser musik rock atau metal dengan banyak massa di Bandung, bahkan ada yang dilarang. Tragedi kelam di Gedung AACC itu kemudian juga dikenal sebagai 'Tragedi Sabtu Kelabu'.

"Kira-kira konser di Bandung baru berangsur normal betul itu dua tahun setelah itu. Setelah kejadian, itu segala acara yang akan berpotensi menimbulkan massa banyak, standartnya jadi naik. Kayak standar keamanan, paramedis, nah ini agak kesusahan karena harus menyesuaikan standar yang tinggi," kata Hinhin.

"Lalu untuk beberapa band yang masuk ke daftar berpotensi menimbulkan banyak massa, harus sebanding dengan harga yang cukup fantastis. Kayak Burger Kill, Pas Band, Rosemary, harga izinnya fantastis. Setahu saya sampai ratusan juta untuk satu band," sambungnya.

Tapi, di balik pedihnya tragedi musik tersebut, Hinhin melihat ada kebijakan yang positif untuk penyelenggaraan acara. Standar lebih ditingkatkan demi menjaga peristiwa serupa tidak terulang.

"Memang saat itu permusikan Bandung berhenti sejenak. Beside waktu itu manggung ke luar kota bisa, tapi sempat di Surabaya siaga satu. Dijagain 50 polisi, padahal kondisi gedung tidak terlalu penuh. Mungkin karena dicap musik yang rusuh itu ya, pencegahan mungkin. Jadi dijagain tapi ternyata nggak ada apa-apa terus mereka pulang lagi aja," kata Hinhin.

Namun, SIB bersama Pemerintah Kota (Pemkot) Bandung pada Sabtu (30/8/3008) sempat menggelar acara Helar Fest 2008 di Lapangan dan GOR Saparua, Jalan Aceh. Dengan tagline 'Baheula, Ayeuna, Salilana' (dulu, sekarang dan selamanya), terdapat 37 band, 12 DJ, dan band-band legendaris Bandung seperti Mocca, The S.I.G.I.T, Homogenic, Jasad, Vincent Vega, dan lainnya sempat manggung.

"Event itu berusaha nge-counter; seolah-olah pembuktian dari SIB bahwa pemberitaan yang menyerang komunitas musik yang ada di Bandung itu salah. Mereka menyelamatkan bahwa persoalan utama dari kejadian itu bukan karena karakter musik ini menimbulkan korban," ujar Hinhin.

"Bahwa ini persoalan ruang yang tidak bisa lagi mengakomodir gelombang perkembangan penikmat musik di Bandung. Jadi di acara itu ada acara 1000 Lilin yang dihadiri Dede Yusuf sebagai Wakil Gubernur Jabar. Jadi dari situ akhirnya penyelenggaraan pertunjukan jadi lebih terkontrol," imbuh dia.

Setelah tragedi tersebut, Gedung AACC kemudian ditutup sementara. Pada tahun 2010, gedung direnovasi serta diberi nama baru, yaitu New Majestic. PD Jasa dan Pariwisata lalu mengambil alih pengelolaan gedung dan berganti nama kembali menjadi De Majestic pada tahun 2017.

Pada tahun 2014 diresmikan Taman Musik Centrum, sebuah taman tematik seluas 4.200 meter persegi di Jalan Belitung, Sumurbandung, Bandung. Taman ini diresmikan oleh Kepala Dinas Pemakaman dan Pertamanan Kota Bandung, Arief Prasteya atas gagasan Wali Kota saat itu, Ridwan Kamil.

Pada acara peresmian juga mengagendakan perkenalan monumen berbentuk gitar raksasa. Di situ tergurat sebelas nama korban meninggal dalam kejadian nahas di AACC.

Sementara band Beside, kemudian berusaha beradaptasi dan menjadikan tragedi itu sebagai kenangan. Album kedua dirilis Beside dengan nama 'Eleven Heroes', sebagai bentuk penghargaan Beside kepada 11 orang korban meninggal pada acara rilis albumnya 2008 silam.

"Saya nggak ikut waktu album itu, saya udah keluar. (Karena trauma?) bukan karena trauma kok tapi. Sampai saat ini kalau misalkan tahunan, ngumpul nih pengajian, saya juga masih datang," ucap Hinhin.

Tahun ini, Beside masih eksis. Pada 2022, mereka sempat merilis album baru format berbeda bertajuk Almighty God. Beside memberikan sentuhan konsep akustik sekaligus memadukan gaya vocal growl dan clean dalam lagu-lagu terbarunya.

Awal Mula Musik Cadas Menggema di Bandung

Sebelum mengenang lebih banyak soal tragedi Sabtu Kelabu itu, Hinhin mengajak menerawang jauh ke belakang. Kala musik cadas perlahan tapi pasti, menggema di Kota Bandung bersamaan dengan genre-genre lainnya.

Tapi entah kenapa, musik metal di Kota Bandung seolah punya tempat spesial. Musik yang keras, penampilan yang sangar, lirik yang berani, dan teriakan-teriakan tak jelas, justru terasa ramah di telinga pria-pria 'tongkrongan' Kota Kembang.

Hinhin muda, cenderung kerap nongkrong Ujungberung, salah satu wilayah yang dikenal melahirkan perkembangan musik cadas di Bandung. Ia menyebut dirinya ada di generasi kedua music underground.

"Saya generasi kedua lah dari perkembangan musik metal di Bandung. Dulu saya nongkrong di Ujungberung, terus ikut gabung Beside, tapi 2012 saya keluar. Jauh sebelum itu, band rock Bandung sudah dikenal di Indonesia kayak Super Kid dan kawan-kawannya. Secara perkembangan, mereka juga cukup mempengaruhi personal-personal yang ada di Indonesia gitu," cerita Hinhin.

Buku 100 Konser Musik Indonesia oleh Anas Syahrul Alimi dan Muhidin M Dahlan, membahas sekilas soal Superkid. Tapi judulnya cukup nyelekit, 'Cadas di Panggung, Melempem di Rekaman'. Superkid saat itu tenar karena dianggap punya ciri khas saat mengawali pertunjukan.

"Seperti halnya saat mereka konser pada 11 November 1978 di Gelora, Bandung. Yakni, sebuah atraksi permainan dry ice yang mengusung set drum Jelly Tobing dan disertai kepalan tangan Deddy Stanzah untuk menyapa penonton. Nama Superkid identik dengan pertunjukan panggung yang gagap-gempita," tulis Anas dan Muhidin dalam bukunya.

Superkid beranggotakan tiga personel inti yakni Deddy Stanzah pada bas, Deddy Dores pada gitar dan kibor, serta Jelly Tobing pada drum. Pertemuan ketiganya dalam sebuah grup musik digagas Denny Sabri, pengasuh majalah Aktuil, majalah musik terkemuka terbitan Bandung.

Anas dan Muhidin menuliskan meski popularitasnya melejit dengan instan, tapi band ini dinilai tak konsisten. Salah satunya kerap gonta-ganti pemain. Karena itu, Superkid dinilai garang di panggung tapi tak pernah menghasilkan rekaman yang bagus.

"Di album kedua, Dezember Break, Dores sulit dihubungi sehingga Albert Warnerin dari Giant Step terpaksa dilibatkan untuk mengisi gitar. Dores bahkan menghilang menjelang Preman, album ketiga, sehingga ia kembali digantikan. Kali ini Joko Yuwono, eks Freedom Of Rhapsodia. Di album Cemburu, Jelly Tobing, yang saat itu menjadi produser, mencomot Mus Mudjiono, adik penyanyi Mus Mulyadi," tulis buku itu.

Lalu di era 80-an, muncul band-band rock seperti Sahara yang punya cukup pengaruh ke musik Indonesia. Musik ekstrim kemudian mulai menginvasi dengan kehadiran band Funeral. Band ini juga menginisiasi terbentuknya komunitas musik metal pertama di Kota Bandung, Bandung Death Brutality Area (Badebah).

"Musik ekstrim trash, yang saya tahu sih ada satu sosok namanya Uwo dari Band Funeral di awal 90-an. Nah itu sampai di daerahnya tuh ada radio AM, dibuatkan satu program yang memutar band-band belum lazim didengar sama banyak orang. Dari situ kemudian masui ke pensi, walaupun karya-karya yang dimainkan masih band cover kayak Sepultura dll," cerita Hinhin.

Tongkrongan musik keras di Bandung nampaknya lebih beragam. Kaum metal, gondrong, dan sangar biasa nongkrong di tempat jual beli barang bekas Cihapit, Laga Cafe dekat Mall Palaguna (dulu), sekitar Sabuga, dan belakang BIP untuk anak-anak punk.

"Lalu mulai masuk karena pengaruh TV, majalah, saudara yang dari luar negeri ngirimin kaset light metal kayak Bon Jovi, Ozzy Osbourne, nah kesininya mulai masuk musik ekstrim yang mempertemukan para laki-laki. Cihapit jadi sentral buat teman-teman yang menyenangi musik seperti itu. Karena di situ banyak dijual majalah dan kaset di sana," katanya.

"Anak Ujungberung, Bandung Lunatic Underground (BLU), terus anak-anak Green Ultimatum dari Cihampelas. Musik metal dianggap mewakili laki-laki, merepresentasikan kondisi dirinya dengan tampilan serba hitam, rambut panjang, piercing, tattoo," lanjut Hinhin.

Dari Cihapit, ruang semakin berkembang. Informasi semakin terbuka dengan adanya internet, termasuk channel MTV juga mempengaruhi cara pandang band metal dan ekstrim dalam segi branding.

Hinhin mengatakan, tempat kumpul di Bandung punya ciri khas masing-masing. Tradisi nongkrong lahir dan menjadi trending types yakni tukeran baju band, kaset, sampai menembus perbedaan daerah. Hingga akhirnya ada internet, TV, dan MySpace memudahkan para pecinta musik cadas menemukan referensinya.

"Dari komunitas Badebah yang kumpul, banyak orang yang menyukai lah musik-musik keras, akhirnya nyebar. Di daerah Cihampelas biasanya yang sejenis sub-genre-nya Grindcore, kalau punk seneng nongkrongnya di belakang BIP, Jogja Kepatihan. Akhirnya mereka ngumpul, biasanya suka ada ide muncul, bikin event lah. Jadi mengenalkan band di antara budaya dominan lain," kenangnya.

Musik metal mampu menyatukan para penikmatnya yang tersebar di Kota Bandung. Meski begitu, cukup sulit untuk mengenalkan musik metal ke masyarakat umum. Banyak konflik didapat karena tema lagu yang diusung cukup menantang budaya dominan. Mulai dari lirik, penampilan, dan lainnya.

"Malah beberapa kasus sempat diulas juga di tabloid Adil, itu isu tentang satanisme yang diidentikkan dengan musik metal. Karena mungkin musiknya dianggap tidak lazim ya waktu itu. Lalu juga banyak tema pemerintahan yang sarkas," tuturnya.

Poster event Bandung BerisikPoster event Bandung Berisik Foto: Istimewa/Buku 100 Konser Musik Indonesia

Berselancar di internet menjadi cara mereka mengapresiasi band-band cadas di luar Indonesia. Dari sini, banyak tumbuh anak-anak muda yang semangat 'ngulik' musik metal, sampai jadi punya kemampuan musik di atas rata-rata.

"Sepengalaman saya di Ujungberung itu hampir setiap selisih beberapa rumah tuh udah main black metal, waktu itu saya sempet ngalamin juga dan mereka jadi mau belajar musik. Ini kan berdampak positif ya, ada dorongan untuk bisa belajar musik secara lebih. Memang dibutuhkan kemampuan yang lebih juga untuk memainkan musik metal," ucap Hinhin.

"Walaupun di Ujungberung genrenya mirip-mirip, tapi punk anak Ujungberung itu beda gitu. Banyak juga musik yang tidak diperhatikan oleh-oleh musisi sejenis, misalkan death metal. Tapi mereka malah senang yang lebih rumit lagi gitu. Seperti saya, jujur nggak pernah punya bayangan bisa ngajar di kampus, padahal kerjaan saya nongkrong dulu tuh," sambungnya sambil tertawa.

Hinhin tak lama mengalami masa-masa kejayaan Lapangan Saparua. Sebab, Saparua yang kerap jadi gigs untuk musik keras, mulai ditutup. Kata Hinhin, isunya dulu lapangan tersebut hendak dijaga sejarahnya.

Tapi nampaknya, alasan ingin membubarkan massa pecinta musik metal juga ikut berperan. Mengingat para penonton musik cadas ini memang punya cara menikmati yang agak lain. Lapangan jelas berdebu akibat terinjak oleh kaki-kaki yang dengan penuh semangat slamdancing, atau istilah sekarang lebih dikenal dengan moshing.

Aksi-aksi stage diving yang mendebarkan kerap mewarnai setiap penampilan band. Wajah-wajah berkeringat dengan ekspresi yang gelap, sangar, seolah penuh amarah. Mereka bernyanyi, tapi juga sambil menghantam, berteriak parau, dan acungan tangan ke udara dengan berbagai simbol salah satunya metal tiga jari.

"Heritage atau berkaitan dengan keselamatan penonton gitu lah. Akhirnya dipugar dan tidak bisa digunakan. Sekarang mungkin bisa, tapi izinnya diperberat. Nah setelah Saparua nggak boleh dipakai, ruangnya (gigs terutama metal), nggak ada. Akhirnya nyari ada Laga Cafe, tapi tutup. Baru lah ke gedung AACC (sekarang Majestic)," cerita Hinhin.

Halaman 2 dari 2
(aau/dir)


Hide Ads