Memoar Bandung dan Sebutan Kota Musik Kala Itu

Memoar Bandung dan Sebutan Kota Musik Kala Itu

Anindyadevi Aurellia - detikJabar
Selasa, 17 Sep 2024 08:00 WIB
Taman Radio di Dago, Bandung dulu jadi tempat nongkrong
Taman Radio di Dago, Bandung dulu jadi tempat nongkrong (Foto: Anindyadevi Aurellia/detikJabar)
Bandung -

Yudi (43), warga asal Jalan Gagak, Sadang Serang ini punya memori masa muda yang asyik di kota kelahirannya, Bandung. Sejak dulu sampai masa jaya di era 2000-an, Kota Bandung dikenal sebagai Kota Musik.

Yudi masih ingat betul, kala itu Lapangan Saparua, Taman Flexi (sekarang Taman Radio), hingga bangunan yang disebut Dago Tea House (sekarang Taman Budaya Jawa Barat) jadi tempat nongkrong favorit anak muda Bandung. Bukan cuma nongkrong, tapi juga mengenal 'skena' musik.

"Itu saya ngalamin banget lah, waktu udah lulus sekolah mungkin ya tahun 2000-an, 2006 gitu. Dago itu tempat nongkrong, dan saya biasa ke Dago Tea House. Biasanya ada konser musik, terus dulu ada cafe-nya juga makanya di area teater terbuka itu ada saung-saung sisanya gitu. Sekarang udah tutup sejak 2015," ceritanya pada detikJabar belum lama ini.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Band genre apapun, yang sudah terkenal atau masih merintis pun, pasti punya jadwal manggung di Bandung. Istilahnya gigs alias konser kecil memang sejak dulu ngetren di Bandung. Maka tak heran, banyak musisi top ibu kota berasal dari Bandung. Sebut saja Pure Saturday, Burgerkill, Mocca, Gigi, Peterpan, /rif, dan masih banyak lagi.

Semua membawa genre yang berbeda, tapi semua punya pendengar setianya masing-masing. Salah satu genre musik yang cukup menjamur di Bandung kala itu ialah musik metal. Tapi buat Yudi, katanya lebih suka mendengarkan musik alternatif dan pop ketimbang musik cadas.

ADVERTISEMENT

"Saya enggak lah, saya nggak bisa. Nggak cocok sama musiknya itu saya nggak ngerti. Ya dulu lumayan rusuh juga sih kalau ada konser metal juga. Saya sukanya nonton Ipang, Efek Rumah Kaca (ERK) gitu dulu mah," ujarnya mengaku sambil tersenyum lebar.

Yudi juga kerap menengok acara-acara konser yang digelar perguruan tinggi seperti Unpar dan beberapa SMA negeri top di Bandung. Katanya, itu juga salah satu bukti eksistensi konser di kota ini.

Band-band Bandung yang sudah tenar dan go nasional lebih sering jadi pengisi utama pentas seni (pensi) kelas atas di Bandung. Beberapa band yang jadi raja pensi kata Yudi ialah Serious, Puppen, Cokelat, dan lainnya.

"Biasanya mah yang ngetop SMA 20, 2, 5, 8, 1 yang favorit lah. Itu biasanya band-band yang udah terkenal kayak Gigi, Caffeine, Padi, yang lagi ngetop waktu itu gitu," tutur Yudi sambil mengingat-ingat.

Beberapa hal yang Yudi ceritakan, juga dikonfirmasi lengkap oleh Story Teller Cerita Bandung, Gadis Noer Hadianty. Kalau zaman dulu belum ada internet atau televisi yang jadi media menyebarkan musik, diawali dari tradisi 'nongkrong' di Bandung jadi sangat penting untuk perkembangan musik Kota Kembang.

Musik di Kota Bandung Berawal dari Nongkrong!

Dalam walking tour episode Dago Rendezvous, Gadis menyinggung bahwa Dago diambil dari bahasa Sunda, yang artinya menunggu. Kita tarik ke belakang, jauh pada tahun 1900-an awal, Dago masih asri dengan hutan lebat. Membuat setiap pekerja yang hendak pergi ke arah PLTA Dago Bengkok atau sebaliknya, akan saling menunggu untuk berangkat berbarengan.

"Dago berasal dari bahasa Sunda 'Padago-Dago' yang artinya saling tunggu-menunggu. Karena kan dulu itu belum jalan besar seperti sekarang, jadi saling nunggu biar berangkat bareng, mungkin takut ya. Jalan itu baru diperbarui sekitar tahun 1930, setelah ada pembangunan RS Santo Borromeus," ucap Gadis.

Dago menjadi salah satu titik penting sejak zaman Belanda. PLTA Dago Pojok atau Dago Bengkok didirikan tahun 1923, memanfaatkan Sungai Cikapundung untuk membangkitkan tenaga listrik sampai ke tengah Kota Bandung, yang kemudian diikuti pemberian sambungan telepon pertama dari Belanda ke Hindia Belanda.

Gadis menunjukkan potret Kintam, Taman Flexi, atau kini Taman Radio di Dago, Bandung jadi tempat nongkrongGadis menunjukkan potret Kintam, Taman Flexi, atau kini Taman Radio di Dago, Bandung jadi tempat nongkrong Foto: Anindyadevi Aurellia/detikJabar

Di Dago juga dibangun pemukiman elite atau sering disebut dengan kawasan villa yang dibangun oleh Pemerintah Hindia Belanda. Kawasan pemukiman ini ada dari tahun 1950 hingga 1970-an.

Dago terus eksis dan penting buat peradaban di Bandung. Pada tahun 1970 hingga 1980-an, Dago mulai menjadi pusat nongkrong anak muda. Tradisi 'ngemper' alias lesehan di taman, pinggir jalan, sambil mendengarkan kaset atau lagu Jack Lesmana yang diputar di radio, jadi momen terbaik anak muda era itu.

"Jalan Dagostraat kemudian berganti nama menjadi Jalan Dago. Sampai akhirnya sebelum tahun 1970, Presiden Soekarno menggganti nama jalan menggunakan nama Ir Djuanda. Sepanjang jalan ini jadi tempat nongkrong. Mulai dari Taman Flexi atau sekarang Taman Radio, sampai ke Dago Thee Huis yang dulunya adalah tempat ngeteh orang Belanda," kata Gadis.

"Di tahun 90-an, banyak anak muda nongkrong di Taman Flexi. Mobil Radio OZ dengan speaker besar parkir di sini untuk menyetelkan programnya, ada yang nongkrong bawa radio besar terus dipikul, dan dulu ada satu toko kaset yang paling hits di sini, Aquarius," sambungnya.

Label musik Aquarius yang membuka toko kaset legal itu, jadi salah satu ikon dan bukti betapa 'gaul'-nya wilayah Dago. Boleh dibilang, tempat ini jadi penting untuk para pemusik mau itu aliran pop, alternative, rocker, punk, atau apapun lah genrenya!

Gedung bekas toko kaset Aquarius Dago duluGedung bekas toko kaset Aquarius Dago dulu Foto: Anindyadevi Aurellia/detikJabar

Aquarius Musikindo menjadi retailer bagi album-album dalam dan luar negeri melalui kerjasama dengan berbagai label musik. Toko kaset dan CD dibangun dua titik di Jakarta, lalu Bandung dan Surabaya.

Sampai akhirnya toko Aquarius di Bandung tutup pada tahun 2009, lalu berganti jadi cafe Myoozik Eats and Drinks. Kini, kondisi bangunannya dikembalikan seperti wujud bangunan asalnya dan menjadi kantor bank.

Sambil menceritakan kisah ini, Gadis menggambarkan betapa eksis-nya Dago kala itu, dengan memutarkan lagu Katara Singers - Let's Go (Lewat Sekitar Dago) yang rilis tahun 1989. Begini liriknya:

Kini sudah menjadi tradisi

Disabtu sore beradu gengsi

Diatas mobil dia pasang aksi

Demi memenuhi ambisi...

Lampu merah itu yang dicari

Biar bisa lihat kanan-kiri

Wajahpun jadi berseri-seri

Bila jumpa dengan si doi...

Tancap gas

lewat seputaran Dago

Let's go let's go

Sekedar ngeceng yang mana yang keren

Janjian

Lewat seputaran Dago

Let's go let's go

Istilah anak muda yang tak mau

ketinggalan jaman

Dari Dago, kita lompat ke titik-titik 'nongkrong' yang tak kalah penting lainnya. Ada Lapangan Saparua, Belakang Mall Bandung Indah Plaza (BIP), sekitar Grand Yogya Kepatihan, Cihapit, Ujungberung, sampai ke cafe dan studio musik yang tersebar di Bandung.

Hinhin Agung Daryana, Musisi sekaligus Pengamat Musik di Bandung jadi saksi betapa pentingnya nongkrong untuk kultur musik di kota ini. Hinhin muda, cenderung kerap nongkrong Ujungberung, salah satu wilayah yang dikenal melahirkan perkembangan musik cadas di Bandung.

Tongkrongan musik keras di Bandung nampaknya lebih beragam. Kaum metal, gondrong, dan sangar biasa nongkrong di tempat jual beli barang bekas Cihapit, Laga Cafe dekat Mall Palaguna (dulu), sekitar Sabuga, dan belakang BIP untuk anak-anak punk.

Belakang BIP sekarang, dulunya titik nongkrong anak punk metal.Belakang BIP sekarang, dulunya titik nongkrong anak punk metal. Foto: Anindyadevi Aurellia/detikJabar

Menurutnya, musik di Bandung berkembang berbarengan dan menjamur meski punya aliran yang berbeda-beda. Sementara aliran indie pop biasa nongkrong di area Jalan Dipati Ukur sampai Sultan Agung, cafe Fame Station dan Ohara, bahkan Taman Lalu Lintas sebagai tempat nongkrong anak-anak skate sekaligus mengenal skena musik indie pop.

"Banyak muncul band rock seperti Sahara yang cukup aktif di media nasional. Itu kemudian cukup mempengaruhi temen-temen lain untuk melakukan hal yang sama. Sekitar tahun 80-90 mulai muncul musik ekstrim karena pengaruh TV, majalah, saudara yang dari luar negeri ngirimin kaset light metal kayak Bon Jovi, Ozzy Osbourne, nah kesininya mulai yang kayak ekstrim," cerita Hinhin.

"Band yang belum lazim didengar banyak orang, pergerakannya cukup aktif. Kayak cover musik trash Sepultura dll, mempertemukan para laki-laki dan Cihapit jadi sentral buat teman-teman yang menyenangi musik seperti itu. Karena di situ banyak dijual majalah dan kaset di sana. Anak Ujungberung, Bandung Lunatic Underground (BLU), terus anak-anak Green Ultimatum dari Cihampelas. Musik metal dianggap mewakili laki-laki, merepresentasikan kondisi dirinya dengan tampilan serba hitam, rambut panjang, piercing, tattoo," lanjutnya.

Dari Cihapit, ruang semakin berkembang. Informasi semakin terbuka dengan adanya internet, termasuk channel MTV juga mempengaruhi cara pandang band metal dan ekstrim dalam segi branding.

Hinhin mengatakan, tempat kumpul di Bandung punya ciri khas masing-masing. Tradisi nongkrong lahir dan menjadi trending types yakni tukeran baju band, kaset, sampai menembus perbedaan daerah.

"Dari komunitas Badebah yang kumpul, banyak orang yang menyukai lah musik-musik keras, akhirnya nyebar. Di daerah Cihampelas biasanya yang sejenis sub-genre-nya Grindcore, kalau punk seneng nongkrongnya di belakang BIP, Jogja Kepatihan. Akhirnya mereka ngumpul, biasanya suka ada ide muncul, bikin event lah. Jadi mengenalkan band di antara budaya dominan lain," kenangnya.

Bukan cuma sekedar nongkrong, tapi membuahkan ide-ide yang ambisius. Mungkin itu gambaran tepat pemikiran cikal bakal para musisi lokal Bandung kala itu. Lama-lama manggung kecil-kecilan, dari cafe ke cafe, studio ke studio, pensi ke pensi, sampai akhirnya hijrah ke Jakarta.

Hinhin bahkan bercerita, ada tuntutan tersendiri buat para pecinta musik di Bandung. Katanya, orang Bandung biasa mengulik musik dan punya genre atau ciri khas yang disukainya masing-masing.

Dari saling menghargai pilihan musik yang berbeda, lalu memproduksi dengan kreativitas yang tinggi. Band dari Bandung mah, harus keren!

"Antar musisi hubungannya sangat baik gitu di Bandung. Kota ini jadi tolak ukur dari kota-kota besar lainnya, selain sosialnya juga kota yang cukup adem jadi orang secara organik itu bisa membuat karya yang sedikit berbeda atau menawarkan sesuatu yang baru," ujar Hinhin.

"Kalau pop itu sebagian besar orang-orangnya itu secara ekonomi lebih ke menengah ke atas. Jadi penggeraknya dihargai dan secara ekonomi juga dia cukup bisa gitu untuk mengonsumsi musik-musik yang tidak ada di kita. Seperti Mocca misalnya, untuk dapet musik kayak gitu, dia harus punya referensi yang cukup banyak," imbuhnya.




(aau/dir)


Hide Ads