Dago Tea House, Saksi Peradaban Musik di Kota Bandung

Dago Tea House, Saksi Peradaban Musik di Kota Bandung

Anindyadevi Aurellia - detikJabar
Selasa, 17 Sep 2024 11:00 WIB
Dago Tea House atau Taman Budaya Jawa Barat
Dago Tea House atau Taman Budaya Jawa Barat (Foto: Anindyadevi Aurellia/detikJabar)
Bandung -

Anak zaman sekarang mungkin lebih mengenal Dago Thee Huis alias Dago Tea House sebagai tempat pertunjukan budaya. Namun, gedung yang bertuliskan Taman Budaya Jawa Barat ini juga jadi saksi bisu sejarah kejayaan musik di Kota Bandung tahun 1990-2000 an.

Cerita itu, tak pernah didengar oleh Febita Putri (18) mahasiswi semester 3 Psikologi UPI. Ebi, begitu sapaannya, hendak menggunakan bangunan tersebut untuk pementasan lomba Kabaret jurusannya. Tapi, Ebi ngaku tak pernah tahu seberapa gedung ini menyimpan banyak memori skena musik sebelum dia lahir.

"Aku nggak tahu, cuma pakai tempat ini karena sejak kakak tingkat yang tahun-tahun sebelumnya juga selalu pakai gedung ini. Tapi kalau memang gedung ini bersejarah buat konser di Bandung ya menurutku pantes, karena memang gedung ini memadai. Lokasinya, stagenya juga besar dan muat banyak penonton," kata Ebi.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Meskipun ia adalah anak yang tak suka nonton konser, tapi Ebi bisa membayangkan bagaimana Teater Terbuka dan Teater Tertutup di Dago Tea House jadi zona nyaman para musisi maupun penikmat musik. Ukuran stage yang cukup besar, kapasitas penonton yang banyak, serta kondisi gedung yang meski sudah lawas tapi masih terawat.

Ebi yang saat itu bertugas sebagai Ketua Pelaksana Acara Kabaret, juga mengaku sudah paham betul penataan alur acara dengan angka kunjungan yang banyak. Momen pertama menjadi panitia acara, membuat Ebi jadi banyak belajar dan memahami sekilas cerita ibunya soal perkonseran zaman dulu.

ADVERTISEMENT

"Pengamanan acara udah cukup strict, kita buat alur check body untuk memastikan pengunjung pakai gelang tiket. Ada tim keamanan untuk jaga pintu agar nggak kebobolan atau over capacity. Terus sampai ke talent yang akan tampil, kita perlu tahu mereka datang itu bawa berapa orang, dikasih ID juga," ucap Ebi.

"Iya aku tahu kalau acara dengan massa yang banyak, dulu persiapannya nggak kaya gini. Mamaku pernah cerita kalau nggak dibolehin nonton konser, karena dulu keamanannya itu ngeri. Ibaratnya orang tuh berdarah-darah cuma buat nonton konser," ceritanya.

Lain halnya memori yang terekam dalam ingatan Yudi (43). Mantan 'anak nongkrong' di Dago Tea House ini, sekarang malah bertugas menjaga tempat nongkrongnya saat muda. Yudi kini berprofesi sebagai satpam Taman Budaya Jawa Barat.

Pria asal Sadang Serang ini sudah khatam spot-spot di Dago Tea House, meski kini kondisinya agak berbeda. Sambil menunjukkan titik-titik nongkrong era itu, Yudi sambil mengenang memori masa muda yang asyik di kota kelahirannya, Bandung. Maklum, di era itu Kota Bandung dikenal sebagai Kota Musik.

Dago Tea House atau Taman Budaya Jawa BaratDago Tea House atau Taman Budaya Jawa Barat Foto: Anindyadevi Aurellia/detikJabar

"Itu saya ngalamin banget lah, waktu udah lulus sekolah mungkin ya tahun 2000-an, 2006 gitu. Dago itu tempat nongkrong, dan saya biasa ke Dago Tea House. Biasanya ada konser musik, terus dulu ada cafe-nya juga makanya di area teater terbuka itu ada saung-saung sisanya gitu. Sekarang cafenya udah tutup sejak 2015," ceritanya.

Yudi biasa nongkrong di saung-saung cafe kala itu dan tribun Teater Terbuka. Sebetulnya, beragam genre biasa manggung di sana. Tapi, genre musik keras yang paling Yudi hindari.

Musisi dari Bandung membawa genre yang berbeda. Semua punya pendengar setianya masing-masing. Salah satu genre musik yang cukup menjamur di Bandung kala itu ialah musik metal. Tapi buat Yudi, katanya lebih suka mendengarkan musik alternatif dan pop ketimbang musik cadas.

"Saya enggak lah, saya nggak bisa. Nggak cocok sama musiknya itu saya nggak ngerti. Ya dulu lumayan rusuh juga sih kalau ada konser metal juga. Saya sukanya nonton Ipang, Efek Rumah Kaca (ERK) gitu dulu mah," ujarnya mengaku sambil tersenyum lebar.

Menurut Yudi, sampai sekarang wilayah Dago Tea House masih jadi tempat nongkrong. Buat mereka para anak baru gede (ABG) yang lagi seneng momotoran, sampai jadi tempat nongkrong buat para seniman. Cuma yang membedakan, sekarang Dago Tea House lebih sepi dan tak lagi asri.

"Ya sini mah masih jadi tempat nongkrong, anak motor gitu masih tapi jarang. Dulu mah parkiran ini penuh sama motor-motor, para nongkrong di sini. Terus kan dulu masih ada D3 Unpad jadi pada nongkrong di sini, sekarang mah cuma Gedung Pascasarjana sama komplek dosen," kenangnya.

"Dulu kalau masuk ada retribusi, tapi harganya cuma Rp1.000. Udah terus pada ke bagian dalem teater terbuka, saung-saungnya, itu kita masih bisa liat gitu (jarak pandang jauh tidak terhalang bangunan)," sambung Yudi.

Sekarang, Dago Tea House bebas dari retribusi. Cuma, pengunjungnya sepi. Cafe yang menghadirkan minuman atau cemilan juga sudah tak ada. Tempat ini ramai hanya kalau ada acara sedang digelar.

"Dulu itu area panggung ditambah riging lagi buat panggung kan. Musik apa aja bisa lah, tapi kebanyakan saya mah nontonnya Ipang, Sawung Jabo, Kantata Takwa, gitu. Yang baru-baru tuh The Panturas, The SIGIT, Rizky Febian juga sempet manggung di sini," cerita Yudi.

Upaya Dago Tea House Eksis di Tengah Perubahan

Seiring perkembangan zaman, perubahan pasti akan terjadi. Sebagai penikmat musik Bandung, Yudi bercerita kalau tragedi di Gedung Asia Africa Cultural Center (AACC) jadi salah satu yang membuat adaptasi baru pada industri musik.

Sekedar diketahui, tragedi maut sebuah konser terjadi pada Sabtu (8/2/2008) silam. Ada 11 remaja Bandung yang pamit ke keluarga untuk menonton rilis album band musik metal, namun malah pulang dalam keadaan tak bernyawa. Gedung legendaris itu kini dikenal sebagai Gedung De Majestic.

"Jadi kalau tahun 2006 lah, itu konser artisnya siapa, detail kayak gitu yang tahu cuma penyelenggara. Pihak gedung nggak tahu-menahu. Nah setelah kejadian itu, sempet acara konser jadi jarang lah. Terus juga jadi diperketat banget," kenang Yudi.

"Awalnya ketat jadi nggak boleh band-band metal, terus ditambah harus ada pengamanan, medis. Pengelola gedung juga harus dikasih tahu detail yang main siapa, gitu. Sekarang konser masih banyak, tapi udah nggak kayak dulu sih. Terus gedung ini juga nggak boleh sama sekali nih buat musik keras, paling yang tari-tari, musik yang pelan gitu aja, karena udah bangunan lama," tambah Yudi menjelaskan.

Sedikit kilas balik, Taman Budaya Jawa Barat dikenal sebagai Dago Tea House sebab pada zaman kolonial Belanda, merupakan salah satu tempat yang memiliki panorama paling indah di kota Bandung di kawasan Bandung Utara. Di sini, jadi spot ngeteh favorit para bangsawan Belanda, karena dapat menikmati pemandangan lembah kota Bandung yang indah dan mempesona.

Tempat ini sebetulnya punya nama resmi yakni Taman Budaya Provinsi Jawa Barat atau Balai Pengelolaan Taman Budaya Jawa Barat, yang diurus Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Pemprov Jabar. Meski begitu, masih banyak yang menyebutnya Dago Tea House karena jadi branding kuat dan daya tarik tersendiri.

Area tertutup Taman Budaya Jawa BaratArea tertutup Taman Budaya Jawa Barat Foto: Anindyadevi Aurellia/detikJabar

Penanggungjawab Gedung Taman Budaya Jawa Barat, Agung Kusnadi mengatakan bahwa gedung ini masih aktif untuk berbagai kegiatan kesenian. Gedung yang berdiri sejak tahun 1991 ini, memang seolah punya daya tarik sendiri selain dari sisi fungsi.

"Kegiatan di Taman Budaya mayoritas pagelaran mahasiswa dan komunitas. Tahun ini kita ada festival permainan dan seni rupa juga bersama 54 seniman dari Kota Kabupaten di Jabar. Memang dulu tempat ini juga jadi rekomendasi Presiden Soeharto karena view-nya bagus, Gedung Sate dulu masih kelihatan, jadi sebagai tempat pagelaran seni yang standarnya baik," kata Agung.

Ia pun bercerita kalau Dago Tea House dulu populer sebagai tempat manggung band besar, bahkan mayoritas band metal. Setelah pandemi berakhir, Agung ngaku mulai kebanjiran permintaan juga dari berbagai penyelenggara acara untuk mengulang nostalgia konser di teater terbuka Taman Budaya Jabar.

Agung pun sebetulnya ingin mengembalikan eksistensi Kota Bandung sebagai Kota Musik, dan Dago Tea House salah satu ikonnya. Sayangnya, ada banyak faktor yang membuat keadaan tak lagi sama.

"Tahun depan Insyaallah akan ada revitalisasi pada gedung. Memang bukan perbaikan total ya lebih ke perbaikan struktur untuk keamanan. Karena alasan tersebut jadi belum bisa diizinkan. Nah selain itu, kita sebetulnya mulai rutin sudah kelima kalinya tiap Jumat sore membuat acara musim bersama warga sekitar," tutur Agung.

"Tapi memang saat ini kondisinya berbeda ya, sekitar gedung itu sudah banyak rumah warga. Saya tuh ingin bangkitkan Dago karena banyak musisi berasal dari Dago seperti Purwacaraka, The Changcuters, tapi konser kan full suara kencang. Kami khawatir terjadi hal yang tidak diinginkan, ditambah dengan warga yang keberatan kalau ada konser sampai malam," imbuhnya.

Agung saat ini tengah mencoba perlahan, melakukan pendekatan untuk pelan-pelan membangkitkan eksistensi Dago sebagai titik bermusik. Bersama rekan-rekan dari Disparbud Jabar, mereka sudah punya bayangan ingin membuat pagelaran sambil ngopi dan ngeteh, mendendangkan kembali lagu-lagu nostalgia.

"Dulu kan ada cafenya dari pihak ketiga, tapi kemudian berhenti kerjasama dan bangunannya jadi nggak terawat. Rencana kami juga ingin bangun kembali dan menggandeng UMKM. Dimulai dari event akhir pekan supaya rame, ya semoga dari situ UMKM juga dapat spot seperti coffeeshop jadi menarik kunjungan," harapnya.

Area teater terbuka Taman Budaya Jabar memiliki kapasitas 1500-2000 orang. Sementara pada teater tertutup sebanyak 500-830 orang. Agung pun mempersilakan jika ada masyarakat yang hendak menyewa gedung, agar bisa bersurat dengan Disparbud Jabar.

Dago Tea House atau Taman Budaya Jawa BaratDago Tea House atau Taman Budaya Jawa Barat Foto: Anindyadevi Aurellia/detikJabar

"Dalam Perda Retribusi tahun 2023, sewa gedung teater tertutup atau terbuka sebesar Rp4.5 juta. Nanti ada juga biaya sewa lagi kalau butuh LED atau penginapan. Wisma kami itu sewanya Rp150 ribu per malam. Silakan kalau mau menggunakan bisa kirim surat dan proposal penggunaan gedung. Kami akan cek lebih lanjut," ucap Agung.

Selain untuk acara, Gedung Taman Budaya Jabar juga terdapat ruang workshop untuk pameran dan diskusi kesenian. Selain itu ada sanggar seni tari, perpustakaan, dan berbagai kerajinan khas Jabar seperti lukisan dan wayang golek.

Industri Musik Bandung, Dulu dan Kini

Seperti yang Yudi ceritakan, kalau mau tak mau, berbagai faktor membuat skena musik di Bandung tak lagi sama. Hal ini dibenarkan oleh Hinhin Agung Daryana, Musisi dan Akademisi Musik. Tapi apakah hal ini menghapuskan ciri khas Bandung sebagai Kota Musik? Hinhin menampik hal ini.

Memang saat ini, semua orang dan seluruh kota bisa memproduksi musik. Tapi sejauh amatannya, selalu ada musisi baru dari Kota Bandung yang tak pernah berhenti berkarya. Hanya saja, kini trennya sudah berbeda.

Konser kecil-kecilan atau gigs itu masih ada, tapi skalanya dibuat besar atau sekarang lebih dikenal sebagai festival musik. Plus kebanyakan, konser besar ini menggandeng musisi yang sudah punya nama. Kalau dulu, musisi yang masih merintis saja, pakai cara perkenalan secara langsung dari cafe atau studio. Sekarang, mereka memilih promosi secara online.

"Sampai hari ini festival itu trennya kolaborasi. Penyelenggara acara ya pasti profit-oriented ya, jadi mereka buat skala yang besar dan menggandeng korporat. Nah hal ini sebetulnya membuat band yang karakter musiknya segmented, jadi agak kekurangan daya dorong. Sistemnya tidak lagi bekerja sebagai tongkrongan kayak dulu. Masing-masing menjaga eksistensinya dengan cara sendiri," kata Hinhin.

Musisi yang belum muncul ke permukaan misalnya, jarang membuat studio show atau gigs seperti zaman Hinhin saat masih jadi gitaris Beside dulu. Tradisi itu semakin menghilang karena perkembangan sosial dan kultural yang mengganggu cara pandang mereka dalam mempromosikan bandnya.

"Dulu, metode yang dianggap paling efektif untuk promosi ya mengumpulkan banyak orang untuk kumpul di satu ruangan. Di situ bandnya bisa tampil dan dilihat banyak orang, sambil memperkuat hubungan masing-masing untuk berlanjut ke proyek selanjutnya. Kalau sekarang beda, medsos sudah semakin menjadi tolak ukur," sambungnya.

Eksistensi media sosial, dunia maya ini mau tak mau jadi tolak ukur dalam berkarir. Penyelenggara acara akan mempertimbangkan untuk mengundang musisi tersebut kalau dirasa cukup aktif di media sosial. Berbanding lurus juga ketika dia punya pengikut yang banyak.

"Band sudah tidak lagi menyibukkan diri, gaya pikirannya berubah. Tahun 90 gayanya ngumpul-ngumpul, 2000an mulai ada internet jadi band eksis di MySpace dan Friendster. Ke sininya jarang banget yang promosi offline, karena cukup banyak pertimbangan terutama pada modal," tutur Hinhin.

Kalau pun masih ada tradisi gigs yang berlanjut, pasti ada sponsor yang bergerak seperti clothing store, perusahaan rokok, atau minuman keras. Jadi, menurut Hinhin, ada pergeseran budaya dalam permusikan di Kota Bandung.

Hinhin juga yakin betul kalau dalam skala musik nasional, Kota Bandung masih punya peran cukup kuat. Bandung masih diperhitungkan untuk mencetak artis dan musisi skala nasional.

Potret keramaian konser musik West Java Festival 2024 di GOR Saparua, Bandung, Minggu (25/8/2024).Ilustrasi konser musik di Bandung Foto: Rachman/detikfoto

"Bandung masih jadi penyuplai artis cukup besar di nasional. Ya contoh aja hari ini ada Yura Yunita. Bukan hanya Bandung sih, Jawa Barat ya skala besarnya. Ada Tulus yang merintis dari Bandung. Band yang baru ada Juicy Luicy, band yang dulu juga masih aktif seperti /rif, Jamrud," ucap Hinhin.

Menjaga eksistensi band yang tidak mudah, membuat lambat laun lebih banyak solois jadi tenar. Beberapa di antaranya ada Ipang Lazuardi, Isyana Sarasvati, dan Yura Yunita. Tapi Hinhin menekankan kalau sampai kini, Bandung sebetulnya tak pernah kehabisan band atau musisi lokal.

"Kalau saya sebagai musisi, jadi soloist adalah jalan keluar untuk menghindari drama. Kita akan sangat bebas menentukan semua arah musik, cara jualan, citranya, dll. Soloist itu mungkin kesempatannya dia bagus, aktif di media sosial, terus biasanya good looking, liriknya bagus, biasanya gitu sih. Tapi itu, it's okay. Menurut saya itu sih nggak jadi masalah. Akan tetap ada orang yang ngeband karena percaya band itu bisa menghidupinya," ucap Hinhin.

Bukan cuma sekedar nongkrong, tapi membuahkan ide-ide yang ambisius. Mungkin itu gambaran tepat pemikiran para musisi lokal Bandung. Hinhin bahkan menyebut, ada tuntutan tersendiri buat para pemusik di Bandung.

Katanya, orang Bandung biasa mengulik musik dan punya genre atau ciri khas yang disukainya masing-masing. Dari saling menghargai pilihan musik yang berbeda, lalu memproduksi dengan kreativitas yang tinggi. Band dari Bandung mah, harus keren!

"Celotehnya anak band nih, kalau band Bandung itu harus keren. Jadi mereka selalu berusaha untuk membedakan band-nya dengan band lainnya. Di Bandung itu bukan urusan bagus atau tidak, tapi se-khas apa sih band kalian itu? Makanya Jamrud, Sahara, secara musik udah jelas beda. Padahal ya di dalam satu rantai genre yang sama, rock gitu," kata Hinhin.

"Kalau anak metal baru nih kayak 510, hardcore ada Bleach, atau Strangers, itu sama secara subgenre. Tapi mereka selalu selalu ingin beda. Di Bandung itu kalau beda tuh keren. Ada semacam standar yang tidak tertulis. Ini lah patokan kenapa musik di Bandung bisa se-kreatif ini," imbuhnya.

Meski bertahan di industri musik tidak mudah karena banyak pesaingnya, tapi Hinhin membakar semangat para musisi baru dari Bandung. Kelebihan kota yang suhunya lebih dingin, dekat dari Jakarta, terbiasa membangun hubungan antar teman dan media yang bagus, membuat musisi Bandung jadi kuat.

Social bonding di Bandung itu kuat dan masih diperhitungkan. Mungkin, banyak yang belum muncul ke permukaan, mungkin banyak yang ruang bermainnya kalah dari band-band besar, tapi dengan usaha keras untuk musisi baru tampi menjual, pasti bisa!

"Saya cukup pede sih ngomong ini karena memang tongkrongan itu penting untuk urusan promosi, sponsor, berbagi kolega dan lain-lain. Setiap orang pasti punya strategi masing-masing. Ada yang modal dukungan temen-temennya, musikalitasnya bagus, liriknya relate dengan remaja hari ini, keaktifan di media sosial. Semua orang punya kesempatan yang sama hari ini, meski ya hoki nggak semua," pesan Hinhin.

"Catatan untuk band, harus puter otak untuk selalu ada di ingatan setiap pendengarnya. Penjualan fisik sekarang berkurang dan mereka beralih ke penjualan merchandise. Semua harus mengupayakan band-nya muncul di timeline setiap orang, menjaga dirinya tetap eksis. Itu ya tidak bisa dihindari," ucapnya mengakhiri percakapan.

Halaman 2 dari 2
(aau/dir)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads