Bandung sejak lama dikenal sebagai gudangnya para musisi. Banyak musisi lahir dari kota berjuluk Paris Van Java ini. Mulai dari Harry Roesli hingga yang kini eksis Juicy Luicy.
Dalam buku 100 Konser Musik Indonesia oleh Anas Syahrul Alimi dan Muhidin M Dahlan, menyebutkan dari tahun 70-an nama Harry Roesli harum di Bandung. Ia mendirikan kelompok teater pada 1973, bernama Ken Arok.
Baca juga: Nasib Tak Menentu Konser Sheila On 7 di GBLA |
Kemudian, bersama kelompok ini ia lalu menggarap Opera Rock Ken Arok yang dipentaskan di Bandung pada 12 April 1975. Pertunjukan seni ini menggabungkan musik dan aksi pentas, termasuk tari dan drama. Musik Harry tak hanya menggugah, tapi juga inspiratif dan patriotik. Harry Roesli dikenal berani dan konsisten melancarkan kritik-kritik sosial.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Warna musik yang dipanggungkan dalam opera ini didominasi rok. Tak mengherankan kemudian, pada kisaran 70-an yang merupakan tahun pasang musik rok di Indonesia, musisi berambut gondrong ini mendapat sanjungan setinggi langit. Namun, sesungguhnya tak hanya warna rok, musik Harry ini juga terkandung unsur blues, funk jazz, dan progressive," tulis Anas dan Muhidin.
Masih di era 70-an, Komunitas Pecinta Musik Indonesia (KPMI) dalam buku Musisiku menyebutkan beberapa musisi dari Bandung yang mengukir sejarah musik nasional. Dua di antaranya yakni The Rollies dan Giant Step.
Dalam album pertama, The Rollies membawa warna soul dan R&B, brass section menjadi fondasi musiknya. Sementara di album kedua, The Rollies cenderung memainkan musik keroncong, langgam, dan lagu-lagu rakyat.
"Saat itu memang banyak kelompok musik Bandung yang tampil sebagai penghibur di Singapore mulai dari The Peels hingga Trio Bimbo. Masuknya pemusik jazz berdarah Ambon, Benny Likumahuwa, banyak mempengaruhi wawasan musik The Rollies. Pergeseran secara musikal pun mulai terjadi. Benny yang menguasai instrumen bas, drum, flute, trombone, dan saxophone, menyusupkan gagasan jitu yaitu mengetengahkan instrumen tiup sebagai bagian dari warna musik The Rollies," tulis buku tersebut.
Sementara Giant Step di era 1970-an, menjadi kebanggaan kaum muda Kota Kembang. Giant Step yang dipunggawai Benny Soebardja, dikenal melahirkan lagu rock lalu ke pop. Band ini juga salah satu yang membuat Deddy Dores dikenal sebagai pemusik 'spesialis' lagu-lagu Pop cinta yang mendayu-dayu.
Lompat ke tahun 90-an, jadi masa kejayaan musik di Bandung yang lebih menjamur lagi. Segala genre, ada! Fariz Roestam Moenaf atau Fariz RM, musisi legendaris era 80-an menuliskan catatan bermusiknya kala di Bandung.
Dalam bukunya yang berjudul 'Living in Harmony: jati diri, ketekunan, dan norma', lulusan Seni Rupa ITB itu menceritakan awal mula mengenal musik saat lagu arus utama dari SinΓ©ad O'Connor, New Kids On The Block (NKOTB) merajai tangga musik hits.
"Menjadi seorang anak muda di Bandung pada awal 1990-an yang juga sedang menyelami proses pencarian jati diri. Satu hal yang mash saya ingat ketika membahas generasi awal 1990-an adalah adanya keinginan mencari jati diri lewat musik. Anak muda seperti sangat haus informasi dan cenderung melahap berbagai referensi musik yang tersedia. Beberapa rak kaset dengan label new wave yang ada di toko Aquarius, Dago, sudah habis saya lahap," ceritanya dalam buku tersebut.
Namun, perasaan 'kurang' terhadap musik yang berbeda, terasa kuat. Hal ini menumbuhkan kreativitas para pecinta musik. The Rollies jadi salah satu contoh pelaku urbanisasi versi industri musik.
"Hampir semua pemusik daerah berbasis di Jakarta dan tak lagi menyandang embel-embel kota asal mereka sebagai identitas. Mungkin saat ini hanya Bandung-lah yang masih menyisakan grup musik atau pemusik 'kualitas ekspor' untuk di hijrahkan ke Jakarta," ucapnya.
Kebiasaan nongkrong dan lebih banyak paparan musik membuat gigs di Bandung lebih menjamur. Salah satunya genre Indie Pop. Mengutip dari buku Bandung Pop Darlings yang ditulis Irfan Popish, pentas seni sekolah, kampus, dan acara komunitas jadi media paling efektif untuk promosi.
Baik itu promosi band local sampai promosi genre musik yang dibawakan. Maklum, saat itu referensi musik belum terlalu kaya dan mudah dikonsumsi.
Skena Indies banyak terpengaruh dari hadirnya jaringan internet. Persebaran musik-musik pop barat terutama Britpop, semakin menjamur dan mudah didengarkan. Beberapa tayangan televisi seperti MTV menjadi acuan utama para Indies.
Irfan Popish dalam kanal YouTube Noise Land juga menceritakan pada tahun 1991-1992, genre Indie Pop sudah ada yang mendengar meski belum banyak sebut saja Pure Saturday, Mocca, dan lainnya. Komunitas Britpop baru muncul di pertengahan tahun 90-an.
"Orang yang dapat akses ke luar negeri, dapat majalah luar negeri, jadi punya referensi band pop di antaranya inide pop. Dulu indie pop masih terbatas di tongkrongan skate di Taman Lalu Lintas. Muncul Pure Saturday, band yang mulai kerap manggung sampai jadi peradaban musik baru," ucapnya.
Meskipun musisi segala genre bisa saja manggung di Lapangan Saparua, namun kesempatannya tak sama. Anak Indies cenderung dipandang lebih berkelas, stylish, dan wangi. Seperti tak cocok untuk nongkrong di Saparua, bahkan anak indies kerap diejek banci.
"Mereka biasa nongkrong di Kintam atau Taman Radio, daerah Dipati Ukur. Ya selera musik yang berbeda dan style yang androgyny seperti luar negeri dengan jaket bulu-bulu," cerita Irfan.
Di waktu bersamaan yakni tahun 1995, Lapangan Saparua lebih tenar dengan beberapa konser musik underground seperti Gorong-gorong, Hullabaloo, dan Bandung Berisik. Band-band beraliran bawah tanah bermunculan di Kota Bandung saat itu. Mulai dari Burgerkill, Jasad hingga Purgatory yang beraliran metal, hingga Runtah, Turtle Jr dan The Clown yang menjadi band pelopor punk di Bandung.
Bandung Berisik 1 misalnya, dilaksanakan 23 September 1995. Dalam buku 100 Konser Musik di Indonesia, diceritakan kala itu konser pertama digelar di Lapangan Kaum Kidul, Ujungberung. Kondisi lapangan jelas berdebu akibat terinjak oleh kaki-kaki yang dengan penuh semangat slamdancing, istilah sekarang lebih dikenal dengan moshing.
![]() |
Aksi-aksi stage diving yang mendebarkan kerap mewarnai setiap penampilan band. Wajah-wajah berkeringat dengan ekspresi yang gelap, sangar, seolah penuh amarah. Mereka bernyanyi, tapi juga sambil menghantam, berteriak parau, dan acungan tangan ke udara dengan berbagai simbol seperti metal tiga jari.
"Band yang main di BB1 mewakili komunitas musik yang tersebar di seantero Bandung, seperti Full Of Hate dan Behead dari komunitas musik TL, Fatal Death dari komunitas musik Cihampelas, Morbus Corpse dari komunitas musik BLU. Jasad dan Sacrilegious yang menjadi band paling di-tunggu dalam konser itu tampil memukau. Kedua tali pusar band itu ditanam di Ujungberung," tulis buku itu.
Masih di tahun yang hampir berbarengan, beberapa anak muda Bandung yang sudah merantau ngeband di Jakarta mulai memetik buah manisnya. Lagu-lagu mereka meledak di pasaran. Sebut saja Gigi, /rif, Pas Band, yang kemudian beberapa tahun setelahnya jejak kesuksesan diikuti oleh Cokelat, Peterpan, dan lainnya.
Menjaga eksistensi band yang tidak mudah, membuat lambat laun lebih banyak solois jadi tenar. Beberapa di antaranya ada Ipang Lazuardi, Isyana Sarasvati, dan Yura Yunita.
Sampai kini, Bandung sebetulnya tak pernah kehabisan band atau musisi lokal. Hanya saja, mungkin mereka masih merintis mengingat perjuangan para senior pendahulunya pun butuh langkah yang tak instan.
Salah satu band yang bisa berjaya di tengah semakin ramainya industri musik, ialah Juicy Luicy. Selain tema lagu, lagi-lagi kekuatan nongkrong dan sosialisasi jadi kunci!
"Upaya dia untuk terkenal, keaktifan dia di media sosial, penampilan di atas panggung, dan liriknya yang relate bikin Juicy Luicy bisa tiba-tiba boom setelah sekian tahun ngeband. Lagunya ringan, banyak orang yang mengalami hal yang sama, termasuk Uan juga orang cukup aktif di semua lingkungan, punya geng dan suka main bola misalnya, itu mempengaruhi juga," ucap Hinhin Agung Daryana, Musisi sekaligus Pengamat Musik.
(aau/dir)