Jalanan menanjak dan berbelok cukup tajam ada di salah satu ruas Jalan Kadudampit, Kabupaten Sukabumi. Tanjakan itu diberi nama Tanjakan Cipeuncit. Di bagian sisi kanan atau kirinya terdapat tebing yang rimbun dengan pohon bambu. Kondisi itu membuat siapapun yang melintas cukup merasakan hawa keangkeran.
Penamaan Cipeuncit bagi jalan menanjak itu cukup menarik untuk diulas. Pasalnya, peuncit yang merupakan bahasa Sunda berarti disembelih atau digorok. Lokasinya berada di Kampung Renged, Desa Cipetir, Kecamatan Kadudampit, Kabupaten Sukabumi.
Di kalangan masyarakat, cerita Tanjakan Cipeuncit sebagai tempat pembuangan gerombolan DI/TII (Darul Islam atau Tentara Islam Indonesia) diturunkan dari generasi ke generasi. Salah satunya seperti yang diceritakan Ipit (55).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Dulu itu cerita dari ibu saya. Jadi katanya dulu itu gerombolan (sebutan bagi DI/TII) dipeuncitan (digorok) di sini. Sembunyinya di Goa Cadas Gantung," kata Ipit kepada detikJabar beberapa waktu lalu.
Sejarawan Irman Firmansyah membenarkan terkait cerita tersebut. Dia mengatakan, Tanjakan Cipeuncit konon sempat menjadi tempat pembuangan mayat para pemberontak DI/TII di Sukabumi.
Semuanya bermula dari pergerakan mereka sejak diproklamasikannya Negara Islam Indonesia (NII) pada 7 Agustus 1949. Aktivitas mereka semakin merajalela pada tahun 1950-an.
"Salah satu tempat pengacauan DI/TII di Sukabumi adalah wilayah Kadudampit, mengingat Kadudampit tidak begitu jauh dari basis persembunyian mereka di Gunung Gede. Pemberontakan ini sulit dipadamkan karena basis mereka di pegunungan. Mereka juga mempengaruhi sebagian masyarakat karena mengatasnamakan Islam dalam perjuangannya," ujarnya.
Banyak sejarawan menilai, DI/TII berdiri bukan karena ingin mendirikan negara Islam melainkan karena kecewa terhadap Perjanjian Renville serta ambisi pemimpinnya. Khusus di Sukabumi, pemberontakan DI/TII berpusat di Gunung Gede, Gunung Rosa, Tenjo Jaya, Pajampangan, Gunung Salak dan sebagian Gunung Walat.
"Mereka memaksa para petani untuk menyerahkan hasil bumi seperti padi dan biasanya mereka beraksi pada malam hari. Masyarakat juga terjepit karena leluasanya DI/TII masuk ke kampung- kampung dan mengumpulkan ghonimah," katanya.
Pada masa tersebut, kata Irman, memang seringkali terjadi penculikan dan pembunuhan yang dilakukan oleh anggota DI/TII kepada masyarakat yang ditengarai mendukung TNI atau mendukung PKI. Misalnya Sarodin yang menciduk dua orang PKI di wilayah Parungseah, Sukabumi.
"Keduanya malam-malam dibawa ke tengah sawah dan disembelih menggunakan kaleng sarden. Konon Sarodin ini jago silat dan tidak tembus peluru. Seorang lurah bernama Neneng juga dibunuh oleh DI/TII," ungkapnya.
Memasuki tahun 1953, situasi di bidang militer mulai banyak menguntungkan gerakan Darul Islam. Pada waktu itu seringkali terjadi pertempuran antara TNI dengan TII, rata-rata setiap hari ada seorang korban tewas di pihak TNI. Kondisi itu berlanjut terus hingga tahun 1954 dengan korban yang semakin banyak.
Selain itu, banyak di antaranya tokoh DI/TII dibunuh TNI di sekitar Kadudampit. Misalnya seperti Mualim Mukti bersama pasukannya tewas ditembak pada tanggal 26 April 1954.
Dia mengatakan, Kadudampit dan Cisaat memang seolah menjadi tempat jagal DI/TII karena tak hanya tokoh kecil yang berhasil ditembak mati oleh pihak TNI namun juga tokoh-tokoh pentingnya. Seperti Achmad Sungkawa yang terbunuh oleh pasukan TNI pimpinan Mayor Akhmad Wiranatakusumah melalui Gerakan type C infanteri 8.
Kemudian, Batalion 320 juga dikerahkan untuk memukul mundur gerombolan di Kampung Garuda, Desa Cipetir. Saat itu, sebanyak 50 gerombolan DI/TII tewas, di sisi lain seorang TNI juga gugur dalam pertempuran tersebut. Keesokan harinya, sembilan anggota gerombolan yang kelaparan pun menyerah.
Terkait penyembelihan para pemberontak baik oleh TNI maupun masyarakat memang belum ada informasi resmi dari catatan sejarah. Namun masyarakat sekitar menyebutkan bahwa para anggota gerombolan DI/TII yang ditangkap kemudian disembelih di sekitar Tanjakan Cipeuncit.
"Mengingat perang ini cukup panjang, memang sangat dimungkinkan terjadi peristiwa penyembelihan tersebut karena dalam perang ada upaya untuk menghancurkan mental lawan, membunuh dengan cara sadis," kata Irman.
Sampai tahun 1957, pelaksanaan operasi penumpasan terhadap TII masih belum dapat berjalan dengan sempurna. Gerakan operasi yang dilakukan TNI dinilai masih bersifat pasif-defensif, yakni masih menggunakan pos-pos penjagaan yang sifatnya menetap.
Para ahli perang Divisi Siliwangi kemudian menciptakan taktik antigerilya yang disebut 'Pagar Betis.' Taktik ini diterapkan dalam usaha pengisolasian gerakan DI/TII dan bertujuan untuk mendesak TII ke suatu daerah tertentu. Setelah kesatuan TII terdesak maka daerah tersebut kemudian dilingkari dengan garis pertahanan.
Operasi yang dilakukan di komplek Gunung Gede dan Gunung Pangrango telah terbukti berhasil, yaitu menyerahnya seorang tokoh TII yang bernama Zaenal Abidin alias Heru Cokro. Perkampungan yang letaknya di belakang pos-pos Pagar Betis tidak sedikit yang dibakar dan dihancurkan. Seluruh penduduk kampung-kampung tersebut diungsikan ke kota-kota, sehingga otomatis komunikasi dengan rakyat pendukung DI/TII putus total.
Teknik lain yang digunakan untuk memaksa anggota satuan DI/TII menyerah yaitu dengan menduduki sawah yang dimiliki atau dikerjakan oleh kaum kerabat DI/TII sehingga hasil panennya ini tidak digunakan untuk memberi makan anggota satuan DI/TII.
Penumpasan terus dilakukan, hingga pada akhirnya Bupati Militer DI/TII Noar Bajo ditangkap diCipelang pada 7 September 1961. Di sisi lain, seorang warga Belanda yang mendukung Gerakan DI/TII yakni CH Van Kleef, mantan anak buah Westerling, akhirnya tewas juga di wilayah Cisaat pada tahun 1960-an.