Dimulai oleh Sekarmadji Maridjan Kartosuwirjo, gerakan ini berjalan sekitar tahun 1948-1949 di Jawa barat. Sejak saat itu, pemberontakan menyebar ke berbagai daerah lain yakni Jawa Tengah, Aceh, Sulawesi Selatan dan Kalimantan Selatan.
Di Sukabumi, terdapat satu tempat yang menjadi tempat persembunyian gerombolan DI/TII. Tempat itu merupakan sebuah gua yang berada di saluran irigasi.
Lokasinya berada di perbatasan antara Desa Karawang, Kecamatan Sukabumi dan Desa Undrus Binangun, Kecamatan Kadudampit, Kabupaten Sukabumi. Konon, gua tersebut dibuat oleh pribumi saat masa penjajahan Jepang.
Jalan menuju gua harus melintasi lembah di antara dua bukit yang cukup curam. Perjalanan detikJabar dimulai dari Kampung Kadupugur Kaler RT 25/09 Desa Undrus Binangun, Kadudampit.
Untuk tiba di gua Coblong harus menuruni bukit dan menyeberangi sungai kecil. Meski berada di dasar jurang, kondisi jalan menuju gua itu sudah berupa tangga-tangga kecil sehingga mempermudah akses untuk jalan setapak.
Di sekitar tembok-tembok gua terdapat coretan-coretan tulisan yang mungkin dibuat oleh pengunjung dengan menggunakan benda tajam. Penulis Buku Soekaboemi The Untold Story, Irman Firmansyah mengatakan, kontruksi gua itu seperti buatan Jepang.
"Kontruksinya tidak menunjukan tembok khas infrastruktur Belanda, namun seperti batu cadas alam yang dilubangi hingga tembus sekitar 130 meter lebih melewati bukit. Konon gua ini dibangun oleh masyarakat atas perintah penjajah Jepang sehingga irigasi dari sungai Cisalada dapat mengaliri Kampung Undrus Winangun dan Kampung Tenjolaya," kata Irman kepada detikJabar beberapa waktu lalu.
Irman menukil majalan berita Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie terbitan 23 Januari 1954. Di dalamnya disebutkan kisah kesadisan gerombolan DI/TII yang dipimpin Tan Li Ho alias Dimyati dan rekannya bernama Sarodin di wilayah Sukabumi, Jawa Barat.
Jalan masuk gua atau mulut gua itu cukup dangkal sehingga jika ingin masuk maka harus membungkukkan badan. Namun di bagian dalamnya tinggi cukup untuk ukuran orang dewasa.
Kabar gua Coblong yang jadi tempat persembunyian gerombolan DI/TII sudah tersebar di lingkungan masyarakat. Di dalam gua nampak ada lekukan seperti balai-balai yang bisa untuk orang duduk atau berbaring, konon di situlah para gerombolan beristirahat dan berlindung.
"Dulu mah polisi disebut Perintis, mereka sering mengejar para gerombolan, namun gua Coblong menyelamatkan gerombolan itu karena bisa lari ke seberang bukit dengan cepat," kata Irman menceritakan kembali setelah berbincang dengan salah satu saksi hidup di sana.
![]() |
Dia mengatakan, nasib baik tak selalu berpihak pada mereka. Kadang-kadang tentara mengepung mereka dari dua arah pintu masuk dan keluar gua sehingga tertangkap.
"Beberapa kali terdengar masyarakat berteriak ada gerombolan tertangkap di gua Coblong, tapi nggak ada satupun yang berani melihat, karena takut ditandai dan kemudian dibunuh," tambahnya.
Sementara itu, markas gerombolan sendiri berada beberapa meter di atas bukit, tanahnya tinggi namun rata sehingga mudah mengintai dan juga mengincar desa-desa di sekitarnya. Sulitnya medan yang dihalangi lembah curam, seolah menjadi benteng alami bagi para pemberontak itu.
Sementara itu, air yang melimpah turut memudahkan mereka untuk mengurusi keperluan sehari-hari. Sedangkan untuk bahan makanan, mereka tetap menggunakan cara klasik di masa perang digunakan, yaitu merampok desa sekitar. Irman mengatakan, banyak rumah dibakar dan hartanya dijarah tanpa ampun oleh gerombolan ini termasuk Kampung Karawang Girang.
"Dalam majalah Belanda disebutkan kisah kesadisan gerombolan DI/TII yang dipimpin Tan Li Ho alias Dimyati, dan rekannya bernama Sarodin. Mereka membawa 100 orang pasukan dan menyerang Kampung Tenjolaya, Desa Karawang. Satu orang dibunuh dan 16 rumah dibakar," katanya.
"Pada malam sebelumnya Kampung Tenjolaya sudah didatangi gerombolan dari sekitar gua Coblong tanpa diganggu. Namun karena ada warga yang bertemu tentara, maka dianggap telah melaporkan keberadaan gerombolan sehingga akhirnya mereka datang kembali dan membakar kampung," ungkap Bu Ejeh.
Sesudah membakar Kampung Tenjolaya, gerombolan kemudian bergerak ke Kampung Cipeundeuy dan membunuh satu orang penduduk serta membakar sekitar 20 rumah. "Kampung Cipeundeuy akhirnya kosong ditinggalkan dan masyarakatnya pindah ke desa Cikalong. Pada saat itu semua serba susah, mulai dari makanan hingga pakaian dijarah," tambah Bu Ejeh.
Warga setempat kala itu selalu berpindah rumah karena diancam oleh yang mereka sebut 'gerombolan.' Pakaian keluarganya dimasukan ke peti dan kemudian disimpan di atas pohon supaya tidak dijarah. Pada saat mau dipakai peti itu diturunkan dengan kerekan, dan diangkat kembali ke atas pohon.
"Waktu itu masyarakat seperti gembel karena pakaian susah. Gerombolan itu sangat serakah hingga kasur saja dibongkar isinya karena curiga menyimpan harta," terangnya.
Gua Coblong itu menjadi saksi bisu kisah kelam DI/TII di Sukabumi. Kini kondisinya tak terawat meski sempat dijadikan tempat wisata. Kisah gua Coblong jadi tempat wisata akan diceritakan dalam kanal detikJabar Lorong Waktu berikutnya. (yum/yum)