Bandung - Perang sarung yang semula sebatas tradisi untuk kesenangan anak-anak dan remaja seusai salat tarawih pada bulan Ramadhan, kini berubah menjadi ajang kriminalitas. Nama 'Perang Sarung' kini sudah identik dengan perilaku jahat, pembacokan, pengeroyokan, hingga menimbulkan korban luka dan jiwa.
Baru-baru ini di Kota Sukabumi, perang sarung pecah dan seseorang menjadi korban bacok dalam peristiwa itu. Perang sarung yang sudah keterlaluan seperti ini dapat diancam dengan pasal pidana.
Namun, sebelum ke pasal pidana, yuk kita mengenal apa itu sarung dan tradisi perang sarung sampai perubahannya menjadi perang dalam makna sebenarnya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sarung yang Khas Nusantara
Kain sarung tampaknya sudah menjadi ciri khas nusantara. Sarung identik dengan pakaian para santri di pesantren-pesantren tradisional, meskipun ada pula masyarakat adat yang telah terbiasa dengan mengenakan sarung dalam kehidupan sehari-hari.
Namun, tampaknya sarung lebih identik dengan pakaian umat Islam. Sarung biasa dipakai untuk melaksanakan salat, bahkan kini sering digunakan oleh para pemuka agama pada acara-acara formal.
Studi oleh Muhammad Rifan (2023) di UIN K.H. Abdurrahman Wahid Pekalongan tentang sarung menyebutkan bahwa sarung memang identik dengan kaum santri.
"Budaya sarungan di pondok pesantren menjadi suatu aktifitas yang biasa dilakukan oleh kaum santri. Kebiasaan santri yang menggunakan sarung di dalam aktifitas pesantren maupun di luar pesantren menjadikan budaya sarungan dinisbatkan sebagai budaya resmi pondok pesantren. Santri tidak hanya menggunakan sarung dalam kegiatan keagamaan saja, tidak jarang santri menggunakan sarung saat bermain bola, masak, atau pergi ke pasar." tulisnya.
Bukan hanya kaum santri, masyarakat Bugis di Makassar, Sulawesi Selatan juga punya kebudayaan yang bertalian dengan sarung. Di antaranya ada tradisi Tarung Sarung, yaitu sebuah tindakan penyelesaian antara dua orang yang berselisih. Keduanya bertarung dalam sarung.
Sarung, Pakaian Tradisional Warga Jawa Barat
Masyarakat di Jawa Barat mengenal sarung sejak lama. Bahkan, sarung menjadi bagian dari pakaian tradisional orang Sunda ini. Dalam buku Pakaian Tradisional Daerah Jawa Barat terbitan Depdikbud RI tahun 1988, disebutkan sarung sebagai pakaian orang Sunda.
Ada dua jenis sarung: Sarung poleng dan sarung batik. Sarung poleng merupakan kain sarung dengan motif garis-garis lurus berbagai warna dari atas ke bawah atau juga bermotif kotak-kotak. Sementara kain sarung batik, kain serupa dengan motif sinjang atau samping kebat yang sering dipakai perempuan.
Bagaimana cara memakai sarung? Buku itu menjelaskan:
Mula-mula kain sarung disarungkan pada tubuh, hingga sisi atasnya sebatas pinggang. Pegang sisi atasnya oleh kedua belah tangan. Bentangkan ke arah samping. Lipat sisi kain yang dipegang oleh tangan kiri, ke arah depan kanan. Kemudian lipat sisi kain yang dipegang oleh tangan kanan, ke arah depan kiri, hingga kedua lipatan kain dari kiri dan kanan bertumpu di tengah pinggang bagian depan. Gulungkan tumpuan lipatan kain, gulungkan ke arah luar sebanyak dua atau tiga kali.
Demikianlah sarung dan cara memakainya di masyarakat Sunda. Sarung biasanya dipasangkan dengan baju koko, atau baju jas untuk sarung batik.
Asal-usul Tradisi Perang Sarung
Studi berjudul "Perang Sarung dalam Dinamika Sub Kultur dan Kekerasan Kelompok di Bulan Ramadhan" oleh Antonius Faebuadodo Gea, dkk. dari Sespim Lemdiklat Polri dan dimuat dalam EKOMA: Jurnal Ekonomi, Manajemen, Akuntansi Vol.3, No.3, Maret 2024, menyebutkan bahwa perang sarung mula-mula hanyalah tradisi yang tidak mengarah pada kriminalitas.
Tidak disebutkan secara pasti kapan tradisi ini dimulai, namun tradisi perang sarung dilakukan pada malam Ramadan seusai salat tarawih. Mereka yang aktif dalam perang sarung adalah anak-anak hingga remaja.
Tradisi ini diwariskan secara turun temurun. Tradisi perang sarung, yaitu dengan 'bermain perang-perangan menggunakan sarung yang ujungnya diikat menjadi bandul empuk' adalah ekspresi kebudayaan masyarakat.
Hal ini menjadi wajar ketika dilakukan dalam batas-batas yang juga wajar. Lain halnya ketika perang sarung berubah menjadi ajang balas dendam yang sampai menimbulkan korban luka dan korban jiwa.
"Fenomena perang sarung seringkali ditemui pada saat bulan Ramadhan. Awalnya perang sarung ini sebagai media untuk bermain saja, namun kini beralih fungsi menjadi media untuk menyelesaikan ataupun memperburuk keadaan suatu masalah," tulis jurnal tersebut.
Jurnal tersebut menjelaskan bahwa perang sarung justru menjadi arena para anak-anak dan remaja untuk menyelesaikan perseteruan yang menyeruak di antara mereka.
"Pelaku dari perseteruan mencakup dari kalangan orang dewasa, remaja dan anak-anak. Jika pada kalangan dewasa berseteru dengan tawuran antar kampung, mengadu domba, dan lain sebagainya, anak-anak dan remaja salah satunya berseteru dengan perang sarung," tulisnya.
Ancaman Pidana Perang Sarung dan Tawaran Pencegahan
Perang sarung semakin sering memakan korban. Biasanya yang menjadi korban adalah salah satu anggota kelompok lawan yang terpojok lalu diserang secara bersamaan oleh orang-orang dari kelompok yang memojokkan. Mereka mengeroyoknya.
Jika sudah seperti ini, boleh dikatakan perang sarung yang sampai menimbulkan korban luka bahkan jiwa adalah tindakan kriminal. Polisi bisa menyelidiki pelanggaran pasal apa yang terjadi pada sebuah kasus perang sarung. Namun, yang paling umum adalah pengeroyokan.
Skripsi berjudul "Penegakan Hukum Tindak Pidana Pengeroyokan dengan Perang Sarung (Studi Putusan Nomor 57/Pid.B/2022/PN.Slw)" oleh Wisnu Saputra (2024) di Fakultas Hukum Universitas Panca Sakti Tegal mengungkapkan keterkaitan perang sarung dengan tindakan kriminal pengeroyokan.
Seseorang yang berada dalam kelompok yang mengeroyok boleh dikatakan mendukung pengeroyokan itu. Dan itu juga bisa terkena pasal pidana, yaitu Pasal 170 KUH Pidana.
"Beberapa pendapat para ahli yang pertama yaitu Chazawi, mengatakan bahwa mencakup seluruh bentuk keikutsertaannya ataupun keterlibatannya seseorang, bisa secara psikisnya maupun fisiknya dengan dilakukannya suatu tindakan hingga munculah sesuatu tindakan pidana. Pendapat ahli selanjutnya yaitu Wirjono Prodjodikoro juga mengatakan bahwa setidaknya ada satu orang yang ikut serta ketika orang lain melakukan kesalahan. Atas dasar pendapat ahli, bisa disimpulkannya bahwasanya pengertian tindakan pidana pengeroyokan merupakan tindakan pidana yang apabila dilaksanakan lebih dari satu individu, tercantum diatur di Pasal 170 KUHP." tulisnya.
Bagaimana dengan ancaman hukuman bagi pelaku pengeroyokan? Baik itu melalui kegiatan perang sarung maupun yang lainnya? Wisnu Saputra menjelaskan, di dalam pasal 170 KUHP diterangkan setiap seseorang yang terang-terangan melangsungkan kekerasan terhadap orang pribadi atau harta benda, dapat dihukum dengan pidana penjara paling lama 5, 6 tahun.
Pelakunya dihukum dengan pidana penjara paling lama 7 tahun, bila ia dengan sengaja merusak harta benda atau tindakan yang dilakukannya menimbulkan kerugian. Hukumanya penjara paling lama 9 tahun bagi pelaku, apabila kejahatan menimbulkan kerugian besar yang berat. Dan, penahanan terbesar selama 12 tahun dengan tindakan kekerasan yang berakibat meninggalnya seseorang.
Antonius Faebuadodo Gea, dkk. dari Sespim Lemdiklat Polri dalam jurnal berjudul "Perang Sarung dalam Dinamika Sub Kultur dan Kekerasan Kelompok di Bulan Ramadhan" mengatakan perlu keterlibatan tokoh masyarakat dalam pencegahan perang sarung. Kontrol sosial akan membuat para anak-anak dan remaja terhindar dari kriminalitas melalui perang sarung itu.
"Oleh karena itu, penting bagi pihak terkait, termasuk pemimpin masyarakat dan lembaga sosial, untuk mengelola dan mengarahkan fenomena ini secara positif. Langkah-langkah seperti memfasilitasi dialog antar kelompok, memberikan pemahaman tentang nilai-nilai toleransi dan kerukunan antar umat beragama, serta mengembangkan alternatif kegiatan yang lebih produktif dan bermakna selama bulan Ramadhan dapat membantu mengurangi dampak negatif dari perang sarung untuk gengsi antar kelompok." tulisnya.
(iqk/iqk)