Masyarakat Sunda yang tinggal di Jawa Barat punya tradisi unik nan penuh makna dalam menyambut datangnya bulan suci Ramadan. Tradisi ini tentu berasal dari Sunda sendiri dan telah mengakar kuat dan dipraktikkan hingga kini.
Pada bulan Ramadan, masyarakat Sunda kini yang notabene adalah Muslim akan menjalankan ibadah puasa selama sebulan penuh. Bukan sebatas melaksanakan kewajiban puasa, namun juga memperbanyak pelaksanaan ibadah mahdlah (yang telah ditentukan) dan perbuatan yang bernilai ibadah lainnya.
Tradisi unik yang dimaksud adalah 'Munggahan', berasal dari kata 'unggah' dalam bahasa Sunda yang berarti naik. Ada banyak kegiatan yang dilakukan masyarakat dalam munggahan ini, mulai dari bersih-bersih lingkungan, bersih-bersih kompleks pemakaman, mendoakan para leluhur yang telah tiada, makan bersama, hingga mandi besar.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Tradisi ini memang khas masyarakat lokal Jawa Barat. Jika pun dicari "dalilnya" dalam sumber hukum Islam, mungkin tidak ada yang berbicara secara khusus mengenai munggahan ini.
Ini karena munggahan merupakan bentuk dari pembauran tradisi di Sunda yang disesuaikan dengan ajaran Islam. Bagaimana asal-usul munggahan sebagai tradisi menyambut Ramadan ini? Artikel ini akan membahasnya sampai tuntas.
Apa itu Sunda?
Kata Sunda akan memunculkan beragam tafsir. Kata itu bisa merujuk kepada wilayah, etnis, bahkan agama kuno yang dianut masyarakat di bagian barat Pulau Jawa ini sebelum datangnya Islam.
Studi berjudul "Berketuhanan dalam Perspektif Kepercayaan Sunda Wiwitan" oleh Ira Indrawardana dalam Jurnal Melintas, 2014 mengutip P. Djatikusumah, menyebutkan setidaknya ada tiga arti yang dirujuk oleh kata Sunda:
1. Makna Filosofis
Sunda berarti bodas (putih), bersih, cahaya, indah, bagus, cantik, baik dan seterusnya.
2. Sunda Sebagai Etnis
Kata Sunda berarti juga sebuah komunitas masyarakat suku bangsa Sunda. Dalam hal ini berkaitan dengan kebudayaan Sunda yang melekat pada cara dan ciri manusia Sunda.
3. Wilayah Geografis
Kata Sunda juga berarti sebagai penamaan suatu wilayah berdasarkan peta dunia sejak masa lalu terhadap wilayah Indonesia (Nusantara), yaitu sebagai tataran wilayah 'Sunda Besar' (The Greater Sunda Islands) dan 'Sunda Kecil' (The Lesser Sunda Islands).
Kepercayaan Sunda Wiwitan
Ada sejumlah pihak yang percaya agama yang dianut masyarakat di Sunda sebelum datangnya Islam adalah agama Kapitayan (dengan konsepsi Sanghyang Semar dan Sanghyang Togog sebagai simbol kebaikan dan kebalikannya); Sunda Wiwitan atau Jati Sunda; dan Hindu.
Sedikit atau banyak, agama-agama (dibaca pula: Kepercayaan) itu membentuk tradisi yang mengakar kuat di masyarakat, bahkan hingga datangnya Islam.
Terkhusus Sunda Wiwitan, kepercayaan ini mengajarkan penganutnya untuk punya hubungan yang erat dan baik dengan leluhur, alam, dan manusia.
"Masyarakat Sunda selalu berusaha melestarikan dan menjaga warisan budaya Sunda nenek moyangnya. Hal ini bermaksud untuk menjaga keseimbangan hubungan antara alam dengan manusia." tulis Alam Tarlam, dkk. dalam studi berjudul Budaya Unik "Munggahan" Menjelang Bulan Ramadhan Di Kabupaten Subang Jawa Barat: Studi Antropologi Al-Qur'an, dimuat Jurnal Urwatul Wutsqo, 2024.
Tradisi Munggahan
Istilah 'Munggahan' berasal dari kata 'unggah' yang berarti naik. Menurut Tata Twin Prehatinia dan Widiati Isana dalam jurnal di UIN Sunan Gunung Djati Bandung berjudul "Perkembangan Tradisi Keagamaan Munggahan Kota Bandung Jawa Barat Tahun 1990-2020", kata unggah pada mulanya berkaitan dengan arwah leluhur.
Namun, seiring dengan masuknya Islam di tatar Sunda terjadi penyesuaian-penyesuaian yang selaras dengan nilai tradisi Sunda dan Islam.
"Munggah berasal dari kata unggah yang berarti naik atau meningkat, yang konon pada zaman dahulu roh dan arwah nenek moyang atau kerabat yang sudah meninggal. Sesuai dengan pengertiannya, kata munggah tersirat arti perihal perubahan ke arah yang lebih baik yang berasal dari bulan sya'ban menuju bulan Ramadhan untuk meningkatkan kualitas iman kita saat sedang berpuasa dalam bulan Ramadhan." tulis jurnal itu.
Munggahan dilaksanakan masyarakat pada beberapa hari menjelang masuknya bulan Ramadan. Biasanya sepekan sebelum puasa berlangsung. Masyarakat bisa melakukan munggahan dalam sebuah rangkaian. Misalnya, didahului dengan berziarah, kemudian berwisata, hingga bersantap makanan bersama.
Nilai-nilai Munggahan dalam Sudut Pandang Islam
Jika mencari dalil naqli (tekstual) tentang munggahan, tentu tidak akan ketemu. Kegiatan-kegiatan di dalam munggahan dapat dipandang secara parsial untuk kemudian dicocokkan dengan teks-teks ke-Islaman.
Misalnya, tradisi berziarah yang dilakukan oleh masyarakat Sunda dalam masa munggahan, dapat ditemukan teks Islamnya berupa hadits nabi yang membolehkan berziarah kubur.
"Dahulu saya melarang kalian berziarah kubur, tapi (sekarang) berziarahlah kalian, sesungguhnya ziarah kubur dapat melunakkan hati, menitikkan (air) mata, mengingatkan pada akhirat, dan janganlah kalian berkata buruk (pada saat ziarah)," (HR. Hakim).
Kegiatan lain seperti bersih-bersih perkampungan dan kompleks pekuburan juga dianjurkan oleh Islam dalam bab menjaga kebersihan.
Pekuburan yang ditumbuhi rerumputan tinggi akan sulit untuk orang menjadikannya pelajaran mengingat akhirat sebagaimana disampaikan dalam hadits di atas, sebab untuk berkunjungpun keburu takut binatang liar yang bersembunyi di balik rumputan.
Tradisi makan bersama sesuai dengan ajaran Islam tentang berbagi. Bahkan, Nabi Muhammad SAW mengajarkan orang-orang untuk menebar kebaikan dan berbagi makanan.
"Wahai sekalian manusia, sebarkanlah salam, berikan makan, sambunglah silaturrahim, shalatlah di waktu malam ketika orang-orang tertidur, niscaya kalian akan masuk Surga dengan sejahtera." (Diriwayatkan At-Tirmidzi).
Cara Pandang Islam terhadap Tradisi Munggahan
Alam Tarlam, dkk. dalam studi berjudul Budaya Unik "Munggahan" Menjelang Bulan Ramadhan Di Kabupaten Subang Jawa Barat: Studi Antropologi Al-Qur'an, dimuat Jurnal Urwatul Wutsqo, 2024 menjelaskan bahwa Islam punya cara pandang yang adaptif terhadap tradisi, tetapi dengan sejumlah catatan.
Menurutnya, dalam sudut pandang Islam sumber hukum ada dua. Pertama Naqli (Al-Quran dan As-Sunnah) dan kedua 'Aqli (akal), yang dalam nomor dua ini ada metode pengambilan hukum bernama Ijtihad. Bagian dari Ijtihad ini ada metode 'urf, yaitu penetapan hukum yang didasarkan atas kebiasaan/tradisi/adat setempat.
Tapi, tidak semua tradisi boleh ditetapkan sebagai sesuatu yang bisa terus berlangsung dalam masyarakat Islam, melainkan harus ada penyelarasan.
"Penetapan hukum yang didasarkan atas kebiasaan setempat ('urf) ini tentu tidak boleh bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar syariat dan hanya digunakan dalam bidang muamalah (diluar persoalan ibadah mahdhah/ritual)," tulis Alam Tarlam, dkk.
Menurutnya, tradisi tradisi munggahan dapat digolongkan kepada sikap تهميل (adaptive-complement). Yaitu, apresiatif atau sikap menerima atau membiarkan berlakunya sebuah tradisi.
"Sikap ini ditunjukkan dengan adanya ayat-ayat Al-Qur'an yang menerima dan melanjutkan keberadaan tradisi tersebut serta menyempurnakan aturannya." tulis Alam.
(iqk/iqk)