Bangunan bergaya Indische Empire berdiri kokoh di Jalan Bhayangkara nomor 219, Kota Sukabumi. Di bagian depan terdapat papan nama bangunan Wisma Wisnu Wardhani dan Setukpa Lemdiklat Polri.
Bangunan tersebut merupakan saksi bisu perjalanan seorang notaris asal Belanda yang berkarir di Kota Sukabumi. Usut punya usut, bangunan tersebut sudah berdiri sejak 1920 atau 103 tahun yang lalu.
Ketua Yayasan Dapuran Kipahare Irman Firmansyah mengatakan terdapat kisah menyayat hati saat rumah tersebut ditempati oleh notaris Hendrik (Harry) Schotel. Awalnya, dia membuka kantor di Batavia dan pindah ke Sukabumi menggantikan notaris sebelumnya H. Tollens.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Dulu kan notaris itu notaris tunggal. Jadi satu Sukabumi hanya ada satu notaris," ujar Irman saat berbincang dengan detikJabar beberapa waktu lalu.
Di rumah tersebut, Schotel melakukan kegiatan kenotarisan mulai dari aktivitas jual beli tanah, ubah kepemilikan tanah, bangunan hingga akta kelahiran. Salah satu karyanya yang tercatat dalam sejarah yaitu saat pengurusan tanah perkebunan teh dari perbatasan Cianjur hingga Bogor.
Pada masa Pemerintahan Hindia Belanda, Sukabumi ditinggali para pengusaha perkebunan yang sering berurusan dengan hak guna usaha. Pasca Sukabumi ditetapkan sebagai gemeente, aktivitas jual beli tanah dan rumah pun kian meningkat dan Schotel lah yang mengurus kenotarisan tersebut.
"Belum lagi dokumen-dokumen hukum dari kaki Gunung Gede hingga pantai Palabuhanratu. Urusan pertanahan penduduk biasa hingga instansi pemerintahan, semua diurus oleh beliau di rumah ini," ujarnya.
Puncak karir sang notaris dimulai saat ia aktif dalam kegiatan kemasyarakatan. Ia terjun ke dunia olahraga sepak bola dan menjadi Ketua Kehormatan saat bertanding dengan tim dari kota lain.
Schotel juga pernah menjadi Presiden Asosiasi Indo Eropa (IEV) dan berkontribusi penting dalam bisnis perkebunan di Sukabumi. Keberhasilannya tak lepas dari kepiawaiannya merangkul para pengusaha dan juga para pejabat pemerintahan.
Jalan hidup seseorang tentu tak bisa ditebak. Kehidupan Schotel pun berubah hampir 180 derajat saat putrinya mengalami kecelakaan di Batavia pada Mei 1928 silam.
Saat itu, anak gadis bersama sopir dan ibunya berangkat ke Batavia dari Sukabumi dengan mobil Buick tujuh seat. Sekira pukul 14.00, mobil melewati persimpangan Menteng-Nieuw Gondangdia, namun supir tak menyadari saat trem listrik melintas di depannya. Saat melintasi rel trem, supir kaget dan mengerem mendadak.
Akibatnya, trem menghantam bagian belakang mobil hingga terlempar dan menabrak tiang lampu lalu lintas. Kendaraan yang ditumpangi keluarga Schotel rusak parah di bagian depan dan belakang.
Dalam kondisi terluka, keluarga Schotel dilarikan ke rumah sakit CBZ (sekarang RSCM) sedangkan Schotel diberitahu mengenai kejadian itu melalui sambungan telpon. Schotel sangat terpukul dengan kejadian tersebut, beberapa hari kemudian putrinya pulih dan kembali ke Sukabumi.
Nampaknya Schotel sangat terpukul dengan kejadian itu. Dia mulai sakit-sakitan dan hanya terbaring di tempat tidur untuk waktu yang cukup lama. Hal ini menyebabkannya harus absen sebagai notaris hingga ia mengajukan cuti pada 29 November 1929.
Schotel tak sanggup menjalankan tugasnya sebagai notaris. Dia diberhentikan sebagai notaris dan posisinya digantikan oleh A.W.F Bakker. Hal ini membuat pihak keluarga harus menjual aset-asetnya untuk bertahan hidup. Situasi ini menjadi beban berat bagi keluarga Schotel.
Setahun kemudian, tepatnya 12 Juli 1932, Schotel meninggal dunia di usia 56 tahun. Pemakamannya dihadiri Asisten Residen Sukabumi dan Wali Kota Sukabumi, kemudian perwakilan I.EV Camoenie, dan Durr perwakilan dari I.K.P.
"Beliau meninggal karena kesedihan anaknya kecelakaan di Jakarta di Gondangdia, makanya orang bilang ini spooky house atau agak berhantu, tapi so far sih tidak ada masalah cuma memang orang banyak penasaran dengan gedung ini," kata Irman.
(iqk/iqk)