Kerja Keras Dinkes Kota Bandung Targetkan Zero Stunting

Kerja Keras Dinkes Kota Bandung Targetkan Zero Stunting

Anindyadevi Aurellia - detikJabar
Kamis, 08 Jun 2023 02:00 WIB
Measuring malnutrition using strap MUAC mid-upper-arm-circumference. A doctor examines child malnutrition
Ilustrasi stunting (Foto: Getty Images/iStockphoto/Mohammad Bash).
Bandung -

Beberapa waktu lalu, Pelaksana harian (Plh) Wali Kota Bandung Ema Sumarna menyebutkan data masih ada 5.548 anak di Kota Bandung yang mengalami stunting. Angka ini masih tergolong besar dan jadi PR yang harus segera dibereskan oleh Pemerintah Kota (Pemkot) Bandung.

"Stunting memang kami akui angkanya masih cukup tinggi, meskipun sudah turun. Tadinya di kota Bandung ada 26 koma sekian persen, sekarang sudah turun 19 koma sekian persen. Kalau dikonversi kepada jumlah itu tadi masih ada 6.326 anak yang memang masih tergolong kelompok stunting. Tapi kami terus berproses dan mengupdate data, disampaikan oleh para Camat sekarang ada di angka 5.548 anak," kata Ema pada wartawan Senin (5/6/2023).

Dinas Kesehatan (Dinkes) Kota Bandung tentu tak menganggap enteng masalah stunting ini. Meskipun angkanya menurun, namun 5.000 lebih anak mengalami stunting masih jadi beban yang harus diselesaikan.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Theresia Widuri Kepala Bidang Kesehatan Masyarakat Dinkes Kota Bandung menjelaskan, bahwa Dinkes terus bekerja untuk menurunkan angka stunting. Bahkan, Dinkes punya target tahun 2030 Kota Bandung sudah harus zero stunting.

"Kami lakukan penanganan melalui upaya promotif ataupun preventif. Preventifnya siklus hidup dari remaja ada pemberian tablet tambah darah atau Rematri dari remaja, kemudian ada ke anak sekolah, bahkan calon pengantin pun kita sudah kerja sama dengan KUA. Kemudian di Puskesmas dilakukan screening kesehatan, seperti hemoglobinnya," katanya dihubungi detikJabar Rabu (7/6/2023).

ADVERTISEMENT

"Promotifnya kita melalui kegiatan publikasi atau bagian dari penyuluhan, baik itu melalui media radio, sosmed, atau langsung ke masyarakat melalui Posyandu, sudah dilakukan setiap saat sebagai kegiatan rutin. Kami terus berproses, stunting tidak bisa diketahui saat ini, tapi nanti. Makanya preventif ini harus terus-menerus dan berkelanjutan, kita berharap tahun 2030 zero stunting," lanjutnya.

Theresia mengatakan, stunting bukan seperti layaknya gizi buruk. Stunting bukan penyakit yang dapat dengan mudahnya diobati. Penanganannya harus sejak dari bayi masih dalam kandungan.

Stunting merupakan masalah gizi kronis, penyebab paling besar yakni kurangnya asupan gizi dalam jangka waktu panjang. Stunting dapat mengakibatkan terganggunya pertumbuhan pada anak dengan salah satu ciri tinggi badan anak terhambat, sehingga lebih rendah dibandingkan anak-anak seusianya.

Theresia menyebut stunting harus dicegah dan diketahui sedini mungkin. Sebab, gizi kronis saat hamil hingga bayi lahir itulah yang dapat menyebabkan stunting. Peran asupan gizi saat siklus hidup harus jadi perhatian.

"Mengetahui anak stunting di usia berapa, bagaimana mengobatinya, itu berpengaruh. Kalau kurang dari usia 2 tahun diketahui, itu cepet penanganannya. Tapi kalau sudah melebihi 5 tahun itu akan sulit mengobati stunting. Apalagi kalau bisa dicegah sejak dalam kandungan," ujarnya menjelaskan.

"Kan ada 1000 HPK (Hari Pertama Kehidupan) itu mulai dari kandungan harus dijaga. Maka upaya Dinkes dari remaja saja sudah dilakukan screening, pemeriksaan zat besi, pemberian tablet besi, untuk mencegah terjadinya stunting, kematian ibu dan bayi hingga balita," lanjut Theresia.

Kata dia, penurunan angka stunting yang disebutkan Ema menandakan upaya preventif dan promotif dari Dinkes sudah berjalan dan mampu menangani kasus stunting agar tidak bertambah.

Posyandu jadi salah satu tempat untuk membantu Dinkes melakukan monitoring. Saat bayi lahir, beratnya akan ditimbang, panjangnya diukur secara rutin untuk mengetahui anak stunting atau tidak. Jika ada indikasi stunting, Dinkes bakal melakukan intervemsi dan merujuk ke Rumah Sakit.

"Penurunan angka stunting itu berarti pada saat ada kelahiran, kita periksa di Posyandu ternyata tidak ada yang stunting. Tinggi badan dan panjang badan sesuai standar. Berarti sudah berhasil dan berproses, sudah ada yang bisa tertangani. Yang perlu digaris bawahi adalah jangan fokus menyembuhkan yang sudah stunting, tapi bagaimana mencegah terjadinya stunting. Itu jadi PR paling besar," ucap dia.

Saat disinggung apakah berarti stunting yang tinggi menggambarkan bahwa pola hidup warga Kota Bandung tidak sehat, Theresia mengiyakan dengan memberi kutipan dari teori klasik HL Bloom.

Ia menjelaskan bahwa faktor kesehatan masyarakat bermula dari lingkungan. Ia juga menyebut pencegahan stunting rupanya juga masih ada hubungannya dengan perilaku Open Defecation Free (ODF) atau Stop Buang Air Besar (BAB) Sembarangan.

"Menurut teori Bloom, derajat kesehatan masyarakat sangat dipengaruhi lingkungan dan perilaku. Dua itu menjadi faktor utama selain genetik dan pelayanan kesehatan. Bagaimana mengubah perilaku dan lingkungan punya budaya hidup bersih dan sehat. Berarti perlu edukasi yang banyak agar masyarakat itu tau, mau, dan mampu untuk mengubah perilaku agar lingkungan sehat," katanya.

"Contoh salah satunya kemarin kita galakkan ODF yang kini sudah 100%, BAB sembarangan itu juga salah satu penyebab stunting. Upaya Dinkes dan OPD lain kita konsisten lakukan evaluasi dan monitoring untuk kontrol kondisi ODF, penyuluhan, pemberdayaan masyarakatnya, gitu," tambahnya di akhir percakapan.

(aau/mso)


Hide Ads