Fenomena perang sarung yang akhir-akhir ini kerap terjadi di sejumlah daerah di Jawa Barat mendapat sorotan dari beberapa pihak. Fenomena itu pun disebut salah kaprah karena jauh dari nilai-nilai sejarah dan budaya di Indonesia.
Sosiolog Universitas Padjajaran (Unpad) Nunung Nurwati menjelaskan perang sarung atau tarung sarung sebetulnya merupakan warisan tradisi dari Suku Bugis di Makassar, Sulawesi Selatan. Tradisi itu memang sudah mulai ditinggalkan di tempat asalnya dan kini malah dikonotasikan negatif di kalangan anak muda dengan bentuk kegiatan ekstrem yang justru meresahkan masyarakat.
"Jadi sebetulnya, perang sarung atau tarung sarung itu tradisi dari Suku Bugis. Tahun 70-an tradisi itu sudah ditinggalkan, dan kekinian istilah tersebut malah digunakan anak-anak muda kita dengan kegiatan yang justru mengarahkan ke ranah tawuran. Itu jelas salah kaprah," kata Nunung kepada detikJabar via telepon, Bandung, Minggu (10/4/2022).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Mengenai fenomena perang sarung saat ini, Nunung mengungkap fenomena itu malah timbul oleh masalah-masalah yang sepele. Bahkan beberapa di antaranya, kata dia, dipicu oleh saling ejek antar kelompok remaja hingga menimbulkan pertikaian yang berujung jatuhnya korban jiwa.
"Karena saat ini, perang sarung itu sebetulnya adalah tawuran yang dilakukan anak-anak muda. Istilahnya saja yang diganti karena bertepatan dengan bulan Ramadan, sementara bentuk kegiatannya mah sama dan jelas merugikan semua orang," terangnya.
Untuk menekan fenomena ini terjadi lagi, kata Nunung, semua pihak harus turut memberikan edukasi kepada anak-anak muda di lingkungannya. Bisa dengan mengajak anak muda untuk lebih giat beribadah di masjid-masjid setempat atau mengarahkan kelompok anak muda itu dengan aktivitas yang lebih positif saat bulan Ramadan.
"Karena fenomena perang sarung ini kan biasanya terjadi pada malam hari, jadi bisa anak-anak muda itu setelah tarawih diajak mengisi beraktivitas yang lebih positif di masjid-masjid. Minimal mereka setelah tarawih tidak berkeliaran yang malah memicu terjadi perang sarung ini," tuturnya.
"Karena yang jelas, perang sarung itu sebetulnya tawuran yang pemicunya karena masalah-masalah kecil dan sepele. Jadi semua pihak dari mulai warga, tokoh masyarakat terutama keluarga, harus memberikan edukasi kepada anak-anak kita supaya mereka tak melakukan hal itu. Soalnya bukan hanya merugikan ke lingkungan, mereka yang ikut perang sarung juga bisa jadi korbannya," pungkasnya.
Sebagaimana diketahui, fenomena perang sarung saat Ramadan sudah mulai bermunculan di beberapa daerah di Jawa Barat. Berdasarkan catatan detikJabar, fenomena itu muncul mulai dari Cianjur, Sukabumi, Subang, Kabupaten Bandung Barat, Bogor hingga Kota Cimahi.
Bahkan mirisnya, sekolompok remaja sempat diamankan polisi usai terlibat perang sarung tersebut. Sejumlah benda berbahaya turut diamankan petugas seperti batu bahkan senjata tajam.
(ral/mso)