Dalam Islam, pernikahan merupakan ibadah yang sakral dan bernilai tinggi. Namun, tidak semua bentuk pernikahan dibenarkan oleh syariat.
Ada beberapa jenis pernikahan yang dilarang karena menyimpang dari tujuan utama pernikahan dalam Islam, di antaranya nikah syighar, nikah muhallil, dan nikah mut'ah. Ketiganya sering disalahpahami, padahal memiliki makna dan hukum yang berbeda. Berikut penjelasannya.
Baca juga: Mengapa Islam Menetapkan Batas Talak Tiga? |
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Nikah Syighar
Nikah syighar adalah pernikahan yang dilakukan dengan saling menukar wali tanpa mahar. Misalnya, seseorang menikahkan anak perempuannya dengan syarat pihak lain juga menikahkan anak perempuannya tanpa memberikan mahar.
Menurut Harjan Syuhada, dkk., dalam buku Fiqih Madrasah Aliyah Kelas XI, Praktik ini menjadi bermasalah karena umumnya dilakukan tanpa mahar, yang sangat bertentangan dengan prinsip pernikahan sah dalam Islam.
Menurut Miftah Faridl dalam buku 150 Masalah Nikah dan Keluarga, larangan nikah Syighar ditetapkan secara eksplisit dalam hadits Nabi Muhammad SAW. Hadits tersebut secara keras melarang sistem pernikahan timbal balik yang menghilangkan mahar dan berdampak merendahkan martabat seorang wanita.
لاَ شِغَارَ فِي اْلإِسْـلاَمِ
Artinya: "Tidak ada nikah syighar dalam ajaran Islam." (HR Muslim dari Ibnu Abbas, Ibnu Majah, dan Anas bin Malik)
Dalam hadits lain, Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu berkata,
نَهَى رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنِ الشِّغَارِ
Artinya: "Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam melarang melakukan nikah syighar."
Dari Nafi', dari Ibnu 'Umar radhiyallahu 'anhuma, beliau berkata,
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَنِ الشِّغَارِ؛ وَالشِّغَارُ أَنْ يُزَوِّجَ الرَّجُلُ ابْنَتَهُ عَلَى أَنْ يُزَوِّجَهُ الآخَرُ ابْنَتَهُ، لَيْسَ بَيْنَهُمَا صَدَاقٌ
Artinya: "Rasulullah SAW melarang (nikah) asy-syighar. Asy-Syighar adalah seseorang menikahkan anak perempuannya kepada orang lain agar orang lain tersebut juga mau menikahkan anak perempuannya dengannya; sedangkan di antara keduanya tidak ada mahar." (HR. Bukhari no. 5112 dan Muslim no. 1415)
Nikah Muhallil
Nikah muhallil adalah pernikahan yang dilakukan oleh seorang laki-laki dengan seorang wanita yang telah tiga kali ditalak (talak ba'in kubra), dengan niat agar wanita tersebut bisa kembali kepada suami pertamanya. Biasanya, laki-laki kedua ini disebut "muhallil" atau "penghalal", sebagaimana dijelaskan oleh Rizem Aizid dalam Kitab Terlengkap Biografi Empat Imam Madzhab.
Pada praktiknya, akad Nikah Muhallil tidak didasari niat untuk membangun rumah tangga yang langgeng (sakinah), melainkan hanya sebagai syarat hukum. Setelah pernikahan diresmikan dan hubungan suami-istri terlaksana, sang Muhallil akan menceraikan wanita tersebut, sehingga ia dapat kembali kepada suami pertamanya (suami terdahulu).
Motif ini jelas bertentangan dengan ajaran Islam. Pernikahan menjadi sekadar alat rekayasa hukum dan bukan lagi komitmen suci atau ibadah. Islam menekankan bahwa akad nikah harus dilandasi niat yang tulus dan tidak boleh dijadikan manipulasi untuk menghalalkan sesuatu yang telah dilarang oleh syariat.
Mayoritas ulama (Jumhur Ulama) secara tegas mengharamkan praktik Nikah Muhallil. Larangan ini, sebagaimana dijelaskan oleh Ahmad Sarwat dalam Ensiklopedia Fikih Indonesia: Pernikahan, yang didasarkan pada Hadits Rasulullah SAW.
Dari Ibnu Mas'ud radhiyallahu 'anhu, beliau berkata,
لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ المُحِلَّ وَالمُحَلَّلَ لَهُ
Artinya: "Rasulullah SAW melaknat muhalill (suami kedua) dan muhallal lahu (suami pertama)." (HR. Ahmad, 7: 314-315; An-Nasa'i, 6: 149; dan At-Tirmidzi no. 1120. Dinilai shahih oleh Al-Albani)
Hadits dari sahabat Ali radhiyallahu 'anhu juga berkata demikian,
إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَعَنَ المُحِلَّ وَالمُحَلَّلَ لَهُ
Artinya: "Sesungguhnya Rasulullah SAW melaknat muhalill (yaitu, suami kedua) dan muhallal lahu (yaitu, suami pertama)." (HR. Abu Dawud no. 2076, At-Tirmidzi no. 1119, dan Ibnu Majah no. 1935. Dinilai shahih oleh Al-Albani)
Nikah Mut'ah
Nikah mut'ah adalah pernikahan yang dilakukan dengan batas waktu tertentu dan disepakati di awal akad. Misalnya, menikah untuk jangka waktu seminggu, sebulan, atau setahun.
Pernikahan jenis ini pernah diperbolehkan di awal Islam. Namun kemudian diharamkan secara tegas oleh Rasulullah SAW.
Dalam bukunya Fiqih Praktis II: Menurut Al-Qur'an, As-Sunnah, dan Pendapat Para Ulama (2008), Muhammad Bagir berpendapat bahwa Nikah Mut'ah bertujuan untuk memuaskan hasrat seksual semata, sehingga pasangan yang menjalaninya cenderung tidak menginginkan keturunan. Bagir mengkritik praktik ini karena dinilai merugikan perempuan, sebab seolah menjadikan mereka sebagai "barang dagangan" yang dapat dikontrak untuk jangka waktu tertentu.
Pada masa sekarang, nikah mut'ah dikenal sebagai kawin kontrak. Mayoritas ulama menyepakati bahwa nikah mut'ah hukumnya haram dan tidak sah. Dasar utama larangan ini adalah hadits-hadits sahih dari Rasulullah SAW yang secara permanen menghapuskan izin praktik tersebut.
Dalam riwayat Sabrah RA, Rasulullah bersabda:
"يا أيها الناس: إني كنت أذنت لكم في الاستمتاع من النساء، وإن الله قد حرم ذلك إلى يوم القيامة، فمن كان عنده منهن شيء فليخل سبيله، ولا تأخذوا مما آتيتموهن شيئاً
Artinya: "Wahai manusia, sesungguhnya dulu aku pernah mengizinkan kalian melakukan nikah mut'ah dengan sebagian kaum wanita. Dan sungguh kini Allah telah mengharamkannya hingga hari kiamat. Karena itu, barang siapa yang masih ada di sisinya seseorang dari mereka, maka hendaklah melepaskannya untuk menempuh jalan (hidup)nya sendiri. Dan janganlah kamu mengambil apa yang telah kamu berikan kepada mereka." (HR. Muslim, Abu Dawud, dan An-Nasa'i)
Dalam hadits lain, Rasulullah bersabda:
وَعَنْ سَلَمَةَ بْنِ الْأَكْوَعِ - رضي الله عنه - قَالَ : - رَخَّصَ رَسُولُ اَللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - عَامَ أَوْطَاسٍ فِي اَلْمُتْعَةِ , ثَلَاثَةَ أَيَّامٍ , ثُمَّ نَهَى عَنْهَا - رَوَاهُ مُسْلِمٌ
Artinya: Dari Salamah bin Al-Akwa' radhiyallahu 'anhu, ia berkata, "Rasulullah SAW pernah memberi kelonggaran untuk nikah mut'ah selama tiga hari pada tahun Awthas (tahun penaklukan kota Makkah). Kemudian beliau melarangnya." (HR Muslim).
Selain itu, Ali bin Abi Thalib ra juga meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW melarang nikah mut'ah pada peristiwa Khaibar. Sementara pada masa Khalifah Umar bin Khattab RA, larangan ini ditegaskan kembali di hadapan umat Islam.
Wallahu a'lam.
(hnh/inf)
Komentar Terbanyak
Gencatan Senjata Israel-Hamas Tercapai, Takbir Menggema di Gaza
Ini yang Disepakati Israel dan Hamas untuk Akhiri Perang Gaza
2 Tahun Perang Gaza: 67 Ribu Warga Tewas, Rumah-Tempat Ibadah Hancur