Di Indonesia, gelar "Haji" atau "Hajjah" yang disematkan pada nama seseorang yang telah menunaikan ibadah haji menjadi bagian dari tradisi yang dikenal luas dalam masyarakat. Berdasarkan penjelasan yang dilansir dari laman resmi Kementerian Agama (Kemenag), kebiasaan ini dibenarkan dan memiliki latar belakang sejarah yang panjang.
Disebutkan bahwa perjalanan menuju Tanah Suci bagi masyarakat Nusantara pada masa lampau bukan hal yang mudah. Jemaah haji dari Nusantara harus melewati perjalanan panjang dan penuh risiko. Mereka menempuh lautan luas, menghadapi badai selama berbulan-bulan, menghindari ancaman perompak, serta menjelajahi padang pasir.
Mereka yang mampu menyelesaikan perjalanan tersebut dan kembali ke Tanah Air dengan selamat dianggap telah berhasil melalui ujian besar. Hal ini menjadi semakin istimewa mengingat Mekkah dan Ka'bah merupakan tempat suci umat Islam di seluruh dunia.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Karena alasan tersebut, dalam perkembangan selanjutnya, masyarakat Indonesia terbiasa menyematkan gelar "Haji" atau "Hajjah" pada nama orang-orang yang telah menunaikan ibadah haji. Tradisi ini dipandang sebagai penghargaan atas perjalanan ibadah yang telah mereka laksanakan.
Gelar Haji dalam Perspektif Sosial dan Budaya
Bagi sebagian masyarakat Indonesia, gelar haji memiliki makna penting dan menjadi simbol kebanggaan sosial. Pemahaman tentang gelar haji ini dapat dilihat dari tiga sudut pandang, yaitu sisi keagamaan, sisi budaya, dan sisi sejarah kolonial.
1. Perspektif Keagamaan
Dari sisi keagamaan, ibadah haji merupakan rukun Islam yang kelima dan menjadi kewajiban bagi Muslim yang memenuhi syarat. Perjalanan jauh, biaya besar, serta syarat yang tidak ringan membuat ibadah ini memiliki nilai penting yang tidak semua orang mampu melaksanakannya.
Seiring perkembangan waktu, sejak awal abad ke-20, penyelenggaraan perjalanan haji mulai didukung oleh perusahaan-perusahaan kapal milik Belanda. Hal ini memungkinkan semakin banyak jemaah dari Nusantara yang dapat menunaikan ibadah haji.
Meskipun perjalanan menuju Tanah Suci menjadi lebih mudah dan cepat dibandingkan masa sebelumnya, penggunaan gelar haji tetap diteruskan dan bahkan semakin populer di tengah masyarakat.
2. Perspektif Budaya
Dilihat dari sisi budaya, cerita-cerita tentang perjalanan haji yang penuh perjuangan dan sarat pengalaman emosional terus berkembang di tengah masyarakat. Kisah-kisah ini menjadi bagian dari narasi yang diwariskan dari generasi ke generasi dan menjadi sumber motivasi bagi banyak orang untuk melaksanakan ibadah haji.
Sebagian besar tokoh masyarakat dikenal dengan gelar haji. Cerita-cerita tentang pengalaman berhaji telah membentuk narasi khusus yang terus menarik perhatian, bahkan menjadi bagian yang memiliki tempat tersendiri dalam budaya Indonesia. Hal ini memperkuat posisi ibadah haji sebagai ibadah yang bernilai tinggi dalam kehidupan sosial.
3. Perspektif Sejarah Kolonial
Dalam catatan sejarah, tradisi gelar haji di Indonesia juga berkaitan dengan kebijakan pemerintah kolonial Belanda. Pada masa penjajahan, pemerintah kolonial merasa khawatir bahwa para haji dapat memberikan pengaruh yang besar terhadap pergerakan anti-penjajahan di tanah air.
Untuk mengendalikan situasi tersebut, pada tahun 1872, pemerintah Belanda membuka Konsulat Jenderal pertamanya di Arab Saudi. Tugas utama konsulat ini adalah memantau aktivitas jemaah haji yang berasal dari Hindia Belanda. Jemaah diwajibkan untuk mengenakan atribut dan menyandang gelar haji agar mudah dikenali dan diawasi selama berada di Tanah Suci.
(inf/lus)
Komentar Terbanyak
Saudi, Qatar dan Mesir Serukan agar Hamas Melucuti Senjata untuk Akhiri Perang Gaza
Dari New York, 15 Negara Barat Siap Akui Negara Palestina
Mengoplos Beras Termasuk Dosa Besar & Harta Haram, Begini Penjelasan MUI